Tata kelola lahan gambut saat ini, diwarnai dengan kerasnya tuntutan dan kebutuhan. Padahal lahan gambut merupakan penyerap dan penyimpan karbon yang penting. Jutaan petani juga menggantungkan hidup dari ekosistem ini. Apalagi kini, masyarakat lahan gambut harus mencari cara baru memetik manfaat dari bentang alam alami, sekaligus menjaga kelestariannya.
Pleno pembukaan acara tematik Forum Bentang Alam Global: Masalah Bentang Alam di Jakarta, 18 Mei, memperdengarkan suara masyarakat lokal yang tinggal di lahan gambut Indonesia.
Forum itu sendiri menghadirkan 425 pemangku kepentingan dari pemerintah, sektor swasta, masyarakat ilmiah dan sipil dalam mempercepat aksi positif tata kelola lahan gambut global.
Dalam berbagi pengalaman langsung, tantangan dan aspirasi, para pembicara pleno memaparkan perjuangan hidup menjalani kenyataan dalam keseharian.
Salah satu di antaranya adalah Emmanuela Shinta, aktivis Dayak berusia 24 tahun, pembuat film, dan pendiri Yayasan Ranu Welum. Shinta diwawancarai Pemimpin Redaksi Kabar Hutan Leona Liu dan memaparkan mengapa ia memandang media menjadi alat yang penting menuju transformasi sosial masyarakatnya di Kalimantan, dan daerah lain.
*Baca transkripsi penuh wawancara televisi di bawah ini
Bisa diceritakan mengenai upaya Anda. Apa misi yayasan dan apa yang ingin dicapai?
Pertama, saya tidak sengaja mendirikan Yayasan Ranu Welum. Yang pasti, yayasan ini hadir dari ketergerakan dan dari hati generasi muda yang tidak bisa tinggal diam tak melakukan apa-apa. Yayasan ini bergerak pada isu sosial, hak asasi dan lingkungan hidup yang terjadi di sekitar di Kalimantan.
Yayasan ini didirikan 2016 lalu, tepatnya 16 Mei, jadi ini ulang tahun pertama Yayasan Ranu Welum. Nama ini berasal dari bahasa Dayak, bahasa ibu saya, artinya ‘air kehidupan’.
Idenya adalah menggunakan media sebagai alat transformasi sosial, apakah melalui edukasi masyarakat, advokasi, dan mengangkat cerita serta suara dari lapangan agar didengar dunia.
Mengapa cerita seperti itu perlu diperdengarkan? Apakah memang terasa kurang wahananya?
Saya suka pertanyaan ini. Sebelumnya saya nyatakan di panggung, ketika saya pergi ke luar Kalimantan, orang [biasanya] bertanya dua hal: 1) Apakah orang Dayak masih makan daging manusia? 2) Apakah orang Dayak memakai koteka dan bertelanjang?
Masih banyak orang luar Kalimantan berpikir bahwa kami masih sangat primitif, karena Kalimantan sangat terkenal dengan hutannya dan mereka berpikir kami tinggal di hutan seperti orangutan. Saya sadar ini akibat kurangnya informasi mengenai kami.
Anda bergerak dalam isu sosial dan hak adat melalui aktivisme media. Apakah juga menangani isu lingkungan?
Sebagai masyarakat Dayak, kami tinggal sangat dekat dengan hutan dan lingkungan hidup. Jadi ketika kita berbicara mengenai masyarakat adat, kita tidak bisa memisahkannya dari isu lingkungan hidup. Karena masyarakat asli adalah penjaga hutan, penjaga air dan tanah. Kami benar-benar tahu bagaimana merawatnya, karena kami telah tinggal ratusan, bahkan ribuan tahun di pulau ini.
Melihat situasi di Kalimantan, yang terkenal akibat kebakaran gambut dan hutan, serta asap beracun, isu lingkungan menjadi salah satu fokus kami. Kami mencoba mengangkat suara dari lapangan terkait isu tersebut. Bukan semata isu lingkungan, ini juga soal kehidupan, identitas dan budaya masyarakat Dayak.
Apakah Anda melihat ada perubahan lingkungan?
Bukan melalui penelitian; ini benar-benar dari pengalaman [sendiri]. Pertama, saya sebutkan soal bau. Pada 2015, ketika terjadi kebakaran besar lahan gambut besar, kami sangat traumatis. Kami sangat terganggu ketika mencium bau dari sesuatu yang terbakar di lahan gambut. Ini adalah bau pada 2015. Kondisi ini sangat bertentangan dengan apa yang saya ingat waktu kecil.
[Waktu kecil] saya suka berpetualang, masuk ke wilayah lahan gambut dan memetik buah liar. Rasa [buah liar]-nya berbeda dengan sekarang. Agak lebih masam. Saya ingat buah-buah itu dulu sangat manis, mengapa sekarang jadi masam? Padahal tumbuh di lahan gambut yang sama. Saya menyadari lahan gambut sudah berubah.
Kini, setelah Anda melihat perubahan itu, apa yang paling dikhawatirkan? Apa tantangan terbesar bagi Anda dan masyarakat Anda?
Sebelumnya, kami tidak menyadari apapun soal ini ketika kebakaran lahan gambut terjadi. Kami pikir ini alami saja karena [kebakaran] sudah terjadi sejak 1997. Jadi hingga tahun ini, sudah 20 tahun.
Kami khawatir, ketika lahan gambut terbakar, partikel kecil yang dihasilkan – 2.5 microbes [PM2.5] tidak bisa difilter oleh paru-paru. Ketika memasuki paru-paru, terserap dalam darah dan dibawa oleh darah ke otak, hingga dapat menyebabkan serangan jantung. Ini berbeda dengan partikel polusi biasa. Partikel ini dihasilkan dari kebakaran lahan gambut.
Selama 20 tahun kami menyerapnya melalui nafas dan masuk ke dalam tubuh. Jadi isu ini sangat penting bagi kami. Semua saling terkait – kerusakan lahan gambut, kebakaran dan kesehatan manusia. Jadi masalah lahan gambut, adalah masalah masyarakat. Kami tidak dapat memisahkannya.
Anda melewati krisis kebakaran dan asap pada 2015. Anda merujuk beberapa hal yang Anda lihat tampak cukup traumatis. Dapatkah Anda mengingat bagaimana hal itu mempengaruhi masyarakat dan memicu seesuatu dalam diri?
Sangat menyakitkan ketika kita kehilangan seseorang yang kita cintai. Sangat menyakitkan, dan saya melihat itu di mata masyarakat yang saya temui. Saya pergi ke perkampungan membawa obat untuk mereka. Mereka tidak punya akses pengobatan. Kami merekam cerita mengenai mereka yang kehilangan orang terkasih. Mereka menangis. Sangat menyakitkan bagi kami. Ini berbeda jika kita hanya sekadar tahu, “Oke beberapa orang meninggal karena asap dan kebakaran”. Tetapi jika kita mendengar cerita mereka, ketika kita [menyaksikannya langsung], kita tidak bisa berhenti.
Sangat sulit bagi saya karena saya bukan orang luar yang datang membantu. Saya tinggal di sana. Saya mengalaminya juga. Sangat sulit bagi kami untuk bertahan dalam situasi seperti itu. Kami tinggal di kota dan setidaknya bisa menggunakan masker, dibanding mereka yang tinggal di desa. Mereka tidak punya apa-apa untuk melindungi diri.
Kami mulai melakukan hal kecil. Saya mulai berbicara dengan teman dan masyarakat saya mengenai apa yang bisa dilakukan untuk membantu. Kami tidak bertemu dengan orang yang bisa mengubah kebijakan, kami tidak punya banyak uang untuk mengevakuasi masyarakat tersebut ke luar Kalimantan, atau membawa tanki oksigen untuk tiap rumah untuk membantu anak-anak hidup dan bernafas. Kami tidak dapat melakukan hal itu.
Jadi apa yang dapat kami lakukan?
Kami mulai memasak. Kami memasak untuk pemadam kebakaran lokal. Ketika kita memiliki niat baik dan determinasi untuk melakukan hal yang baik dan membantu orang lain dengan mengorbankan diri, maka jalan akan terbuka. Itu yang kami alami. Kami mengorbankan diri, kami mengendarai motor berjam-jam untuk membawa suplai pada penduduk desa. Dari sana, kami membawa cerita, kami membuat mereka terdengar. [Kemudian] orang mulai berkata, “Kami tidak pernah tahu [situasi sebenarnya]. Kini kami tahu, dan kami ingin membantu Anda.”
Jadi media sangat penting untuk transformasi sosial. Media mengubah kami, tidak hanya sebatas pikiran, tetapi juga hati kami. Meski terkadang sulit, kami punya pilihan. Kami dapat memilih untuk menjadi korban. Tetapi tidak, kami ingin jadi pahlawan. Kami ingin menjadi seseorang yang berdiri untuk masyarakat kami. Dan inilah mengapa kami terus berjuang.
*Video ini merupakan rangkaian video wawancara dari acara Global Landscapes Forum 2017: Peatlands Matter di Jakarta, Indonesia
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org