Makin banyak negara meneguhkan komitmen Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membatasi kenaikan suhu global. Tetapi dalam realitasnya, bagaimana ambisi besar ini dapat terwujud?
Dalam praktiknya, aksi iklim menciptakan daya tarik di tingkat lapangan – seperti dalam istilah ‘di mana karet menyentuh aspal’, — dan upaya ini mengharuskan adanya kolaborasi berbagai pemangku kepentingan.
Pemerintah pusat dan daerah makin terlibat dalam aksi perubahan iklim terutama pada sektor pemanfaatan lahan dan kehutanan. Sementara peran aktor non-negara, termasuk kelompok adat (yang seringkali memiliki dan mengelola wilayah penting), organisasi non-pemerintah dan sektor swasta, juga makin besar.
Bagaimana upaya berbagai kelompok ini dikoordinasikan dengan baik dalam mencapai ikrar nasional dan internasional, sebagai bentuk aksi nyata untuk perubahan iklim?
Dunia yang politis
Anne Larson, Ilmuwan Utama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) juga berperan sebagai kepala tim penelitian mengenai masalah ini di lima negara yang merupakan bagian Penelitian Komparatif REDD+ Global, termasuk dua penelitian nasional mengenai pemantauan, pelaporan dan verifikasi (MRV).
Ia menyatakan, bahkan terkait masalah teknis seperti MRV, ketegangan politik antar para pemangku kepentingan muncul secara horisontal maupun vertikal, ketika mencoba mewujudkan gagasan menjadi kenyataan. Memang tidak seharusnya menjadi hambatan, namun menunjukkan bahwa kita perlu melakukan pendekatan berbeda.
“Kita tidak dapat mengabaikan realitas politik,” katanya. “Kita punya banyak gagasan besar, meski seringkali terdengar bagus secara teknis, kita selalu terbentur kenyataan ketika turun ke lapangan dan mulai mencoba mengimplementasikannya.”
“Politik bisa baik atau buruk, ini fakta. Kita perlu menerimanya dan belajar bekerja dalam realitas ini.”
Pham Thu Thuy, ilmuwan CIFOR lain yang terlibat dalam penelitian ini, menyatakan bahwa penelitiannya di Vietnam menemukan bahwa politik tidak hanya mempengaruhi koordinasi, tetapi juga membentuk persepsi tujuan dan tantangan di berbagai tingkat pemerintahan.
“Beda tingkat mempersepsi masalah secara berbeda. Mereka juga mendefinisikan masalah berdasar persepsi dan kepentingan politik mereka,” kata Thuy.
Jawaban untuk mengkoordinasikan perbedaan tersebut, katanya, adalah dengan pendekatan bentang alam.
“Kita perlu menyadari kondisi politik seperri ini dan berpikir bagaimana menyatukan setiap informasi dan setiap kelompok aktif agar kebijakan bisa berjalan,” katanya.
“Dan untuk sistem pemanfaatan lahan, saya pikir, jika kita ingin ini berjalan, seharusnya berada pada tingkat bentang alam.”
Melihat dari persepsi bentang alam
Pada Forum Bentang Alam Global di Marrakesh, aktor subnasional dan non-pemerintah diundang untuk berbagi pandangan menyoal katalisasi aksi di lapangan.
‘Aktor non-negara’ termasuk peneliti, masyarakat sipil dan kelompok masyarakat lain, meskipun melalui perundingan iklim global akhir-akhir ini lebih mengarah pada sektor swasta.
Dalam diskusi di GLF, Bruce Cabarle, Ketua Tim Kemitraan Hutan, sebuah inisiatif investasi pemanfaatan lahan dan hutan berkelanjutan, menyatakan bahwa kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat adalah kunci penerapan pembelajaran di masa depan.
“Pertanyaan lebih menarik adalah: Bagaimana kita membangun sinergi dan saling melengkapi antara skema sertifikasi sukarela dan regulasi pemerintah agar ini semua bisa saling memperkuat?” tanyanya.
Christoph Thies, aktivis hutan Greenpeace, menyambut upaya kerjasama antar sektor, meski menekankan bahwa pemerintah harus menjadi pemimpinnya.
“Sektor swasta tidak boleh menggantikan peran dan tanggungjawab pemerintah,” katanya.
Bagi Thies, jawaban terletak pada kemampuan memahami faktor politik sebagai tantangan maupun peluang perubahan.
“Hambatan teknis bisa diatasi,” katanya. “Untuk benar-benar mengelola bentang alam, diperlukan kemauan politik.”
Praktik Lapangan
Dari perspektif pemerintah daerah, Fernando Sampaio, Direktur Eksekutif Komite Strategi PCI (Produksi, Konservasi dan Pelibatan) Pemerintah di Mato Grosso, Brasil, mengakui pentingnya pelibatan sektor-swasta dan masyarakat sipil dalam aksi di tingkat lapangan.
“Sektor swasta merupakan bagian penting proses ini, tetapi kita juga perlu melibatkan pemangku kepentingan lain yang terasingkan dari proses tersebut,” katanya.
Kelompok terasingkan seringkali mencakup masyarakat adat, yang hak lahannya tidak selalu diakui. Norvin Goff, Presiden MASTA, sebuah federasi yang mewakili masyarakat adat Miskitus dari Moquitia Honduras, menyatakan bahwa pendekatan cetak biru terhadap pemanfaatan lahan dan hutan sulit untuk bisa sejalan dengan masyarakat adat di lapangan.
“Kita tidak membutuhkan sebaris rumus yang digunakan di masa lalu, kita perlu menyusun pendekatan bersama,” kata Goff.
Ia menyeru kemitraan erat antara pemerintah dan kelompok adat.
“Bukannya sebagai musuh, mereka harus memandang kita sebagai bagian dari solusi,” katanya.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org