Bila berbicara tentang deforestasi — baik menghentikan maupun pencegahan — hukum dan kebijakan di suatu negara dapat membuat perbedaaan besar. Sayangnya tidak ada negara yang memiliki hanya satu kebijakan yang dapat digunakan untuk keseluruhan hasil, juga tidak ada satu otoritas tunggal yang mengendalikan semua sektor. Sebaliknya, hukum yang mempengaruhi bagaimana lahan dan hutan digunakan (atau disalahgunakan), dan jajaran otoritas yang mengaturnya, membentuk satu jejaring rumit yang menyiksa di mana benang-benangnya sendiri sering kali tidak jelas, apalagi bagaimana benang-benang tersebut berinteraksi.
Hal ini pasti menggambarkan konteks legal di berbagai negara berhutan tropis di seluruh dunia, di mana orang berusaha untuk mecari nafkah dari lahan, atau berusaha melestarikan ekosistem alami, atau berusaha menerapkan REDD+ atau strategi pembangunan rendah emisi lainnya. Negara-negara seperti Peru, Indonesia atau Tanzania, misalnya, secara harfiah memiliki ratusan peraturan dan norma yang mengatur tata guna lahan, yang diterbitkan dan ditegakkan (atau tidak) oleh banyak badan dalam pemerintahan – termasuk departemen kehutanan, lingkungan hidup, pertanian, keuangan atau pertambangan, misalnya – dan oleh banyak tingkatan, dari presiden nasional sampai kepala desa.
Beberapa dari kekuasaan dan tanggung jawab yang paling penting yang dimiliki berbagai pemerintah yang berbeda adalah, dan yang mempengaruhi bagaimana lahan digunakan, memasukkan pengklasifikasian lahan, kepemilikan lahan, otorisasi konsesi dan penggunaan izin, menciptakan kawasan lindung, menawarkan insentif konservasi (seperti pembayaran untuk layanan lingkungan), dan memberikan insentif pertanian dan peternakan seperti subsidi, kredit, dan bantuan teknis.
Bagaimana lahan diklasifikasikan dapat menentukan penggunaan apa yang diizinkan pada lahan tersebut, dan bahkan siapa yang dapat memegang izin dengan jenis apa. Klasifikasi lahan sering kali dikemukakan sebagai suatu proses teknis, tetapi sebenarnya lebih cenderung politis: kementerian atau instansi mana yang mengendalikan klasifikasi lahan, seberapa partisipatifnya, dan sampai derajat mana mengikatnya dapat memberi pengaruh yang nyata terhadap penggunaan lahan.
Kepemilikan dan pemberian izin terhadap lahan dapat menentukan bukan saja bagaimana lahan digunakan, tetapi juga siapa yang dapat mengambil keputusan tentang inisiatif penggunaan lahan termasuk mendapat manfaat dari lahan tersebut. Dan subsidi, kredit dan akses ke pasar selalu beroperasi di belakang layar, memberikan insentif untuk satu jenis penggunaan lahan atau lainnya, baik konservasi untuk biodiversitas atau konversi untuk tanaman pangan yang dapat diekspor.
Mencungkil ke dalam jejaring hukum dan kebijakan – peraturan ini berusaha mengurai benang-benang dan simpul-simpul untuk memahami bagaimana tertalinya benang dan simpul tersebut memberikan wawasan yang berarti pada kekuatan legal yang menghalangi atau membantu berbagai usaha untuk mencapai pembangunan rendah emisi.
LIMA NEGARA, RATUSAN ATURAN HUKUM
Kami telah meninjau ratusan norma dan peraturan di lima negara – Peru, Indonesia, Tanzania, Meksiko dan Vietnam – termasuk menyingkap serangkaian kekuatan legal yang berperan. Lingkungan legal di negara-negara ini sangat beragam, tetapi beberapa elemen yang sama muncul. Elemen-elemen ini umumnya berkaitan dengan desentralisasi, kejelasan (atau lebih cenderung pada kebingungan) di seputar mana lembaga pemerintahan bertanggung jawab atas apa, dan terhadap berbagai prioritas pembangunan yang didukung oleh hukum tersebut.
Kami juga melihat bahwa, biasanya, kementerian yang berlainan melaksanakan berbagai kebijakan pemerintah di setiap sektor yang berbeda, tetapi bahwa tingkat otoritas dan tanggung jawab yang mereka berikan kepada subdivisi administatif mereka di tingkat regional dan lokal sangat bervariasi di seluruh negara.
Di Indonesia, otonomi kabupaten telah maju mundur seperti tarik tambang dengan pemerintah pusat sejak desentralisasi pasca pemerintahan Suharto. Baru-baru ini, tata kelola pemanfaatan lahan telah “ditentukan” oleh badan-badan yang jumlahnya sangat besar dengan otoritas yang sering kali tumpang tindih. Misalnya, pemerintah kabupaten telah memiliki otoritas cukup besar untuk mendermakan konsesi untuk tanaman pangan seprti kelapa sawit, tetapi kehutanan itu sendiri dikendalikan sebagian besar oleh pemerintah pusat. Sementara itu, REDD+ yang berdimensi banyak dipengaruhi oleh sedikitnya empat kantor pemerintahan termasuk juga keterlibatan provinsi. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang akan benar-benar “menjalankan” REDD+, dan mengungkap berapa banyak badan yang akan perlu terlibat dalam suatu program REDD+ nasional.
Di Peru, di mana desentralisasi lebih baru, kekuasaan utama terkait klasifikasi lahan mengikat dan kepemilikan dipegang oleh bidang pertanian baik pada tingkat nasional maupun regional, sementara konsesi pertambangan diotorisasi oleh kantor bidang pertambangan. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup mengendalikan suatu proses “perencanaan teritorial” yang tidak mengikat, dan juga kawasan lindung, meskipun beberapa kekuasaan ini telah dipindahkan baru-baru ini satu tingkat ke seluruh kabinet. Dengan cara ini, kekuasaan sektor lingkungan hidup relatif terbatas dalam praktiknya, bahkan ketika Kementerian terus memikul tanggung jawab utama untuk mengembangkan dan menyebarkan kebijakan REDD+ di Peru.
Tanzania menghadapi kerumitan tersendiri terkait desentralisasi. Sementara Layanan Kehutanan Tanzania telah mendapatkan laba dari kehutanan sejak diciptakannya tahun 2015, kabupaten, desa, dan LSM telah memindahkan lahan keluar dari lingkup layanan tersebut dengan menciptakan cadangan lahan desa, termasuk sebagai bagian dari proyek REDD+. Sementara itu, otoritas lingkungan hidup yang utama, termasuk yang terkait dengan program REDD+ nasional yang akan datang, telah pindah ke kantor Wakil Presiden. Dengan demikian, LSM, donatur, desa dan kabupaten yang sampai saat ini telah memindahkan proyek-proyek REDD+ ke depan jelas berbeda dari lembaga yang secara legal diperlukan untuk mendorong program nasional masa depan tersebut, dan terlebih lagi hadir dalam ketegangan dengan layanan kehutanan nasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan berikutnya: bagaimana REDD+ berakhir dengan mengubah politik seperti itu?
Sementara negara kesatuan komunis Vietnam tampaknya sangat tersentralisasi, inisiatif perubahan penggunaan lahan-berkisar dari penanaman akasia sampai pembayaran untuk layanan lingkungan-harus benar-benar disetujui oleh banyak tingkatan pemerintah. Meskipun banyak tingkatan persetujuan ini, penelitian terkait kami telah menunjukkan bahwa penduduk setempat tidak selalu sepenuhnya memahami inisiatif tersebut.
Pemerintah federal Meksiko dengan anggaran domestiknya yang relatif berlapis menonjok dalam beberapa sisi. Komisi Kehutanan Nasional, yang berkantor di sekretariat lingkungan hidup, telah memegang peranan penting dalam kebijakan REDD+ dan dalam menyebarkan pembayaran untuk layanan lingkungan. Sebagai tambahan, Meksiko unik dalam memiliki sebagian lahannya dipegang secara kolektif oleh masyarakat setempat sebagai “properti sosial”, atau ejido. Sementara ejido memiliki otonomi legal, kantor-kantor pemerintah juga secara legal memiliki daya untuk bekerja dengan mereka dengan memberikan kredit pertanian atau menadaftaran mereka dalam skema-skema PES (pembayaran jasa lingkungan). Badan pemerintah mana yang ditemui suatu ejido dengan demikian mungkin memengaruhi jenis strategi pengelolaan yang akan diadopsinya.
Di semua negara, satu entitas mungkin pada waktu-waktu tertentu membuat keputusan yang merupakan lingkup legal dari badan lainnya, yang mengarah pada konflik dan menghentikan implementasi, tetapi juga menggerakkan beberapa badan untuk berpartisipasi dalam arena kebijakan tentang penggunaan lahan rendah karbon dengan cara-cara yang secara potensial tidak terduga. Misalnya, di Indonesia, Kementerian Keuangan menindaklanjuti usaha-usaha yang dilakukan Kementerian Kehutanan pada waktu itu untuk menangani pembagian keuntungan dari kegiatan karbon hutan setelah Kementerian tersebut menyatakan bahwa usaha Kementerian Kehutanan tidak sah.
Titik utama yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengaturan hukum suatu negara mengatur parameter visi pembangunan yang berbeda antar negara termasuk negosiasi prioritas politik. Pemahaman juga merupakan langkah penting dalam mengidentifikasi kantor-kantor pemerintah mana yang relatif diberdayakan, dan mengapa.
BERBAGAI TANTANGAN SISTEMIK
Meskipun ada keragaman dalam pengaturan legal di semua negara yang diteliti, kami mengamati beberapa tantangan yang umum. Secara khusus, badan-badan kehutanan yang diberi tugas konservasi sering kali kurang kekuasaan legal yang akan memampukan mereka untuk mentransformasi penggambaran perubahan tata guna lahan tradisional. Secara kontras, badan=badan pertanian dan pertambangan, yang agendanya sering kali memasukkan konversi hutan untuk produksi dan ekstraksi sumber daya dan bukannya konservasi, secara umum lebih memiliki daya untuk memajukan sasaran mereka.
Hal ini tidak mengatakan bahwa kekhususan kebijakan tidak menjadi masalah – kekhususannya memang diperlukan. Ketika pemerintah sub-nasilnal di Peru dan Indonesia telah menjual, memberi kepemilikan atau mengizinkan lahan untuk memfasilitasi konversi ke kelapa sawit, “properti sosial” telah menjadikannya jauh lebih sulit di Meksiko.
Hal tersebut tidak berarti bahwa berbagai kebijakan di Meksiko tidak pernah mendukung deforestasi: Kebijakan subsidi dan kredit telah dan benar-benar sudah mendukung. Namun, pada waktu yang sama, sekretariat lingkungan hidup Meksiko memiliki cukup otoritas untuk membagikan pembayaran untuk jasa lingkungan dan mengelolan kawasan lindung – tanda-tanda positif untuk pembangunan rendah karbon.
Butir utama untuk diperhatikan adalah bahwa pengaturan legal suatu negara menentukan paramter dalam lingkung perbedaan visi pembangunan dan prioritas politik yang didukungnya yang telah dinegosiasi. Memahami hal-hal tersebut merupakan langkah penting dalam mengidentifikasi kantor pemerintahan mana yang secara relatif diberdayakan, dan apa alasannya, Dengan informasi yang lebih baik tentang realitas legal ini, para pembuat kebijakan, LSM, masyarakat setempat, dan aktivis dapat mendiagnosis dengan lebih baik berbagai tantangan sistemik dan mengembangkan solusi yang inovatif dan masuk akal.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org