BOGOR, Indonesia (2 Agustus 2011)_Dijalankan oleh CIFOR dan beberapa organisasi di seluruh dunia, Studi Komparatif Global (GCS) yang akan berlangsung selama 4 tahun adalah salah satu studi komparatif besar yang pertama di dunia mengenai bagaimana skema-skema REDD+ dirancang, diterapkan, dimonitor, dilaporkan dan diverifikasi.
Sebagai bagian dari penelitian nengenai peran media dalam menerjemahkan pengetahuan ilmiah menjadi konsumsi publik serta bagaimana ilmu pengetahuan dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan, CIFOR menganalisa peliputan media cetak mengenai REDD+ di Indonesia.
Kumpulan berita ini dirangkum oleh Efrian Muharrom dari tim Penelitian Tata Kelola dan Kehutanan di CIFOR serta Leony Aurora dari tim komunikasi.
- Instruksi Presiden (Inpres) tentang moratorium selama 2 tahun untuk konsesi hutan baru tidak diragukan lagi merupakan kebijakan terkait REDD yang paling ditunggu-tunggu tahun ini. Moratorium tersebut merupakan bagian dari perjanjian dengan Norwegia, di mana Indonesia akan menerima maksimum US$1 milyar bila ada penurunan emisi dari sektor kehutanan yang dapat diverifikasi. Setelah sempat tertunda selama 5 bulan akibat alotnya proses negosiasi dan konsultasi, Inpres tersebut akhirnya ditandatangani pada tanggal 20 Mei 2011 dan akan berlaku di hutan primer dan lahan gambut selama 2 tahun sejak penandatanganan, bukan terhitung mulai 1 Januari 2011 seperti direncanakan semula.
- Moratorium tersebut langsung menuai reaksi dari berbagai sektor. Center for International Forestry Research (CIFOR) mempertanyakan tentang tidak disertakannya hutan sekunder dalam moratorium tersebut yang dapat berakibat pembukaan hutan yang walaupun sebagian pohonnya telah hilang, masih kaya akan keanekaragaman hayati dan cadangan karbonnya. Greenomics mengkritik tidak akuratnya peta indikatif moratorium tersebut. Contohnya, hutan sekunder di Sumatera dan Kalimantan masih diklaim pemerintah sebagai hutan konservasi dan hutan primer. Klaim-klaim yang tidak benar ini tentu saja dapat menyesatkan publik dan harus ditinjau secara hukum, kata Elfian effendi, Direktur Eksekutif Greenomics.
- Peta moratorium juga telah menghapus 17 juta hektar lahan gambut, atau 79% dari 21,5 juta hektar yang dipetakan pada tahun 2004 oleh Wetlands International dengan bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan, kata Kiki Taufik, spesialis GIS di Greenpeace. Lahan gambut yang dihilangkan tersebut termasuk yang ada di sekitar konsesi industri, seperti di Semenanjung Kampar di Riau dan dekat wilayah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Kementerian Kehutanan sebagai pihak yang mengeluarkan peta tersebut menanggapi bahwa peta indikatif tersebut akan diperbaiki sesuai masukan-masukan dari para pemangku kepentingan setiap 6 bulan. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto, mengatakan bahwa saat ini Kementerian Kehutanan sedang menyiapkan peta dengan skala lebih tinggi yaitu 1:190.000 dibandingkan peta dengan skala 1:250.000 yang saat ini digunakan sebagai acuan.
- Dikeluarkannya Inpres ini tidak serta merta berarti kegiatan eksploitasi pada hutan primer akan berhenti. Wilayah-wilayah dimana ijin-ijin prinsip telah diberikan sebelum penandatanganan Inpres, termasuk yang diberikan melalui Peraturan Menterian Kehutanan pada bulan Desember tahun lalu, masih dapat dibuka. Greenomics menghimbau agar peraturan menteri ini dibatalkan. Pengecualian-pengecualian lain diberikan kepada pembangunan proyek-proyek vital dan energi panas bumi.
- Juga pada bulan Mei, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani peraturan lain yang mengijinkan penambangan bawah tanah di hutan lindung menurut sistem tukar lahan. Hal ini membuka jalan bagi 13 perusahaan yang pada tahun 2004 telah diberikan hak untuk beroperasi di hutan lindung. Namun demikian, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat membuka hutan primer dan lahan gambut di hutan lindung karena wilayah tersebut termasuk yang dilindungi moratorium. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengkritik bahwa peraturan pertambangan tersebut gagal merinci mekanisme operasi bawah tanah demi menghindari kerusakan lingkungan.
- Untuk menghitung dampak moratorium, Daryanto mendesak unit tugas REDD+ untuk membentuk Unit Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (measurement, reporting and verification (MRV)) sesegera mungkin. Ketiadaan data akan menyulitkan Indonesia untuk mempertanggungjawabkan komitmennya untuk menurunkan emisi gas-gas rumah kaca sebesar 26% dari tingkat business-as-usual dengan upaya sendiri dan sebesar 41% dengan dukungan dana dari luar pada tahun 2020.
- Persiapan pelaksanaan REDD+, termasuk dibentuknya sebuah unit kerja dan unit MRV, saat ini terhenti karena masa tugas unit tugas REDD+ telah berakhir pada tanggal 30 Juni 2011. Bernardus Steni, Koordinator Perubahan Iklim HUMA, mengatakan bahwa unit tugas REDD+ telah gagal menjalankan fungsinya, termasuk menghasilkan strategi pelaksanaan REDD+ dan kerangka kerja pemantauan dan evaluasi REDD+ (13. Namun demikian, ia mendesak agar masa kerja unit kerja REDD+, yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto yang juga menjabat sebagai Ketua UKP4, dapat diperpanjang untuk mengawal proses transisi sebelum badan REDD+ dibentuk.
- Dokumen lain yang juga belum ada adalah penunjukan formal untuk Kalimantan Tengah sebagai propinsi percontohan REDD+. Walaupun pemerintah telah mengumumkannya pada bulan Desember tahun lalu, propinsi Kalimantan Tengah tidak dapat menerima dana untuk pelaksanaan proyek-proyek percontohan REDD+ tanpa adanya dokumen yang sah secara hukum. Proyek-proyek percontohan di propinsi ini, bagaimanapun, telah menarik perhatian. Kelompok-kelompok masyarakat adat dari 11 kabupaten mengadakan pertemuan dan menuntut pemerintah menghentikan proyek-proyek percontohan REDD+ di propinsi ini sampai pemerintah dapat memberikan informasi yang memadai kepada masyarakat lokal.
- Dana untuk persiapan dan uji coba REDD+ terus mengalir. Norwegia dan Jerman memberikan dana sebesar US$50 juta dan US$30 juta kepada World Bank Carbon Fund sebagai bagian dari proyek Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), yang menggenapkan dana bantuan REDD+ menjadi US$200 juta, termasuk dari Inggris, Australia dan Amerika Serikat. Indonesia mungkin akan menerima 90 juta US dollar dari dana tersebut. Kementerian Kehutanan juga telah diberikan dana hibah sebesar US$3,6 juta untuk menyusun strategi nasional REDD+, termasuk untuk meng-analisis faktor-faktor pendorong terjadinya deforestasi, konsultasi dengan para pemangku kepentingan, dan peningkatan kapasitas. Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia juga menandatangani nota kesepakatan bersama dengan Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat untuk memperkuat kerja sama dalam bidang lingkungan hidup antara kedua negara.
- Aliran dana-dana kepada Indonesia melalui proyek-proyek perubahan iklim atau lingkungan hidup mungkin disebabkan oleh meningkatnya popularitas Prseiden Susilo Bambang Yudhoyono di mata internasional, mulai dari kepemimpinannya di Bali pada tahun 2007 sampai ke terobosan komitmen penurunan emisinya pada tahun 2009. Indonesia merupakan negara berkembang pertama yang membuat komitmen penurunan emisi di saat dunia memusatkan perhatiannya pada negara-negara maju untuk mengumumkan target penurunan emisi.Popularitas tersebut bukannya tanpa maksud. Teguh Surya dari Walhi mengatakan sudah menjadi rahasia umum bahwa Presiden SBY saat ini sedang mengincar kursi Sekretaris Jenderal PBB, yang juga dibenarkan oleh seorang pejabat Bappenas yang tidak disebutkan namanya. Teuku Faizasyah, juru bicara Presiden untuk urusan luar negeri, membantah berita tersebut. Walaupun pakar komunikasi Effendi Ghazali mengatakan bahwa banyak komunitas internasional menganggap Presiden SBY sebagai teladan internasional dalam perubahan Iklim, para aktivis lokal memiliki pandangan berbeda berdasarkan keprihatinan bahwa Indonesia sejauh ini kurang berhasil menerapkan komitmen penurunan emisinya.Artikel ini diterjemahkan oleh Nita Murjani, tim komunikasi CIFOR.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org