Rakyat Indonesia tentu tidak lupa tentang arti khusus Jepara dalam perjuangan emansipasi wanita. Di kabupaten inilah lahir pahlawan emansipasi wanita, Raden Ajeng Kartini (1879 – 1904), yang dengan gigih memperjuangkan kesetaraan hak bagi wanita Indonesia yang pada waktu itu kuat didominasi oleh budaya patriarki.
Mungkin semangat ini yang menjadi inspirasi Erlisa Sulasmi (37 tahun) yang biasa dipanggil Lisa, wanita Jepara yang telah lama terlibat dalam industri furnitur yang terkenal turun temurun di daerah tersebut. Lulus kuliah dari sebuah akademi bahasa asing di Semarang, Jawa Tengah, Lisa memilih kembali ke Jepara dan memulai karirnya di industri furnitur sebagai tenaga administrasi ketimbang menjadi pegawai di kantor pemerintahan seperti diminati banyak orang.
Lisa adalah Kartini muda yang cukup beruntung mendapat kesempatan untuk memperjuangkan salah satu warisan budaya Indonesia yang tak ternilai harganya. Keunikan furnitur Jepara terletak pada motif ukirannya yang khas, yang cetak birunya ada dalam darah yang mengalir dalam tubuh para pengrajinnya. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jepara, furnitur memberikan kontribusi sekitar 27% untuk perekonomian kabupaten tersebut dan sekitar 10% dari total ekspor furnitur Indonesia pada tahun 2009.
Kemauan yang kuat untuk mendalami industri ini sempat membawa Lisa ke posisi sebagai Manajer Ekspor di perusahaannya. Kesempatan ini bukanlah sebuah hal yang mudah karena menurut Herry Purnomo, peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) sekaligus koordinator untuk proyek FVC (Furniture Value Chain), hasil penelitian aksi yang dilakukan CIFOR menunjukkan bahwa masih banyak wanita Jepara yang tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan kaum pria dalam industri ini. Menurut Lisa, buruh tenaga wanita banyak yang dibayar lebih rendah dari pria. “Buruh wanita dianggap hanya bisa melakukan pekerjaan spesifik seperti mengamplas atau mencat, sementara yang pria bisa merangkap menjadi kuli angkut.”
Saat ini, Lisa telah meninggalkan perusahaan tersebut dan sedang mengembangkan usaha furniturnya sendiri. Ia mengakui bahwa perjuangan membangun industri seperti ini tidaklah mudah, apalagi setelah kepergian suami tercinta dua tahun yang lalu yang membuatnya harus membesarkan kedua anaknya sendirian. Lisa pernah ditipu oleh perusahaan besar yang menolak produk yang sudah dipesan karena, katanya, tidak sesuai dengan pesanan, sehingga produksi harus berhenti selama beberapa bulan untuk menghabiskan stok barang yang menumpuk.
Tapi Lisa tetap gigih berusaha untuk bangkit lagi, termasuk dengan mengembangkan strategi pemasaran online dan memilih sumber bahan baku supaya dapat menembus ‘green market’ yang mengharuskan industri furnitur memakai kayu yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. CIFOR sendiri melalui FVC telah memberikan berbagai pelatihan, salah satunya ‘Chain of Custody’, sebagai upaya mempersiapkan pengrajin menghadapi pasar global, terutama dari sisi pemasaran green product dan fair trade yang justru dapat menjadi peluang pasar baru sekaligus mendukung pelestarian hutan tropis Indonesia. Selama ini pengrajin kecil hanya berperan dalam produksi dan tidak mampu memasarkan produknya secara langsung. Kebanyakan dari mereka menjual produknya kepada gudang atau pengusaha besar yang kemudian mengekspor furniture tersebut. Akibatnya, posisi tawar pengrajin menjadi lemah dan tidak bisa berkembang.
Selain terobosan positif dengan membangun jejaring sosial melalui pemasaran online, Lisa juga tergabung dalam APKJ (Asosiasi Pengrajin Kecil Jepara) yang didirikan pada tahun 2009. Pembentukan asosiasi pengrajin ini bertujuan agar mereka memiliki wadah untuk berorganisasi, bisa meningkatkan posisi tawar, memberikan solusi masalah dan meningkatkan kualitas produk serta mengembangkan sumber daya manusianya.
Perjuangan Lisa dapat menjadi inspirasi bagi wanita Jepara lain bahwa mereka tidak harus berdiam diri dan dapat berperan aktif menyelamatkan warisan budaya. Bidang yang ditekuni wanita bisa berbeda dengan pengrajin pria karena masing-masing pasti memiliki kelebihannya sendiri. “Industri Jepara yang administrasi dan marketingnya ditangani oleh wanita justru banyak yang mengalami kemajuan pesat. Selain itu, bidang desain, yang saat ini masih didominasi laki-laki, juga potensial dikembangkan oleh wanita,” kata Lisa. Jadi siapa bilang industri Jepara harus dominasi kaum pria? Pasti banyak ‘Lisa-Lisa’ yang lain yang dapat dihasilkan di tanah Jepara.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org