BOGOR, Indonesia (30 Juli 2013)_Kebakaran bulan lalu di pulau Sumatera menjadi tajuk utama berita dunia, memecahkan rekor tingkat polusi udara di negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia. Standar Indek Polutan (PSI) Singapura mencapai catatan tertinggi yaitu 371 pada 21 Juni 2013, melampaui “ambang batas bahaya” resmi yaitu 301 atau lebih.
Analisa dari World Resources Institute (WRI), Eyes on the Forest, dan World Agroforestry Centre terhadap peta konsesi yang ada bersumber dari kantor pemerintah pusat dan provinsi, ditumpang susunkan dengan peringatan kebakaran harian NASA, menunjukkan bahwa sejumlah besar peringatan kebakaran terjadi di lahan yang disewakan kepada perusahaan perkebunan untuk pembangunan perkebunan industri besar minyak sawit dan akasia.
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam analisis ini: peringatan kebakaran NASA tidak menunjukkan bentuk dan area terbakar, sehingga sulit untuk secara akurat menentukan penggunaan lahan dari data ini.
Lebih penting lagi, bagaimanapun, bahwa jika peta batas konsesi industri perkebunan minyak sawit dan bubur kertas (akasia) berbeda dari peta batas yang dimiliki perusahaan, analisis bisa menjadi salah—dan banyak perusahaan menyanggah dengan alasan ini (lihat blog WRI di sini).
Oleh karena itu, ketika para menteri Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Brunei bertemu pada 17 Juli untuk mencari solusi masalah asap ini, mereka menekankan perlunya Indonesia menyediakan peta rinici mengenai tata guna lahan dan wilayah terbakar.
CIFOR’s Interactive Fire Map
Peta tidak dimunculkan dengan jelas? Lihat lebih jelas di jendela baru.
Sementara perlu waktu untuk peta tata guna lahan terinci dikeluarkan, di sini kita menunjukkan bahwa dimungkinkan menyusun peta tata guna lahan yang menunjukkan area efektif perkebunan industri dan area terdampak api, menggunakan citra sebelum-dan-sesudah kebakaran dari satelit LANDSAT 8 yang baru diluncurkan NASA.
Data ini menunjukkan bahwa:
- Sekitar 140.000 ha terbakar pada Juni dalam satu gambar LANDSAT (Path/Row:127/059) meliputi wilayah seluas 3.5 juta ha (kira-kira 7,5 persen daratan di Sumatera). Kami memilih gambar ini karena mengandung jumlah besar peringatan kebakaran (64% peringatan kebakaran Sumatera pada Juni tercatat dalam gambar ini (Temuan 1);
- Industri minyak sawit dan perkebunan akasia bertanggungjawab terhadap 21 persen area terbakar (Temuan 2);
- Banyak perkebunan industri berada dalam citra LANDSAT dimana mereka tidak memiliki konsesi, dalam peta pemerintah dan begitu pula kebalikannya (Temuan 3).
- Hanya 4% area terbakar terjadi di hutan alam sebelum kebakaran (Temuan 4).
Untuk mendefinisikan batas perkebunan industri minyak sawit dan akasia yang ada, kami menganalisa tata ruang ruang paket lahan yang jelas terlihat pada citra satelit LANDSAT sebelum kebakaran (25 Juni 2013, 22 April 2013). Kami mendigitalkan tata ruang mirip-persegi paket lahan, mereka memiliki bentuk persegi panjang, ukuran dan arah yang sama—mencirikan perkebunan industri minyak sawit dan akasia mapan di lahan gambut dataran rendah provinsi Riau, wilayah terdampak paling buruk kebakaran. Kami mengidentifikasi tiap grid menjadi minyak sawit atau akasia menggunakan informasi spektral dari citra satelit. Kami juga mengidentifikasi kelompok paket lahan beragam bentuk, ukuran, dan arah, yang menunjukkan pemilik lahan kecil dan menengah.
Temuan 1 — Sekitar 140.000 hektare terbakar selama kejadian Juni
Peta wilayah terbakar yang baru dikeluarkan CIFOR mengungkap bahwa sekitar 140.000 hektare terbakar selama kebakaran 17-25 Juni dalam satu gambar LANDSAT (Path/Row:127/059) mencakup wilayah seluas 3,5 juta ha (yaitu 7,5 persen Sumatera); gambar ini merupakan terdampak paling buruk akibat kebakaran (64% peringatan kebakaran Sumatera pada Juni terjadi dalam gambar ini), dekat kota Dumai dan Duri. Luas wilayah terbakar ini lebih tinggi dari analisis pendahuluan kami karena kami sekarang bisa mengidentifikasi kebakaran yang sebelumnya tertutup awan. Sebaran spasial wilayah terbakar terkait kuat dengan lokasi peringatan kebakaran harian NASA selama Juni.
Temuan 2 — Perkebunan industri minyak sawit dan akasia bertanggungjawab terhadap 21% area yang terbakar
Berdasarkan peta penggunaan lahan turunan LANDSAT, kami bisa menghitung area setiap jenis penggunaan lahan terdampak kebakaran. Data-data ini menunjukkan bahwa walaupun jumlah besar api terjadi di luar perkebunan mirip-persegi yang menjadi ciri perkebunan industri minyak sawit dan akasia (79%), proporsi signifikan terjadi di dalam perkebunan industri minyak sawit dan akasia (21%).
Temuan 3 — Banyak perkebunan industri berada di tempat yang tidak ada konsesi
Kami menemukan perbedaan besar antara peta penggunaan berbasis LANDSAT dengan peta konsesi industri terpublikasi. Banyak perkebunan industri dalam citra LANDSAT berada di tempat yang tidak ada konsesi dalam peta pemerintahan, dan begitu pula sebaliknya.
Temuan 4 — Hanya 4% wilayah terbakar meliputi hutan alam sebelum kebakaran
Analisis tutupan vegetasi kami sebelum kebakaran (segera dipublikasikan) mengungkap hanya 4% area terbakar (14.000 ha) meliputi hutan alam pada dua bulan sebelum kebakaran, walaupun separuh wilayah ini adalah hutan alam pada 2008, dan akhir-akhir ini terjadi deforestasi. Tutupan vegetasi didominasi oleh vegetasi rendah dan tanah terbuka. Peta vegetasi rinci dan tervalidasi pra-kebakaran tengah disiapkan.
Investigasi lapangan diperlukan untuk menentukan penyebab api
Tampaknya tidak ada alasan bisnis bagi perusahaan untuk melakukan pembakaran dalam perkebunan mereka; banyak perusahaan minyak sawit berkomitmen pada kebijakan “tidak melakukan pembakaran”—sesuai dengan standar keberlanjutan seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), International Sustainability & Carbon Certification (ISCC), dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)—sementara kayu terkarbonisasi dalam perkebunan akasia dibutuhkan dalam proses pembuatan bubur kertas, demikian menurut Neil Franklin dari Daemeter Consulting, sebuah firma konsultasi lingkungan berbasis- Indonesia. Walaupun, seringkali perusahaan perlu membersihkan lahan, dan membakar masih menjadi cara termurah untuk membersihkan lahan ini.
Investigasi lapangan diperlukan untuk memahami mengapa kebakaran juga terjadi di dalam perkebunan industri. Apakah pengelola perkebunan menggunakan pembakaran sebagai bagian dari strategi tata kelola untuk mengurangi biaya pembersihan lahan? Apakah kebakaran dimulai di luar perkebunan industri dalam perkebunan kecil dan menengah, tetapi masuk ke perkebunan besar? Apakah kebakaran dalam perkebunan industri mengindikasikan konflik dengan aktor kecil dan menengah? Daftar pertanyaannya panjang.
Di atas semuanya, kebakaran bulan lalu mengejutkan semua orang: Tidak ada yang menduganya. Investigasi rinci diperlukan untuk menentukan apa pemicu peningkatan abnormal aktivitas kebakaran pada Juni, dibanding tren historis.
Informasi yang disediakan dalam blog ini dimaksudkan untuk membantu tim penanggulangan dalam menilai dampak kebakaran di lapangan, serta untuk menginformasikan jurnalis, pengambil keputusan dan publik umum dengan pandangan objektif ilmiah. Semua informasi yang tersedia dalam blog ini masih dalam proses penelitian, dan publikasi ilmiah akan diterbitkan.
Untuk informasi lebih lanjut tentang isu-isu yang dibahas dalam artikel ini, silahkan hubungi David Gaveau (d.gaveau @ cgiar.org) dan Agus Salim (a.salim @ cgiar.org).
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org