Berita

Kalimantan Timur akan Uji Coba Sistem Safeguards REDD+

Pembangunan SIS REDD+ mencoba mengidentifikasi pendekatan yang tepat, termasuk mekanisme partisipasi masyarakat adat dan komunitas lokal.
Bagikan
0
Diharapkan sistem ini dapat menjadi peta biru untuk pelaksanaan safeguards di seluruh Indonesia. Foto oleh Jasper Wiet/Flickr

Bacaan terkait

Bogor, Indonesia (15 Setember 2012) _Uji coba pelaksanaan Sistem Informasi Safeguards REDD+ (SIS REDD+) akan dilakukan di provinsi Kalimantan Timur akhir Desember tahun ini sebagai salah satu persiapan Indonesia untuk memastikan bahwa REDD+ dan kompensasi perlindungan hutan mengikuti standar internasional dan diterima baik oleh masyarakat.

“Provinsi Kaltim termasuk mandiri: bantuan dana dari luar tidak banyak, tapi maju dalam pelaksanaan REDD+,” kata Nur Masripatin, Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan dalam acara komunikasi dengan para pemangku kepentingan mengenai pembangunan SIS REDD+ baru-baru ini di Jakarta.

Safeguards adalah syarat mutlak pelaksanaan REDD+, atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, yaitu skema global yang memberikan kompensasi bagi negara-negara berkembang untuk melindungi hutan mereka. Ada lebih dari 40 program uji coba REDD+ yang pernah dimulai di Indonesia dengan sistem pengaman yang berbeda-beda, namun bertujuan sama yaitu menghindari pengabaian hak-hak masyarakat.

“Uji coba SIS dilaksanakan agar kami bisa mendapat template dalam konteks Indonesia,” kata Nur. Pembangunan SIS REDD+ mencoba mengidentifikasi pendekatan yang tepat dan mengacu pada indikator safeguards yang telah disepakati di konvensi multi-pihak perubahan iklim, atau COP, di tahun 2010, termasuk diterapkannya keterbukaan informasi dan mekanisme partisipasi masyarakat adat dan komunitas lokal pelaksanaan REDD+, tambahnya.

SIS REDD+ akan menyediakan informasi tentang bagaimana perlindungan lingkungan dan sosial “ditangani dan dihormati” dalam persiapan dan pelaksanaan REDD+, menurut Kementerian Kehutanan. Sistem ini akan mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data implementasi praktik-praktik safeguards, atau pengaman sosial, di lapangan.

Clinton Climate Initiative (CCI), misalnya mensosialisasikan praktik safeguards di proyek uji coba REDD+ yang mereka fasilitasi di Kalimantan Tengah, misalnya proyek PT Rimba Makmur Utama dan PT Rimba Makmur, dengan membentuk gugus tugas kerja untuk mendapatkan masukan, saran dan komentar dari masyarakat tentang pengaruh dan dampak program REDD+ di Kalimantan, kata Stepi Hakim, koordinator nasional CCI.

“Kami juga membuat ruang keluhan di setiap pertemuan untuk menampung dan mencoba mencari solusi dari kesulitan komunitas,” tambah Stepi.

Pedoman safeguards untuk semua

Safeguards sebenarnya bukan merupakan hal baru di Indonesia karena kebijakan ini sebenarnya sudah diberlakukan untuk berbagai inisiatif atau kebijakan berdampak sosial lainnya. Namun, belum adanya satu pedoman safeguards khusus untuk proyek REDD+ yang digunakan semua pihak membingungkan publik, termasuk para investor REDD+. Ada berbagai jenis pengaman sosial yang digunakan di tingkat internasional, misalnya safeguards Climate, Community and Biodiversity (CCB) dan Strategic Environmental and Social Safeguard Assessment (SESA).

CCB adalah standar safeguards yang memungkinkan pengukuran dalam skala kecil, sehingga komunitas lokal dapat membuat proyek REDD+ mereka sendiri. “CCB lebih berorientasi pada pasar karbon,” ujar Dharsono Hartono, Direktur PT. Rimba Makmur yang mengelola Katingan Peat Restoration Project di Kalimantan Tengah.

Sementara itu, Bank Dunia, misalnya, mengharuskan negara-negara peserta Forest Carbon Partnership Facility, yang membiayai beberapa proyek uji coba REDD+, untuk menggunakan SESA. Standar ini mengedepankan identifikasi resiko sosial lingkungan dalam proses persiapan aksi-aksi mitigasi dan pelaksanaan REDD+.

Hartono menghimbau kepada para pembuat kebijakan untuk memudahkan pelaku dan investor REDD+ dengan membuat pengaman sosial yang dapat berlaku di semua kondisi dan diterima oleh semua pihak, baik dari tingkat nasional maupun internasional.

Hal ini memang tidak mudah. Namun, ada contoh yang mungkin bisa dipakai sebagai model, yaitu kesepakatan antara Forest Stewardship Council (FSC) dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) bahwa sertifikasi kayu yang dikeluarkan oleh satu organisasi dapat diterima oleh organisasi lainnya, kata Agus Sari, Ketua Kelompok Kerja Pendanaan Satgas REDD+.

Indonesia memberlakukan dua macam standar sertifikasi produk kayu. Sertifikasi internasional dikeluarkan oleh FSC dan sertifikasi nasional diusung oleh LEI.  Kedua sertifikasi ini diakui oleh pasar nasional dan internasional.

Sebagaimana sistim SIS REDD+ akan diluncurkan dalam beberapa bulan mendatang, pemerintah juga akan mengadakan sesi umpan balik dengan berbagai pemangku kepentingan baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten guna mengukur keberhasilan sistem serta menyakinkan adanya perbaikan.

Diedit oleh: Leony Aurora dan Islaminur Pempasa

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org