Memperkuat peran perempuan dalam restorasi hutan dan bentang alam: Saatnya bergerak cepat

Pelatihan GESI di Tingkat komunitas memperluas peran perempuan dan usaha Kenya merestorasi hutan
Bagikan
0
Di Kenya, setelah hasil panen yang buruk, sekelompok perempuan berdiskusi tentang cara mengintegrasikan praktik agroforestri ke dalam sistem pertanian mereka. Foto oleh Ann Wavinya / CIFOR-ICRAF.

Bacaan terkait

Ketika Clemence Mnyika bergabung dengan Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) pada tahun 2023 sebagai fasilitator komunitas di pesisir Kenya, Ia dibekali dengan kompetensi yang tepat untuk peran tersebut. Namun, berbicara di depan umum merupakan tantangan terbesar yang ia harus hadapi. Ia merasa kesulitan untuk menegaskan dirinya dalam lingkungan publik karena dibesarkan dalam budaya di mana perempuan dikesampingan dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan. Hal ini menjadi hambatan yang signifikan bagi seseorang yang bertugas memimpin sesi penguatan kapasitas Gender, Kesetaraan, dan Inklusi Sosial (GESI – Gender, Equity and Social Inclusion).

Namun, Mnyika makin cepat percaya diri setelah bergabung dalam proyek ini. Selama pelatihan fasilitator GESI, ia belajar membedakan antara peran berdasarkan jenis kelamin dan gender—pemahaman yang membantunya menyadari bahwa berbicara di depan umum adalah sebuah konstruksi sosial, bukan keterampilan bawaan. Dengan wawasan ini, ia mulai mengatasi keraguannya. Dalam hitungan bulan, ia sepenuhnya menjalankan perannya, menggunakan suaranya untuk memberdayakan orang lain dan menginspirasi perubahan di komunitasnya.

Clemence Mnyika memfasilitasi sebuah sesi dalam salah satu pelatihan GESI. Foto oleh Ann Wavinya / CIFOR-ICRAF.

“Peran perempuan dalam pengambilan keputusan telah lama diabaikan di komunitas saya,” ujar Mnyika.

Delapan belas bulan kemudian, Mnyika dan rekan-rekan fasilitator komunitas telah melatih lebih dari 1.200 anggota komunitas di Kabupaten Makueni dan Taita-Taveta. Mereka membantu membentuk kembali hubungan gender serta mendefinisikan ulang peran perempuan dalam restorasi lingkungan. Meskipun tujuan utama sesi penguatan kapasitas GESI adalah membekali komunitas dengan pendekatan transformatif gender dalam restorasi hutan dan lanskap, dampak jangka panjangnya jauh lebih mendalam. Para peserta perempuan yang terlibat menyatakan bahwa pelatihan ini telah meningkatkan kepercayaan diri mereka, memungkinkan mereka untuk berperan lebih aktif dalam upaya restorasi.

“Komunitas saya telah lama mengabaikan peran perempuan dalam pengambilan keputusan,” kata Mnyika. “Melalui sesi GESI, banyak perempuan kini lebih percaya diri menyuarakan gagasan dan mewujudkannya. Ini menjadi langkah penting dalam memastikan keterlibatan generasi perempuan mendatang dalam restorasi.”

Pendidikan dan dialogue sebagai kunci pemberdayaan perempuan

Hari Perempuan Internasional menjadi pengingat akan peran penting perempuan dalam pengelolaan lahan secara berkelanjutan serta upaya berkelanjutan menuju kesetaraan gender. Di Kabupaten Makueni dan Taita-Taveta, Kenya, inisiatif berorientasi gender menunjukkan bahwa seluruh komunitas berkembang ketika perempuan mendapatkan pengaruh dan kesempatan.

Melalui Proyek Solusi Berbasis Alam NBS UK Pact project – NBS memelopori perubahan dalam cara komunitas memandang gender dan restorasi hutan. Dengan memanfaatkan dialog komunitas yang terstruktur, proyek ini mendorong pemahaman bersama dan tanggung jawab kolektif dalam kegiatan restorasi. Pendekatan inklusif ini telah meningkatkan partisipasi perempuan serta memperkuat hubungan gender yang lebih harmonis, sehingga mendorong pengambilan keputusan bersama dan upaya kolektif yang lebih efektif.

Mercy Musyoki, seorang fasilitator komunitas CIFOR-ICRAF, membimbing peserta dalam kegiatan tentang seks dan gender. Foto oleh Ann Wavinya / CIFOR-ICRAF.

Para fasilitator menggunakan alat interaktif untuk mendorong diskusi komunitas tentang norma-norma gender. Aktivitas pertama mengajak komunitas untuk mengkaji peran dan norma gender yang dikonstruksi secara sosial serta bagaimana perkembangannya dari waktu ke waktu. Alat lainnya membantu peserta menganalisis ketimpangan dalam beban kerja dan pengambilan keputusan di dalam rumah tangga, serta mengeksplorasi bagaimana ketidaksetaraan tersebut dapat menjadi tantangan dalam restorasi lahan. Salah satu alat yang paling berpengaruh, gender progress markers, mengundang laki-laki dan perempuan untuk mendefinisikan perubahan yang ingin mereka lihat satu sama lain.

Seorang peserta lokakarya GESI di Makueni sedang melakukan salah satu kegiatan. Foto oleh Ann Wavinya / CIFOR-ICRAF.

Mengakui kontribusi perempuan dalam praktek berkelanjutan

Salah satu hasil utama dari sesi pelatihan di tingkat komunitas ini adalah meningkatnya pengakuan terhadap kontribusi dan peran perempuan dalam praktik pengelolaan lahan berkelanjutan. Secara tradisional, pengelolaan dan restorasi hutan didominasi oleh laki-laki. Namun, seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan perempuan melalui pelatihan serta inisiatif ini, mereka menjadi agen perubahan yang kuat, memimpin upaya restorasi dengan keberhasilan yang luar biasa.

Perubahan ini terlihat jelas dalam pemilihan Asosiasi Hutan Komunitas (CFA – Community Forest Association) terbaru di kedua kabupaten, di mana sebanyak 45 perempuan terpilih untuk menduduki posisi kepemimpinan—jumlah tertinggi dalam sejarah.

“Jika pelatihan GESI ini tidak ada, saya tidak akan pernah mendapatkan posisi ini,” ujar Triza Kilonzo, Sekretaris CFA Makueni yang baru terpilih sekaligus pemimpin generasi muda. “Kami telah belajar bahwa setiap orang harus terlibat dalam upaya restorasi. Pengambilan keputusan yang inklusif kini semakin membaik, baik di tingkat rumah tangga maupun komunitas.”

Pandangan ini diamini oleh Peter Mutua, konservator hutan Taita-Taveta yang mengawasi pemilihan CFA di kabupaten tersebut.

“Pembelajaran dari GESI telah merevolusi kepemimpinan CFA,” ujar Mutua. “Belum pernah sebelumnya kami melihat begitu banyak perempuan maju dalam pemilihan—dan menang.”

Mengubah norma sosial untuk konservasi lingkungan yang inklusif

Proyek ini membuktikan bahwa kesetaraan gender dalam restorasi hutan dan lanskap bukan sekadar meningkatkan akses perempuan terhadap lahan dan sumber daya—melainkan, ini juga tentang mengubah norma sosial. Ini tentang meruntuhkan hambatan yang menghalangi perempuan untuk mengambil peran kepemimpinan. Ini tentang menciptakan masa depan di mana perempuan dan laki-laki bekerja bersama sebagai mitra sejajar untuk melindungi dan merestorasi lingkungan serta komunitas mereka.

“Melibatkan semua orang, tanpa memandang gender, dalam proses restorasi menciptakan rasa memiliki,” ujar Mary Crossland, ilmuwan sistem mata pencaharian dan pertanian di CIFOR-ICRAF. “Ketika masyarakat melihat diri mereka sebagai kontributor sekaligus penerima manfaat dari restorasi, mereka lebih cenderung berinvestasi dalam waktu dan energi mereka. Hal ini menghasilkan dampak restorasi yang lebih baik dan berkelanjutan.”

“Including everyone, regardless of gender, in the restoration process creates a sense of ownership,” says CIFOR-ICRAF livelihood and farming systems scientist Mary Crossland. “When people see themselves as both contributing to and benefiting from restoration, they are more likely to invest their time and energy. That leads to better and more sustained restoration outcomes.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
MENU CLOSE ×