Pada bulan Desember 2024, para pemimpin global, ilmuwan, pembuat kebijakan, dan pemangku kepentingan berkumpul di Riyadh, Arab Saudi, untuk menghadiri Konferensi Para Pihak ke-16 (COP16) untuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Memerangi Penggurunan (UNCCD). Dengan lebih dari 20.000 peserta dari hampir 200 negara, konferensi ini menyediakan platform penting untuk mengatasi tantangan penggurunan, degradasi lahan, dan kekeringan yang terus meningkat, serta mengembangkan strategi yang dapat ditindaklanjuti untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.
Ibrahim Thiaw, Wakil Sekretaris Jenderal dan Sekretaris Eksekutif UNCCD, mengatakan, “Seruan UNCCD untuk mengatasi penggurunan, degradasi lahan, dan kekeringan bukan lagi sebuah bisikan, melainkan telah diakui di tingkat tertinggi dalam pengambilan keputusan global, yang menandakan pengakuan global akan kekuatan transformatifnya.”
Menampilkan penelitian terobosan
Selama dua minggu acara penting ini, Center for International Forestry Research (CIFOR) dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) ikut berpartisipasi dalam lebih dari lima puluh kegiatan sampingan dan dialog, menyumbangkan keahliannya dalam pengelolaan lahan, restorasi, tata kelola, dan ketangguhan iklim yang berkelanjutan. Melalui penelitian berbasis bukti dan pendekatan kolaboratif, CIFOR-ICRAF menonjolkan terobosan penelitian sambil memperkuat suara-suara dari lapangan, berbagi kisah dan pengalaman menarik dari masyarakat yang berada di garis depan tantangan degradasi lahan untuk memastikan perspektif mereka terintegrasi dalam proses pengambilan keputusan global.
CEO CIFOR-ICRAF, Éliane Ubalijoro, menyatakan, “Pohon dan vegetasi merupakan alat yang ampuh dalam membalikkan penggurunan, menstabilkan lahan, dan menciptakan kondisi yang mendukung pertanian serta keanekaragaman hayati.”

Leigh Winowiecki berbicara dalam sesi Land Restoration Moonshot. Foto oleh Aris Sanjaya / CIFOR-ICRAF.
Dalam berbagai acara, diskusi tentang kemajuan pemantauan kesehatan tanah dan restorasi lahan menjadi sorotan utama. Leigh Ann Winowiecki, pemimpin penelitian global CIFOR-ICRAF di bidang kesehatan tanah dan lahan, memimpin beberapa sesi tentang inovasi pemantauan kesehatan tanah, termasuk restorasi padang rumput. Ia menyoroti desain survei lapangan yang kuat hingga teknik laboratorium mutakhir, seperti spektroskopi tanah, serta kemajuan dalam penginderaan jarak jauh untuk melacak dampak intervensi restorasi lahan. Sesi lain yang dipimpin oleh ilmuwan kesehatan tanah, Ermias Betemariam, membahas upaya mengatasi hambatan dalam bidang keuangan, ilmu pengetahuan, dan kemitraan untuk restorasi padang rumput. Selain itu, Anne Larson, ketua tim tata kelola, kesetaraan, dan kesejahteraan CIFOR-ICRAF, memelopori diskusi mengenai gender dan inklusi di COP 16 dengan sesi yang membahas perempuan, pemuda, dan penguasaan lahan untuk restorasi serta ketahanan lahan.
Larson menyatakan, “Kita tidak dapat membuat keputusan untuk masa depan umat manusia dan planet ini tanpa melibatkan separuh populasi.” Ia menambahkan, “Sesi COP16, yang diselenggarakan oleh LANDESA dan GIZ, berfokus pada bagaimana mengatasi hambatan-hambatan yang mendasari hak-hak perempuan melalui pendekatan transformatif gender. Ini termasuk latihan kelompok kecil untuk membedakan antara menjangkau, memberi manfaat, memberdayakan, dan perubahan transformatif.”
Selama konferensi, organisasi ini juga mengumumkan dua Nota Kesepahaman (MoU). Nota kesepahaman pertama, yang ditandatangani dengan Pusat Nasional Pengembangan Tutupan Vegetasi dan Memerangi Penggurunan (NCVC), mendukung Visi Saudi 2030 dan inisiatif-inisiatif Kerajaan, seperti Inisiatif Hijau Saudi dan Inisiatif Hijau Timur Tengah. Program-program ini bertujuan untuk memerangi penggurunan, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan mempromosikan pertanian yang berkelanjutan.
Djoudi Houria, ilmuwan senior CIFOR-ICRAF dan koordinator Timur Tengah, mengatakan, “Kolaborasi penting ini menyatukan upaya kami untuk berbagi praktik terbaik dalam pengelolaan lahan berkelanjutan, memberikan solusi saling menguntungkan yang menyejahterakan manusia dan alam.” Ia menambahkan bahwa tujuan kolaborasi ini adalah untuk memperkuat penyerapan dan dampaknya di Kerajaan Arab Saudi, kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, serta di seluruh lahan kering dunia.
Nota Kesepahaman kedua, yang ditandatangani dengan Fairtrade, menandai komitmen untuk meningkatkan keahlian gabungan guna melindungi sumber daya bumi dan membangun lingkungan yang tangguh.
Hasil Utama COP 16 UNCCD
Tujuh hasil penting yang menjadi titik balik direalisasikan pada penutupan konferensi:
Komitmen dan janji keuangan: COP16 di Riyadh berhasil mengamankan lebih dari 12 miliar dolar AS dalam komitmen pendanaan dari berbagai organisasi internasional. Agenda Aksi Riyadh, yang berfokus pada restorasi lahan, ketahanan terhadap kekeringan, dan sistem pertanian-pangan, menempatkan masyarakat sebagai pusatnya. Selama COP16, berbagai pemangku kepentingan mengadakan konsultasi untuk mengidentifikasi jalur implementasi. Hasilnya, Kemitraan Ketahanan Kekeringan Global Riyadh diluncurkan. Kemitraan ini akan menggabungkan pendanaan publik dan swasta untuk mendukung delapan puluh negara yang paling rentan terhadap kekeringan di seluruh dunia, menggerakkan lebih dari $2,15 miliar dana untuk ketahanan kekeringan, dan beroperasi bersama UNCCD, negara anggota, serta pemangku kepentingan lainnya.
Pengakuan terhadap Masyarakat Adat: COP16 mencatatkan hasil bersejarah dengan pembentukan Kaukus Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, yang memberikan suara bagi mereka yang paling terhubung dengan lahan dalam pengambilan keputusan. Kaukus ini memperkuat hak-hak masyarakat adat dan memungkinkan mereka untuk berpartisipasi secara berarti dalam pembentukan kebijakan iklim dan lahan.
Keterlibatan sektor swasta: UNCCD COP16 memutuskan untuk meminta Sekretariat UNCCD dan Mekanisme Global memobilisasi lebih banyak keterlibatan sektor swasta melalui Inisiatif Business4Land. Keputusan ini menekankan peran penting advokasi perusahaan, strategi lingkungan, sosial dan tata kelola, serta keuangan berkelanjutan dalam mengatasi tantangan penggurunan, degradasi lahan, dan kekeringan. Forum Business4Land mempertemukan lebih dari 400 peserta sektor swasta – jumlah terbesar yang pernah ada di UNCCD COPR – dari berbagai industri seperti keuangan, fesyen, agrikultur, dan farmasi.
Memperkuat ilmu pengetahuan tentang lahan dan kekeringan: Konferensi ini menegaskan kembali peran penting ilmu pengetahuan sebagai dasar kebijakan, dengan dukungan berkelanjutan terhadap Antarmuka Kebijakan-Ilmu Pengetahuan (SPI) UNCCD. Didirikan pada COP11 pada tahun 2013, SPI menerjemahkan temuan ilmiah menjadi rekomendasi kebijakan untuk pengambil keputusan. Pada COP16, SPI menyajikan bukti yang menunjukkan bahwa tiga perempat permukaan bumi yang bebas es telah mengalami kekeringan permanen selama 30 tahun terakhir. Proyeksi ini juga menunjukkan bahwa pada tahun 2100, lima miliar orang akan tinggal di lahan kering, menyoroti urgensi untuk segera mengambil tindakan.

Ermias Betemariam berbicara dalam sesi Mengatasi Kelangkaan Air dan Kekeringan: Solusi Berkelanjutan untuk Sistem Pangan dan Kesehatan Ekosistem di Dunia yang Terdampak Iklim. Foto oleh Aris Sanjaya / CIFOR-ICRAF.
Betemariam mengatakan, “Saya senang bahwa penguatan SPI menjadi salah satu dari tujuh hasil utama UNCCD COP16. Sebagai anggota kelompok penasihat Agenda Aksi Riyadh, CIFOR-ICRAF membawa ilmu pengetahuan mutakhir untuk mendorong aksi transformatif dalam restorasi lahan dan ketahanan kekeringan. Hal ini termasuk mendorong pengelolaan, restorasi, dan konservasi padang rumput yang berkelanjutan, yang merupakan hasil utama kedua dari COP16.”
Perempuan dan kekeringan: Negara-negara menegaskan komitmen mereka untuk mengatasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan serta program yang terkait dengan degradasi lahan dan kekeringan.
Lahan pengembalaan dan para penggembala: Untuk pertama kalinya, Para Pihak UNCCD secara resmi mengakui pengelolaan, restorasi, dan konservasi padang rumput yang berkelanjutan. Ekosistem ini mencakup setengah dari permukaan bumi dan merupakan penggunaan lahan dominan di lahan kering dunia. Namun, ekosistem ini telah lama terabaikan dan menghilang lebih cepat daripada hutan hujan. Degradasi padang rumput mengancam seperenam pasokan pangan global dan berpotensi menghabiskan sepertiga cadangan karbon bumi. Sekitar dua miliar orang yang tinggal di wilayah padang rumput termasuk yang paling rentan terhadap penggurunan, degradasi lahan, dan kekeringan di dunia.
Dari Riyadh ke Mongolia: Membangun momentum setelah COP
Dalam pidato penutupannya, Presiden COP16, Menteri Lingkungan Hidup, Air, dan Pertanian Arab Saudi, Abdulrahman Alfadley, menyatakan bahwa konferensi ini menandai titik balik dalam meningkatkan kesadaran internasional akan kebutuhan mendesak untuk mempercepat restorasi lahan dan ketahanan terhadap kekeringan.
“Kami berharap hasil dari sesi ini akan mengarah pada perubahan signifikan yang memperkuat upaya untuk melestarikan lahan, mengurangi degradasi lahan, membangun kapasitas untuk mengatasi kekeringan, dan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat di seluruh dunia,” tegas Alfadley.
Dengan pencapaian dan hasil dari COP16 yang terus diimplementasikan, fokus kini beralih ke COP17 yang akan diselenggarakan di Mongolia pada tahun 2026. Acara ini akan mempromosikan pengelolaan, restorasi, dan konservasi padang rumput yang berkelanjutan. Secara signifikan, tahun 2026 juga telah ditetapkan sebagai Tahun Internasional Padang Rumput dan Penggembala.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org