Refleksi respons Asia Tenggara terhadap kabut asap lintas batas saat kemarau tiba

Dua dekade telah berlalu, pelajaran apa yang didapat dari Perjanjian ASEAN tentang Polusi Kabut Asap Lintas Batas?
Hutan gambut di Desa Parupuk, Katingan, Kalimantan Tengah, Indonesia. Foto oleh Nanang Sujana/CIFOR-ICRAF

Bacaan terkait

Tantangan mendasar tata kelola lingkungan adalah masalah lintas batas. Berdasarkan sifatnya, fenomena lingkungan tidak tunduk pada batas regional, nasional, atau kontinental – sehingga pengelolaannya memerlukan kolaborasi khusus, sering kali melibatkan banyak pemimpin dan lembaga.

Polusi kabut asap mungkin merupakan masalah lintas batas yang paling umum. Setiap tahun, kabut asap dari kebakaran hutan di musim kemarau menyebar ke sebagian besar wilayah Asia Tenggara – khususnya di negara-negara paling selatan, yaitu Malaysia, Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara-negara utara seperti Thailand, Myanmar, Laos, dan Kamboja. Fenomena ini memiliki dampak lingkungan, ekonomi, dan kesehatan yang besar, seperti menyebabkan kebakaran lebih lanjut, menurunkan jasa ekosistem hutan, memperburuk perubahan iklim, merusak pertanian dan perikanan, menghentikan perjalanan udara, menimbulkan penyakit pernapasan dan infeksi mata dan tenggorokan, dan berdampak pada kesehatan spesies endemik dan terancam seperti orang utan – itu hanya sebagian dari berbagai dampak lainnya. Bank Dunia mengestimasi kerugian ekonomi Indonesia akibat kebakaran tahun 2019 adalah sekitar 5,2 miliar dolar AS atau setara Rp82,4 triliun, dan sebuah estimasi menyebut total kerugian ekonomi dari enam peristiwa kebakaran terbesar antara tahun 2004 dan 2015 adalah sebesar 93,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp1,5 kuadriliun.

Kini, saat pola cuaca El Niño berubah dan musim kemarau menjadi lebih panjang dan lebih panas di kawasan tersebut, perhatian tertuju pada respons Asia Tenggara.

Untungnya, negara-negara di kawasan tersebut telah bekerja sama selama puluhan tahun untuk memitigasi kejadian dan kemungkinan polusi kabut asap.

KTT ASEAN yang diselenggarakan pada September 2023 dan Oktober 2024, masing-masing, menunjukkan kemajuan berarti melalui beberapa perkembangan penting. Ini termasuk peresmian Pusat Koordinasi ASEAN untuk Pengendalian Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas (ACC THPC), penandatanganan Perjanjian Pembentukan ACC THPC oleh tujuh negara anggota ASEAN, dan adopsi serta implementasi Peta Jalan Bebas Kabut Asap Kedua dan Strategi Pengelolaan Lahan Gambut ASEAN Kedua. Saat kita menandai tonggak sejarah ini – dua puluh tahun setelah lahirnya Perjanjian ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas (AATHP) – penting untuk berefleksi dan memikirkan apa saja yang telah dipelajari dan mengidentifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk bergerak maju, karena perubahan iklim dan fluktuasi musiman menimbulkan risiko peristiwa cuaca yang makin parah di masa mendatang.

Mengapa AATHP penting?

Penandatanganan AATHP pada 2002 menandai langkah penting dalam respons kolektif Asia Tenggara terhadap tantangan lingkungan dan kesehatan yang terus-menerus, yang ditimbulkan oleh kabut asap lintas batas. Pelaksanaan perjanjian tersebut diawasi oleh Konferensi Para Pihak (COP), yang didukung oleh Komite (COM), sementara itu berbagai Kelompok Kerja Teknis (TWG) dan Komite Pengarah Menteri Subregional (MSC) menawarkan keahlian yang terarah dan mendorong kolaborasi regional untuk memerangi polusi kabut asap.

Perjanjian AATHP disepakati setelah proses perkembangan penting dalam pengembangan organisasi menuju peningkatan pemantauan dan tanggung jawab kolektif terhadap tantangan lingkungan. Proses yang dilalui ASEAN antara lain Kesepakatan Kuala Lumpur tentang Lingkungan dan Pembangunan tahun 1990, pembentukan Pusat Meteorologi Khusus ASEAN (ASMC) di Singapura pada 1993 untuk menyediakan layanan cuaca dan iklim yang penting, dan Rencana Kerja Sama ASEAN tentang Polusi Lintas Batas tahun 1995, yang meluncurkan Gugus Tugas Teknis Kabut Asap (HTTF). Gugus tugas ini menghasilkan manual tentang penerapan langkah-langkah untuk memitigasi dan mengendalikan kebakaran lahan dan hutan yang menyebabkan kabut asap dan merumuskan Rencana Aksi Kabut Asap Regional (RHAP), yang didukung oleh Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN tentang Kabut Asap (AMMH) pada 1997. Di bawah RHAP, ASMC ditunjuk sebagai pusat regional untuk memantau dan menilai kebakaran hutan dan lahan, serta mengeluarkan peringatan dini tentang kabut asap lintas batas, awalnya di ASEAN selatan dan kemudian diperluas ke seluruh wilayah pada 2002.

AATHP menggarisbawahi pentingnya inisiatif nasional yang terkoordinasi, serta kerja sama regional dan internasional yang diperkuat untuk mengatasi kabut asap lintas batas, kebakaran hutan, dan pemicu utamanya. Pada 2003, enam negara anggota ASEAN meratifikasi AATHP dan pada 2015, semua negara anggota telah mengintegrasikannya ke dalam kerangka hukum nasional mereka.

Kemudian, untuk lebih mengoperasionalkan pelaksanaan AATHP, pada 2016, negara-negara anggota ASEAN menyusun Peta Jalan Kerja Sama ASEAN menuju Pengendalian Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas beserta Sarana Pelaksanaannya (disebut sebagai Peta Jalan Bebas Kabut Asap ASEAN). Dokumen ini menetapkan beberapa komponen strategis untuk menerjemahkan prinsip-prinsip AATHP menjadi aksi konkret dan kolektif, antara lain pengelolaan lanskap pertanian, lahan gambut, dan hutan secara berkelanjutan; peningkatan kerja sama dan kapasitas kelembagaan; membangun kesadaran publik dan partisipasi pemangku kepentingan; dan menyediakan sumber daya yang memadai untuk mencegah kabut asap lintas batas.

Pada Agustus 2023, ASEAN mengadopsi Peta Jalan Bebas Kabut Asap ASEAN Kedua (2023-2030), yang secara resmi diluncurkan pada Februari 2024, yang dibangun berdasarkan Peta Jalan pertama dan tinjauannya. Peta Jalan baru ini bertujuan untuk menghilangkan polusi kabut asap lintas batas regional pada 2030 melalui implementasi aksi kolektif yang efektif untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran lahan dan hutan dengan meningkatkan kapasitas regional, menerapkan strategi subregional yang disesuaikan, mendorong praktik penggunaan lahan berkelanjutan, menerapkan praktik terbaik pengelolaan lahan gambut, menyediakan sumber daya, memperkuat kebijakan nasional, meningkatkan kerja sama, meningkatkan kesadaran publik, dan mengurangi dampak kabut asap pada berbagai sektor. Peta jalan ini juga mencakup aksi, pihak penanggung jawab, area target, sumber daya, dan langkah-langkah kemajuan untuk setiap strategi dan memberikan panduan dalam membangun kerangka kerja pemantauan dan evaluasi dengan indikator/target tingkat regional dan nasional untuk pelaporan dan pembagian data.

AATHP meletakkan dasar bagi pembentukan Gugus Tugas ASEAN untuk Lahan Gambut. Gugus tugas ini membantu negara-negara anggota dalam memantau dan mendukung pelaksanaan Strategi Pengelolaan Lahan Gambut ASEAN (APMS) dari tahun 2016 hingga 2020 dan kini mendukung APMS baru (2023-2030), yang diadopsi bersamaan dengan Peta Jalan Bebas Kabut Asap Kedua. Gugus tugas ini juga mengawasi pelaksanaan inisiatif lahan gambut, seperti Proyek Hutan Gambut ASEAN (APFP), proyek Pengelolaan Hutan Gambut Berkelanjutan di Asia Tenggara (SEApeat), program Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan dan Mitigasi Kabut Asap di ASEAN (SUPA), dan program Aksi Terukur untuk Pengelolaan Lahan Berkelanjutan Bebas Kabut Asap di Asia Tenggara (MAHFSA).

Lebih lanjut, Perjanjian tersebut mengamanatkan pembentukan Pusat Koordinasi ASEAN untuk Pengendalian Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas (ACC THPC) untuk memfasilitasi kerja sama dan koordinasi dalam mengelola dampak kebakaran lahan atau hutan dan pencemaran kabut asap lintas batas yang terkait dengannya. Pusat Koordinasi tersebut secara resmi diperkenalkan pada pembukaan KTT ASEAN ke-43 di Jakarta.

Melengkapi upaya-upaya di atas, ASEAN juga telah menyusun dan mengesahkan Kerangka Kerja Investasi untuk Pengelolaan Lahan Berkelanjutan Bebas Kabut Asap (AIF-HFSLM) untuk 2023-2020, yang bertujuan membantu membangun kemitraan multipemangku kepentingan dan menyediakan sumber daya untuk menghentikan pembakaran hutan, lahan gambut, dan sisa pertanian dalam skala besar dengan membangun alternatif yang layak secara sosial dan ekonomi.

Progress, challenges, and prospects

Dalam sebuah dialog kebijakan bertajuk ‘Bergerak menuju implementasi Peta Jalan Bebas Kabut Asap ASEAN’ yang diadakan pada Juli 2023 di Putra Jaya, Malaysia, para peserta meninjau kemajuan Perjanjian tersebut dan kebutuhan implementasinya di masa mendatang.

Para pembicara memuji kemajuan dalam penyusunan kerangka kerja investasi sebagai sarana pelaksanaan Peta Jalan Bebas Kabut Asap Kedua dan APMS serta pengembangan visi luas yang menekankan pada pencegahan, target berbasis sains, instrumen ekonomi dan sosial yang cerdas, pembangunan terpadu yang menggabungkan perubahan iklim dan tujuan pembangunan, melibatkan dan memberdayakan masyarakat lokal, alternatif terhadap kebijakan tanpa pembakaran, dan pengakuan terhadap konteks subregional yang unik sekaligus meningkatkan konektivitas di seluruh dan di luar kawasan.

Mereka mencatat tantangan seperti pelembagaan sistem pertolongan cepat terhadap kabut asap dan pembentukan serta pengoperasian penuh sistem pemantauan dan peringatan nasional yang memantau indikator seperti kualitas udara, titik panas, dan area yang terbakar – dan menuntut negara-negara anggota untuk memenuhi standar tinggi dalam hal ini. Tantangan-tantangan ini dan komitmen untuk terus maju tertuang dalam kata-kata Sekretaris Jenderal ASEAN, Kao Kim Hourn:

“Saat kita memulai perjalanan seperti yang diuraikan dalam Peta Jalan Kedua ini, marilah kita tetap teguh dalam komitmen kita untuk memobilisasi sumber daya, memperkuat kerangka hukum dan kebijakan di semua level, meningkatkan kerja sama dan koordinasi lintas sektoral, serta meningkatkan kesadaran dan keterlibatan publik. Bersama-sama, kita akan mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh kabut asap lintas batas dan membangun masa depan dengan kondisi udara bersih dan pembangunan berkelanjutan hadir untuk kesejahteraan masyarakat ASEAN. Kita harus bekerja sama untuk memulihkan dan menyembuhkan alam agar bisa menyembuhkan diri kita sendiri.”

Mengingat perubahan iklim terus memperburuk kondisi cuaca ekstrem dan kekhawatiran global tentang emisi karbon terus meningkat, pelajaran yang dipetik dari ATTHP selama dua puluh tahun perjalanannya menjadi lebih penting dari sebelumnya. Perjanjian tersebut telah mendorong lahirnya perubahan-perubahan signifikan dan dokumen manual baru seperti Peta Jalan Kedua, APMS, dan Kerangka Investasi ASEAN sekaligus mendorong kerja sama regional untuk mengatasi masalah polusi kabut asap yang terus berlanjut. Namun, komitmen dan aksi yang diambil untuk melangkah maju akan sangat penting dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, khususnya dalam mencegah memburuknya polusi kabut asap dan dampaknya di seluruh Asia Tenggara

 


Acknowledgements

Artikel ini merupakan bagian dari program Aksi Terukur untuk Asia Tenggara Bebas Kabut Asap (MAHFSA), sebuah inisiatif bersama antara ASEAN dan Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD) yang mendukung upaya untuk mengurangi polusi kabut asap lintas batas dan dampaknya di Asia Tenggara. Artikel ini disusun dengan bantuan anggota Sekretariat ASEAN Mardiah Hayati, Wiraditma Prananta, Etwin Kuslati Sabarini, dan Dyah Ayu Ritma Ratri

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org