Berita

Solusi Terintegrasi Sri Lanka Hadapi Tantangan Sumber Daya Lahan dan Air

Inisiatif holistik melindungi daerah aliran sungai sekaligus memperluas agroekologi
Bagikan
0
Air terjun Sera Ella di Pegunungan Knuckles, Sri Lanka. Foto oleh: Dananjaya Chathuranga/Flickr

Bacaan terkait

Dinamai karena rupa geografinya mirip kepal tinju, Pegunungan Knuckles Sri Lanka selalu berselimut salju dan pepohonan. Lembah dan puncaknya melukiskan ragam bentang alam dan ekosistem. Terdapat lima tipe besar hutan, yang menjadi rumah bagi sejumlah besar spesies terancam dan/atau endemik – antara lain monyet daun muka ungu [Semnopithecus vetulus], tupai uban raksasa [Ratufa macroura], dan  Loris ramping merah [Loris tardigradus].

Sebagaimana beragam makhluk unik ini, masyarakat Sri Lanka juga bergantung pada bentang alamnya —  meskipun secara agak tidak langsung. Pegunungan Knuckles menjadi daerah aliran sungai (DAS) penting dalam mengaliri pesawahan, dan menyokong keamanan pangan. Selain juga menjadi sumber listrik yang murah dan berkelanjutan dari sejumlah pembangkit listrik tenaga air.

Sayangnya, sumber air penting ini tidak mengalir secara tetap sebagaimana biasanya. Lebih tingginya curah hujan akibat perubahan iklim, diiringi praktik pertanian tak berkelanjutan menggerus kesuburan tanah dan mendegradasi strukturnya. Erosi yang ditimbulkan mengarah pada pendangkalan reservoar di hulu sehingga mengurangi kapasitas penyimpanan. Sementara, naiknya suhu dan kekeringan yang makin sering terjadi di lahan rata mempertinggi kebutuhan irigasi.

Sebuah inisiatif adaptasi berbasis ekosistem (EbA) dari Kementerian Irigasi Srilangka dan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional  dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), didukung oleh Green Climate Fund (GCF), berupaya mengatasi dampak ini dengan melakukan pendekatan holistik atas manajemen lahan dan air, melindungi DAS hilir sekaligus mendorong praktik resilien iklim. Inisiatif ini dibahas dalam satu sesi pada konferensi tahunan perubahan iklim PBB (COP28).

Salah satu fitur kunci proyek ini adalah pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan (PES) dalam menyediakan pendanaan berkelanjutan bagi intensifikasi agroekologis – misalnya dengan mendorong dewan kelistrikan mendanai praktik konservasi tanah dan air oleh petani di hulu yang bertujuan menjaga aliran sungai lebih reliabel.

“Dengan lebih banyak melakukan konservasi tanah dan air di DAS hulu berarti bahwa sedimentasi akan berkurang. Hal ini berarti kita tidak perlu terlalu sering mengeruk reservoar, dan dengan menghindari pengerukan berarti kita lebih memiliki ketersediaan listrik untuk digunakan,” papar Prasanthi Gunawardene, Guru Besar Ekonomi Lingkungan Departemen Ilmu Kehutanan dan Lingkungan Hidup di Universitas Sri Jayewardenepura.

“Oleh karena itu, kita memiliki kaitan ekonomi kuat antara petani dan dewan kelistrikan, karena dewan dapat memberi pembayaran pada pemilik lahan dalam menerapkan konservasi tanah dan air, hingga mempertinggi produksi air,” kata Gunawardene.

Beria Leimona, Pakar Senior Tata Kelola Bentang Alam dan Investasi CIFOR-ICRAF menambahkan, proyek ini juga dapat diterapkan pada biodiversitas dan pendanaan karbon lebih luas. Ia mencatat urgensi pendekatan riset-aksi partisipatoris dan “menjamin keadilan akses dalam mencegah eksklusi pihak termarjinalkan – termasuk petani kecil, yang dimaksudkan menjadi penerima manfaat utama inisiatif ini.”

Leel Randeni, Direktur Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Sri Lanka, menyampaikan pandangannya mengenai prioritas negara pada adaptasi perubahan iklim, dan berbagi cara bagaimana proyek ini bisa sejalan dengan hal tersebut. Fergus Sinclair, Pimpinan Ilmuwan di CIFOR-ICRAF dan Ko-Penyelenggara Platform Kemitraan Transformatif Agroecology(Agroecology TPP), kemudian memberikan presentasi detail mengenai proyek ini. Ia juga mengeksplorasi bagaimana praktik agroekologi secara positif berkontribusi dan mempengaruhi keamanan pangan dan nutrisi.

Upaya ini menegaskan relevansi inisiatif terkini yang dipimpin International Water Management Institute (IWMI)-led, dan didukung oleh Agroecology TPP. Inisiatif ini mencoba membenahi kelangkaan riset agroekologis yang terfokus pada manajemen air dan pangan akuatik, dengan mengintegrasikan kedua hal tersebut secara lebih prominen dalam 13 Prinsip Agroekologi, yang telah disusun oleh konsorsium pimpinan FAO pada 2019.

“Kami mendapati bahwa mengabaikan air dan pangan akuatik dalam riset agroekologi berhubungan dengan kealpaan dalam penyusunan strategi, perencanaan, dan pengambilan keputusan – dan karenanya kita kehilangan aspek kunci sistem agripangan yang sangat penting,” kata Matthew McCartney, Ketua Kelompok Riset Insfrastruktur Air dan Ekosistem Berkelanjutan di IWMI, saat sesi berlangsung.

Pendekatan lebih holistik dan terintegrasi yang disarankan dalam kajian tersebut perlu memikirkan faktor-faktor di luar pertanian – memandang bentang alam dan menimbang dampak sistem pertanian kita pada lingkungan akuatik hilir dan perairan.

(Visited 1 times, 1 visits today)
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org