Berita

Memicu Ombak: Memusatkan Air dalam Riset dan Praktik Agroekologi

Fokus pada manajemen air dan pangan akuatik inklusif pada Pekan Air Dunia
Bagikan
0
Potret masyarakat tengah mengangkut kayu di Sungai Kongo, Republik Demokratik Kongo. Foto oleh: Ollivier Girard/CIFOR-ICRAF

Bacaan terkait

“Air merupakan fondasi ketersediaan pangan,” kata Sarah Freed, Ilmuwan WorldFish, pada sesi daring Pekan Air Dunia‘Menggabungkan manajemen air dan pangan akuatik dalam transisi agroekologi’, 23 Agustus 2023. Secara global, lanjutnya, diperkirakan 70 persen dari total air bersih digunakan untuk pertanian, dan kelangkaan air menjadi tekanan bagi produksi pangan global, sementara kekeringan dan banjir juga berkontribusi pada meningkatnya frekuensi ketidakamanan pangan. Terlebih, pangan akuatik merupakan sumber pangan penting dan padat nutrisi. Sebanyak 3,3 juta orang bergantung padanya sebagai sumber protein hewani primer, dan disertai akan meningkatnya permintaan global.

Transformasi sistem pangan melalui agroekologi makin ditandai sebagai langkah wajib dalam mengatasi penyebab – dan dampak – krisis iklim, pangan, dan keanekaragaman hayati. Namun hingga saat ini, air dan pangan akuatik jarang dipertimbangkan dalam ruang transisi agroekologi – agroekologis: “literatur berbasis agroekologi meningkat secara eksponensial, namun representasi air dan pangan akuatik dalam literatur itu masih sangat kecil,” kata Freed, “dan bahwa hal ini berkaitan dengan kesenjangan serupa pada penyusunan strategi, perencanaan, dan pengambilan keputusan agroekologi.”

Acara ini dimaksudkan untuk mulai mengisi kesenjangan itu dengan sejumlah cara. Freed, sesuai perannya, berbagi proposisi untuk memasukkan air dan pangan akuatik agar lebih eksplisit masuk dalam 13 Prinsip Agroekologi HLPE. Matthew McCartney, Pimpinan Kelompok Penelitian Infrastruktur Air dan Ekosistem Berkelanjutan Insitut Manajemen Air (IWMI) kemudian berbicara mengenai perlunya memasukkan proses hidrologis yang mendorong dan mendasari banyak jasa ekosistem di bentang alam. “Penting bagi kita untuk memikirkan seluruh sistem dalam sebuah bentang alam dan bagaimana semuanya bertaut menjadi ladang agroekologi dan sistem pertanian,” katanya, “dan kita tidak hanya memikirkan air bersih, tetapi juga laut, air payau dan lainnya dalam area tangkapan dan cekungan. Dengan kerangka lebih holistik, menurut kami agroekologi hibrida akan lebih berdampak.”

Gemma Tesdall, yang memimpin Youth Network for Agricultural Development (YPARD), berbagi pembelajaran dari sebuah proyek di Republik Demokratik Kongo (RDK) terkait pangan akuatik dan agroekologi. Mereka berkolaborasi dengan mitra lokal untuk membangun kolam ikan di lahan basah wilayah timur RDK. Inisiatif ini kini menghasilkan 10.000 ikan tilapia tiap enam bulan, untuk konsumsi lokal dan dijual. “Ini peluang sempurna untuk bekerja bersama dengan bentang alam alami dalam memproduksi pangan bagi penghidupan,” katanya.

Rada Kong, Peneliti Pusat Penelitian Pertanian untuk Pembangunan Internasional Prancis (CIRAD), kemudian memberi contoh dari Kamboja. Daerah yang sangat rawan banjir akibat dampak perubahan iklim, konstruksi bendungan, perubahan penggunaan lahan, dan deforestasi. Di sana, agroekologi diangkat sebagai satu solusi untuk menangani kelebihan air, melalui pendekatan seperti diversifikasi bentang alam, budi daya tanaman tahuan di sepanjang badan air, integrasi tanaman dan peternakan, serta menggunakan varietas tanaman ramah-air untuk mengurangi erosi tanah, menjaga air, dan meningkatkan kualitas air. “Asesmen kami menunjukkan bahwa manajemen agroekologis dapat meningkatkan laju infiltrasi air ke dalam tanah,” katanya.

Di Mauritania, kebalikannya, tantangan ‘terlalu sedikit air’ lah yang menonjol. Di sana, Mohamed Yahya Ould Lafdal, Penasihat Menteri Lingkungan Hidup Mauritani, menjelaskan bagaimana perubahan iklim mempengaruhi wilayah itu dalam bentuk cuaca ekstrem (kekeringan) dan kelangkaan air, hingga sektor pertanian menjadi rentan. Ia memaparkan keberhasilan agroforestri lokal teredukasi, terutama perkebunan kurma. “Pengetahuan lokal ini harus dijaga sebagai inti praktik agroekologi – kita berbicara mengenai bergenerasi petani dan masyarakat, dan apa yang telah mereka pelajari menjadi kunci nyata keberlangsungan dan adaptasi,” katanya.

Serupa pula, di Andhra Pradesh India, Ilmuwan Mitra CIFOR-ICRAF, Swati Renduchintala juga memaparkan keberhasilan menerapkan pendekatan agroekologi pada pertanian dalam kondisi kering, melalui penerapan mulsa yang ternyata sangat efektif dalam meningkatkan kadar kelembaban tanah dan menurunkan suhu tanah. “Kami juga melangkah lebih dari komponen fisik-kimiawi dan mengitegrasikannya dengan elemen sosial dan manusia,” kata Renduchintala. “Petani yang bermitra merupakan bagian dari kelompok perempuan mandiri, dan mereka berperan penting dalam mengusung perubahan ini dan transfer pengetahuan: ini sangat penting bagi transformasi agroekologis.”

Di Sri Lanka, Prasanthi Gunawardene, Dosen Senior di Universitas Sri Jayewardenapura, memaparkan studi kasus penerapan pembayaran jasa lingkungan (PJL) atas sumber daya air, sebagai cara untuk menekankan manfaat ekonomi menerapkan tindakan konservasi tanah dan air, terutama melalui penerapan praktik agroekologis. Ia menunjukkan bahwa konservasi daerah aliran sungai negeri itu membuka peluang pembangkit listrik tenaga air secara lokal, yang lebih murah dan lebih hijau dibanding impor minyak atau batu bara; selain juga memberi manfaat ekonomi yang jelas bagi petani lokal dan industri. “Ini jadi pembenaran bahwa di area hilir, kita perlu melakukan restorasi dan konservasi air – dan mengapa bisa terjadi pembayaran jasa lingkungan,” katanya.

Secara umum, kata Fergus Sinclair – Ketua Ilmuwan CIFOR-ICRAF dan Ko-penyelenggara TPP Agroekologi – saat menutup acara, “menggabungkan lahan dan air menjadi dasar bagai transformasi sistem pangan dan penguatan prinsip agroekologis. Saat ini, berbagai contoh yang kita lihat bagaimana penerapannya praktisnya di seluruh dunia menjadi bukti pentingnya air dan pangan akuatik dalam transformasi agroekologis.”

Bentuk kesinambungan acara ini, para ilmuwan yang terlibat dalam sesi ini meluncurkan konsultasi elektronik terbuka untuk melihat komentar dan umpan balik dari usulan perubahan pada prinsip-prinsip agroekologis yang ada untuk penyelarasan pada air dan pangan akuatik yang lebih inklusif, seraya mendorong aktor-aktor kunci yang memanfatkan dan mengelola sumber daya akuatik. Bergabunglah dalam eConsultation agar kita tahu apakah Anda setuju atau tidak terhadap usulan-usulan ini, atau ada saran lebih lanjut.


Penelitian ini merupakan bagian dari Program Kemitraan Transformatif (TPP) pendekatan agroekologis untuk membangun ketahanan penghidupan dan bentang alam. TPP Agroekologi mewadahi sejumlah besar ilmuwan, praktisi dan pengambil keputusan yang bekerja bersama mengakselerasi transisi agroekologis. Sejak 2019, TPP telah bekerja untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan di delapan domain yang mendukung sejumlah lembagai dan kelompok advokasi dalam pengambilan keputusan penting. “Komunitas Praktis” versi daring pada GLFx terbuka bagi semua pihak, memberi ruang bagi anggota untuk berbagi wawasan, pengetahuan dan pengalaman.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org