Hutan Indonesia merupakan rumah bagi 10-15 persen dari tumbuhan, mamalia, dan burung yang diketahui dunia, selain stok karbon yang sangat besar. Oleh karena itu, setiap degradasi atau deforestasi ekosistem ini akan berimplikasi penting secara lokal, nasional, dan internasional.
Atas kesadaran itu, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah penting untuk melindungi sebanyak mungkin kawasan hutannya yang berharga, termasuk meningkatkan target Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) terkait Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim dan menyusun strategi baru untuk mencapai target Penyerapan Bersih dari Hutan dan Penggunaan Lahan Lain (FOLU) 2030 untuk sekuestrasi karbon.
Meskipun begitu, terdapat tekanan besar atas lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan material. Dalam konteks ini, pemerintah “telah mengambil inisiatif untuk bergeser dari praktik kehutanan konvensional serta memperkenalkan pendekatan inovatif untuk menghasilkan barang dan jasa,” kata Hunggul YSH Nugroho, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Penulis Utama makalah baru di Sustainibilty, yang memaparkan praktik ‘pengarusutamaan jasa ekosistem (ES)’ dalam pengelolaan hutan sebagai perwujudan pergeseran ini. Makalah ini juga menyoroti kesenjangan kunci dalam implementasi pendekatan ini, serta menawarkan wawasan penting untuk bagaimana lebih dekat pada realitas.
Apakah bisa mendorong perubahan ini? Intinya, bagaimana menemukan cara untuk menilai – dan menambah nilai – pada beragam rangkaian jasa yang diberikan oleh sebuah ekosistem utuh, meliputi pangan, air, kayu, pemurnian udara, formasi tanah, dan polinasi. Di Indonesia, kata Nugroho, sebuah konfigurasi bisnis baru pengelolaan sumber daya hutan produksi telah muncul, mencakup serangkaian bisnis berbasis hutan yang lebih beragam – termasuk pangan, energi terbarukan, ekowisata, wanatani, hasil hutan bukan kayu (HHBK), dan jasa lingkungan seperti penyerapan karbon, penyimpanan air, dan filtrasi.
“Tujuan dari pengarusutamaan adalah untuk menginternalisasi tujuan dari konservasi sumber daya alam dalam kebijakan, program, dan model pembangunan sektor ekonomi untuk kemaslahatan manusia,” kata rekan penulis di makalah. “Pengarusutamaan bertujuan untuk memastikan bahwa konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan dari ekosistem tidak hanya tanggung jawab pelaku konservasi, tetapi seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pembuat kebijakan sampai pelaku bisnis dan masyarakat lokal.”
Makalah ini mengeksplorasi strategi negara dalam menjalankan proses pengarusutamaan, yaitu menekankan pada empat elemen kunci: mengembangkan skema pembayaran jasa ekosistem (PES); menjamin pendanaan berkelanjutan untuk insentif pergeseran; memanfaatkan sistem pendukung keputusan (DSS); dan mengartikulasikan nilai ES untuk mengelola jasa-jasa ini dengan tepat dan memproduksi hasil yang terukur.
Penulis studi memandang PES merupakan hal yang “wajib” untuk menjaga perubahan. Meskipun, saat ini “implementasinya masih jarang di Indonesia,” kata Yudono. Dalam rangka mendorong implementasi, kapasitas komunitas perlu dibangun, agen perantara diturunkan, dan insentif ditingkatkan untuk mendorong partisipasi.
Pendanaan swasta dan publik menjadi penting untuk memperkuat kepastian pendanaan. Ada beberapa opsi untuk skema pembiayaan berkelanjutan yang dapat dioptimalkan, kata penulis, meliputi dana publik dari anggaran pemerintah, hibah, dan pinjaman luar negeri; serta dana nonpublik dalam bentuk dana swasta, keuangan campuran, dana Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan dana dari lembaga filantropi dan LSM.
Tantangan kunci lain dari implementasi PES pada tingkat bentang alam adalah memikirkan bagaimana cara mengalokasi dan mengelola opsi penggunaan lahan yang berbeda, beberapa diantaranya mungkin bertentangan. “Dalam kasus ini,” kata penulis, “penggunaan DSS dikombinasikan dengan analisis spasial dan penginderaan jauh menjadi penting dan strategis. DSS dapat digunakan untuk mendukung pemahaman lebih komprehensif dari permasalahan dan pengembangan opsi pengelolaan alternatif, serta memproyeksikan konsekuensi dari tindakan yang berbeda.”
Mengartikulasikan nilai dari jasa ekosistem secara partisipatif dapat membantu mendorong integrasi lebih komprehensif persepsi dan nilai dari pemangku kepentingan, kata Yudono – “dimulai dengan memunculkan nilai ekonomi dan sosial jasa ekosistem, dari bawah ke atas.”
Secara umum, para kontributor makalah berharap dapat membangun kesadaran akan perlunya untuk mengenali kontribusi ES terhadap kesejahteraan finansial, sosial, dan lingkungan negara. “Pertumbuhan ekonomi seringkali bergantung pada ekosistem alami serta arus barang dan jasa yang dihasilkan oleh alam,” kata Himlal Baral, Ilmuwan Senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) dan salah satu penulis makalah. “Menggabungkan pendekatan jasa ekosistem ke dalam perencanaan yang ada dan proses pengambilan keputusan memberikan solusi yang saling menguntungkan baik dari segi pembangunan ekonomi maupun konservasi lingkungan.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org