BOGOR, Indonesia — Mendorong petani kecil melihat perkebunan kayu sebagai peluang bisnis yang menarik sekaligus berkontribusi bagi perekonomian dan lingkungan, demikian hasil penelitian terbaru.
Selama ini Pemerintah Indonesia berinisiatif mencari upaya untuk meningkatkan pembangunan perkebunan sebagai upaya pengentasan kemiskinan, meningkatkan tutupan hutan, dan mendorong suplai kayu ke industri.
Riset dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) – menemukan bahwa banyak petani kecil tidak memahami bagaimana membudidayakan dan memasarkan kayu secara efektif, sehingga perlu diambil langkah untuk menjadikan pembangunan perkebunan suatu peluang bisnis yang menarik.
“Intinya adalah memberdayakan petani yang tidak menghasilkan banyak uang,” kata Ilmuwan CIFOR, Dede Rohadi, salah seorang pemimpin penelitian.
Saya menghitung bahwa menanam pohon kayu sebenarnya lebih menguntungkan daripada tanaman pangan, tetapi masalahnya dengan menanam pohon Anda harus menunggu terlalu lama untuk panen, sementara tanaman pangan bisa dipanen tiap tahun
“Saya menghitung bahwa menanam pohon kayu sebenarnya lebih menguntungkan daripada tanaman pangan, tetapi masalahnya dengan menanam pohon adalah Anda harus menunggu terlalu lama untuk panen, sementara tanaman pangan bisa dipanen tiap tahun,” katanya.
“Sebagian besar penduduk desa miskin; mereka harus berjuang hidup sehari-hari. Jadi biasanya lahan dialokasikan untuk pangan, agar mereka bisa dibayar secara teratur.”
Akibat lamanya siklus tanam, petani dengan penghasilan menengah dan tinggi biasanya membudidayakan perkebunan kayu. Tetapi bagi mereka yang tidak bisa berinvestasi jangka panjang ada tantangan tambahan memaksimalkan manfaat budidaya kayu.
MENAMAN UNTUK MASA DEPAN
Pertama, banyak petani belum memiliki pengetahuan standar praktik silvikultur yang berakibatnya pada kualitas kayu lebih tipis dan murah harganya.
“Hal ini masalah besar karena terdapat perbedaan harga jual menurut kualitas kayu,” kata Royadi. “Contohnya, kayu jati bisa dijual minimal Rp 500 ribu (38 dolar AS) atau hingga Rp 5 juta (380 dolar AS) per meter kubik, bergantung diameter dan kualitas batang.”
Kedua, petani cenderung menjadi “penanggung biaya” dan lemah posisi tawarnya ketika masuk pasar. Biasanya mereka didikte tengkulak (atau calo), karena kurang pengetahuan pasar dan pengalaman bisnis.
BACA PENELITIANNYA:
Dalam penelitian sebelumnya, Dede Rohadi mengungkapkan bagaimana perkebunan kayu sering dipandang “tabungan keluarga” yang digunakan untuk tujuan tertentu.
“Kayu sering dipandang sebagai tabungan yang diambil untuk kebutuhan mendadak. Mungkin mereka perlu membeli motor atau sekolah anak dan itu yang ada di pikiran mereka, daripada kayu sebagai nilai pasar aktual.
Menjual kayu juga sering menjadi “pelabuhan terakhir” katanya – ketika darurat atau masa sulit – dan petani tidak dalam posisi terbaik menawarkan harga terbaik.
Kayu sering dipandang sebagai tabungan yang diambil untuk kebutuhan mendadak. Mungkin mereka perlu membeli motor atau sekolah anak dan itu yang ada di pikiran mereka.
“Petani sering tidak sadar aset yang mereka miliki, atau peluang pasar,” katanya.
Untuk meningkatkan pembangunan perkebunan petani kecil, riset ini memberi rekomendasi pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan layanan peningkatan kemampuan dan pengetahuan pasar, dan mendorong pemasaran bersama kelompok tani.
Pekerjaan Dede Rohadi di lapangan membawanya bertatap muka dengan para petani. Pada perjalanan terakhir ke pinggiran Jawa, tempat 70 persen perkebunan petani kecil berlokasi di Indonesia, ia mewawancarai petani yang telah diajarkan teknik silvikultur.
“Sekitar dua pertiga petani tersebut menyatakan pengetahuan meningkatkan kemampuan dan mereka menerapkan teknik baru – jadi cukup efektif dalam melakukan adopsi,” kata Rohadi.
“Dalam program seperti itu, selalu ada yang benar-benar memperhatikan dan ada yang berfungsi sebagai ‘agen perubahan’ masyarakat. Orang-orang ini harapan kita di masa depan.”
SISTEM RUMIT
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus menyederhanakan regulasi perdagangan kayu bagi petani kecil untuk mengurangi tingginya biaya transaksi yang sering menjadi beban petani, kata Rohadi.
Saat ini petani kecil diwajibkan menyiapkan dua sertifikat: Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) – dikeluarkan oleh Kepala Desa untuk menunjukkan validitas sumber, dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang menjamin legalitas produk kayu.
SVLK diterapkan sejak 2013 dan harus ada untuk semua produk kayu dari Indonesia sebagai awal bagian inisiatif pemerintah “meningkatkan citra produk kayu dari Indonesia dan (oleh karena itu) memberi akses pasar lebih baik di perdagangan internasional.”
Pada 2012, sebuah penelitian CIFOR menunjukkan bahwa petani dapat mengambil manfaat sertifikasi kayu, baik itu dalam sistem sukarela seperti Forest Stewardship Council (FSC) atau sistem mandatori seperti SVLK.
Petani mendapat harga lebih tinggi melalui sertifikasi, dan terlibat dalam proses, yang berarti mereka merasa pengetahuan perkayuan dan proses kehutanan mereka meningkat.
Tetapi biaya sertifikasi sering dipandang mahal bagi petani kecil, kata Rohadi.
Sementara biaya sertifikasi SVLK berbeda tergantung lokasi, jenis kayu, ukuran perkebunan, bagian termahal proses adalah biaya menyiapkan petani memenuhi seluruh persyaratan sertifikasi.
Penelitian CIFOR menunjukkan bahwa manfaat sosial memotong birokrasi dan meningkatkan pemasukan petani kecil jelas terlihat.
Penelitian merekomendasikan SVLK seharusnya mengganti SKAU dalam mengurangi biaya transaksi dan membuat proses sertifikasi lebih menarik.
Dan dengan mendorong lebih banyak perkebunan, menurut Rohadi memberi manfaat lingkungan besar.
Budidaya kayu di lahan pribadi berpotensi meningkatkan tutupan hutan dan lingkungan lokal.
“Budidaya kayu di lahan pribadi berpotensi meningkatkan tutupan hutan dan lingkungan lokal,” katanya.
“Keteduhan yang diberikan tutupan hutan juga menurunkan suhu dan menciptakan lebih banyak lingkungan lokal yang ramah, dan banyak petani menyadari ini.”
Rohadi mencontohkan Kabupaten Gunungkidul, di Jawa Tengah. Di awal 1960 tutupan hutan hanya 3 persen di wilayah itu, tetapi kini tutupan hutan mencapai 30 persen.
“Dan sebagian besar perkebunan petani kecil,” katanya. “Jadi petani kecil bisa dan mampu mengubah lingkungan lokal secara dramatis.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org