Pidato

Pidato Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono di CIFOR tentang “Kesetaraan Pertumbuhan Pembangunan Berkelanjutan”

Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan saat ini waktunya untuk memilih dan berbuat untuk hutan. Apa pilihan yang ditawarkan?
Bagikan
0
Presiden Yudhoyono menyampaikan kebijakan global di Center for International Forestry Research (CIFOR) di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. (Photo: Dita Alangkara)

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia (6 Juli 2012)_Oleh Presiden Republik Indonesia, Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, di Center for International Forestry Research (CIFOR).

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat Ibu Frances Seymour, Direktur Jenderal CIFOR,
Yang terhormat para Menteri dan Duta Besar, Para Pimpinan Organisasi Internasional,

Para Tamu Undangan,

Hadirin yang saya hormati.

Pertama-tama saya sampaikan penghargaan kepada Center for International Forestry Research (CIFOR) yang telah menyelenggarakan acara ini. Perkenankan saya juga mengucapkan selamat kepada CIFOR atas kontribusinya yang besar bagi Indonesia selama dua puluh tahun terakhir dalam bidang penelitian, pendidikan, dan pelatihan pengembangan kehutanan. Tentu saja, CIFOR pantas menjadi organisasi internasional berskala global dalam bidang kehutanan.

PERTEMUAN  DI WAKTU YANG TEPAT

Tidak ada waktu yang lebih tepat dibandingkan hari ini. Minggu depan, saya akan berangkat ke Meksiko untuk menghadiri pertemuan Pemimpin G-20 di Los Cabos. Segera setelah itu, saya akan pergi ke Brasil untuk menghadiri Pertemuan Puncak Rio+20 di Rio. Pada bulan September, atas undangan dari Sekretaris Jenderal PBB, saya akan pergi ke New York untuk menghadiri Panel Tingkat Tinggi dengan Agenda Pembangunan Pasca 2015. Di semua tempat ini, kita semua mengharapkan hasil yang konstruktif yang akan membuat kita lebih optimis mengenai arah masa depan dunia.

DUNIA DALAM ANCAMAN

Bumi kita sedang terancam. Umat manusia menghadapi tantangan yang sangat besar. Masa depan kita bersama penuh dengan harapan, namun juga penuh dengan pertanyaan. Pertanyaan besar.

Butuh waktu puluhan ribu tahun bagi umat manusia untuk mencapai 1 miliar jiwa pada tahun sekitar 1800. Butuh waktu hanya 13 tahun bagi umat manusia untuk mencapai angka semiliar sejak 1999. Kabar menggembirakannya adalah bahwa penduduk dunia akan mencapai puncaknya dan stabil sekitar 9 miliar jiwa, mungkin pada tahun 2045. Namun BANYAK yang akan terjadi antara sekarang dan tahun  2050. Akan terjadi perubahan besar dalam bidang ekonomi, lingkungan, sosial –belum lagi perubahan politik dan keamanan.

Secara ekonomi, misalnya, PDB dunia akan meningkat luar biasa. Di Asia saja, dengan perkiraan optimis, gabungan PDB negara-negara dengan ekonomi kuat akan mencapai sekitar US$ 161 triliun pada tahun 2050. Menurut ADB, 90 persen pertumbuhan tersebut berasal dari Asia-7: China, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Seiring dengan penyebaran kemakmuran, sejumlah negara yang meraih  peringkat negara berpendapatan menengah akan tumbuh, dan demikian pula –kita harapkan—sejumlah negara meningkat menjadi berstatus ekonomi maju.

Ini akan diiringi dengan pertumbuhan kelas menengah secara terus-menerus. Economist belum lama ini melaporkan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, separuh penduduk dunia berdasarkan dugaan kasar dapat dianggap sebagai kelas menengah. Dan fenomena ini akan meluas. Di Asia, TAMBAHAN 2 miliar penduduk akan bergabung dalam kelas menengah pada tahun 2050. Memang, fenomena kelas menengah ini –yang selalu diimpikan, namun adakalanya hanya dicapai pada abad sebelumnya– akan menjadi ciri utama abad ke-21 ini.

Gambaran dunia juga akan berubah karena pesatnya urbanisasi, yang akan bertambah seiring dengan berkembangnya kota-kota besar. Di Indonesia, kami mencatat sebanyak 50% penduduk baru di kota 4 tahun yang lalu. Pada tahun 2025, 65 persen penduduk kita tinggal di kota. Singkatnya, kita sedang menuju jumlah penduduk 9 miliar, seiring dengan kebutuhan dan sarananya. Itu berarti banyak mulut perlu diberi makan. Banyak orang perlu dipikirkan dalam produksi. Banyak negara dengan ekonomi kuat perlu menopang.

Persoalannya adalah: ekosistem alam dan kemampuan pertumbuhan kembali hayati kita sedang rusak parah sehingga membahayakan kemampuan bumi untuk mempertahankan kehidupan. Sumberdaya alam kita menipis, dan sebagian terjadi dengan cepat. Ekosistem alam terancam.  Air, tanah, dan udara semakin tercemar. Cadangan air anjlok. Erosi tanah mengarah menjadi padang tandus. Pemanasan global telah terjadi. Dan spesies-spesies lenyap lebih cepat daripada laju kepunahan mereka secara alami.

DUNIA YANG SALING BERTOLAK BELAKANG

Kita hidup di dunia yang benar-benar bertolak belakang.
Ini dunia yang melimpah, namun juga dunia yang semakin tidak merata.
Ini dunia yang ditandai dengan berjuta kesempatan, namun juga dunia yang semakin langka.
Ini dunia yang saling terkait dengan indah, namun juga dunia yang dibebani dengan rasa semakin tidak aman.
Kita telah melihat meningkatnya kekhawatiran dalam persaingan akan sumberdaya, yang sebagian diantaranya telah berubah menjadi sengketa –dan kemungkinan perang tidak dapat sepenuhnya dihilangkan.

Hal-hal yang benar-benar bertolak belakang dan membahayakan ini tidak dapat diatasi dengan berharap berlalu dengan sendirinya.  Ini tidak dapat diatasi dengan kebijakan sementara, tambal-sulamsanasini. Ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan menyediakan lebih banyak sumber daya untuk persoalan tersebut. Yang diperlukan adalah rekacipta ulang dan perombakan tatanan masyarakat di seluruh dunia. Juga diperlukan sistem internasional yang bekerja lebih selaras satu sama lain dan lebih khusus untuk mengatasi apa yang pada hakikatnya merupakan masalah global.

WAKTU UNTUK MEMILIH 

Saya percaya kita DAPAT mengubah kelimpahan menjadi lebih merata. Kita dapat memperbesar kesempatan sembari memperkecil kelangkaan. Dan kita dapat menggunakan keterhubungan ini  untuk meningkatkan keamanan.

Namun untuk mencapai semua ini, SEKARANGLAH waktunya untuk memilih. . Dan SEKARANGLAH waktunya untuk Berbuat.

Apa pilihan kita?

Kita dapat memilih untuk terus menjalani cara sekarang ini, cara yang sama yang telah berlangsung selama sekian dasawarsa dan sekian abad. Dunia tempat kita terobsesi mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa mengindahkan etika ataupun lingkungan. Dunia tempat menguras sumber daya secara berlebihan dan konsumerisme yang tak terpuaskan. Dunia yang didorong oleh “kerakusan” dan bukannya “kebutuhan”.

Jika jalan ini yang kita tempuh, kita hanya akan menemukan lebih banyak kesamaan. Ini akan semakin membawa kita menuju kerusakan lingkungan. Hutan semakin gundul.  Pencemaran bertambah. Bumi semakin panas. Makin banyak spesies yang terancam punah.  Makin banyak benturan kepentingan antara manusia dan alam. Dan pada akhirnya, umat manusia makin berputus asa.

CARA BARU                    

Pilihan lain adalah memilih cara yang berbeda dan melepaskan diri dari praktik masa lalu karena kita perlu begitu.
Kita bisa memilih cara yang berbeda. Cara baru yang menjamin masa depan yang lebih cerah bagi ekonomi dan masyarakat dunia.

Agar ‘cara baru’ ini berhasil, peran serta harus diprakarsai dari atas maupun dari bawah. Kita disemangati oleh kegiatan pembelaan tingkat tinggi terhadap lingkungan dari pemerintah negara-negara lain, organisasi dan LSM internasional dalam beberapa tahun terakhir.

Namun pada akhirnya, kita memerlukan peran serta dari satuan terkecil dalam masyarakat, yaitu perorangan. Maksudnya ialah perorangan yang pada akhirnya harus membuat pilihan atas apa yang akan dia beli, makan, minum, buang ataupun bakar. Dan ini bukan pilihan yang mudah karena semakin banyak orang yang memiliki daya beli lebih besar dan kadar kemewahan atas pilihan dalam hidupnya. Kecuali jika kita mengubah kebiasaan konsumptif masyarakat dunia yang berlebihan, kita semua akan menemui jalan buntu.

Karena kita bergulat untuk mengatasi masalah kelangkaan, kita dianjurkan secara tepat agar kembali pada hal-hal yang sangat penting: untuk memenuhi harapan sederhana dan kebutuhan dasar masyarakat kita. Saya percaya bahwa harapan mereka cukup sederhana: mereka ingin terjamin untuk memperoleh kehidupan yang damai dan sejahtera, dan mereka ingin hidup terbebas dari ketakutan tentang masa depan mereka dan anak-anak mereka. Saya telah mendapati bahwa bagaimana pun, orang makin modern, makin merindukan kebersahajaan dan hidup bahagia. Apabila kita mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat kita, maka kita akan membangun pondasi yang lebih kuat bagi keamanan nasional maupun internasional.

Dewasa ini, kita menyaksikan pergeseran kekuatan dalam sistem internasional. Kekuatan yang baru muncul sedang mengubah neraca dunia, dan menentukan agenda global baru.

Tatanan internasional yang berubah mestinya melakukan lebih banyak daripada sekadar menambahi jumlah yang sudah besar dalam kelompok pemegang kekuasaan.  Mereka juga harus membantu penyelesaian permasalahan global dengan lebih baik. Dengan demikian, kita memerlukan perubahan kerangka pikir, yang lebih daripada sekadar pergeseran kekuasaan.

Kita memerlukan cara pandang baru terhadap dunia dan cara baru untuk mengurus dunia.

Kini tibalah saatnya untuk memajukan “pertumbuhan berkelanjutan yang merata”. Banyak orang mengenal pembangunan berkelanjutan yang merata sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang, tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.”

Pemerataan itu menentukan karena berkenaan dengan kewajaran. Ini berkenaan dengan keadilan. Tanpa keadilan, kita berakhir dengan keresahan dan kecemasan. Tanpa pemerataan, kita pada akhirnya terpinggirkan. Tanpa pemerataan, kita berakhir dengan keputusasaan dan tanpa memiliki rasa senasib sepenanggungan.

Pertumbuhan dan keadilan ekonomi itu saling memperkuat. Dan peran serta pelaku ekonomi dengan cara yang menyeluruh dan lengkap tidak hanya akan meningkatkan keadilan, tetapi juga memperkuat kesinambungan pertumbuhan. Hal ini juga mengurangi ketidakmerataan dan kesenjangan pembangunan maupun menyeimbangkan sasaran ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi generasi sekarang dan mendatang.

Inilah mengapa dalam pembahasan para Pemimpin G-20 tentang perbaikan ekonomi dunia, saya selalu menekankan pentingnya pertumbuhan yang “menyeluruh” karena tanpa unsur ini, pertumbuhan akan tersandung. Saya gembira karena G-20 tetap gigih menyerukan “pertumbuhan yang mantap, seimbang, menyeluruh, dan berkelanjutan” dalam ekonomi dunia.

Bagian utama dari pertumbuhan berkelanjutan yang merata adalah mengakui bahwa permasalahan iklim dan lingkungan yang sungguh-sungguh dihadapi planet bumi ini tidak terbayangkan — ini NYATA. Perubahan iklim itu akibat ulah manusia dan penyelesaiannya juga ulah manusia. Kita harus menghambat meningkatnya laju kekurangan “jejak ekologi” di seluruh dunia. Menurut sebuah perkiraan, dari 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia, 15 di antaranya dalam keadaan kekurangan “jejak ekologi”. Di antaranya Brasil, Argentina, Kanada, Rusia, dan Indonesia merupakan negara dengan “jejak ekologi” berlebih. Hanya dengan mengubah kekurangan “jejak ekologi” menjadi berlebihlah kita dapat mencapai “kehidupan yang berkelanjutan”.

Untuk memastikan, kita tidak dapat mencapai “pertumbuhan berkelanjutan yang merata” tanpa mengatasi perubahan iklim.  Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang sama. Di Indonesia, banyak pulau kita dan penghuninya telah terancam oleh naiknya permukaan air laut.  Dan kenaikan suhu maupun pola cuaca yang ekstrim telah mempengaruhi hasil tanaman, gejala yang diperkirakan berlanjut pada tahun-tahun mendatang.  Hal ini, tentu saja, sedang terjadi di seluruh Asia Pasifik.

Itulah mengapa hutan yang lestari sangat penting bagi upaya pembangunan berkelanjutan maupun bagi upaya mitigasi iklim kita.

Hutan kita merupakan 69 persen dari luas daratanIndonesiadan 31 persen dari daratan dunia. Hutan tersebut menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat besar yang perlu dipertahankan.  Sebagai negara dengan keanekaragaman yang sangat besar, kita memiliki lebih kurang 12 persen mamalia, 16 persen reptil dan amfibi, 17 persen burung, 25  persen spesies ikan, dan lebih dari 38.000 spesies tumbuhan dunia.  Kita menganggap anugerah Tuhan berupa keanekaragaman hayati yang kaya ini sebagai kekayaan nasional yang sangat besar.

Patut diingatkan bahwa hutan yang lestari tidak selalu menjadi pilihan kebijakan yang jelas. Pada tahun 1970an dan 1980an,Indonesialebih menyukai kebijakan kehutanan yang berbeda. Dengan kata lain, kebijakan kehutanan kita adalah memungkinkan setiap orang menebang hutan kita sepanjang itu memberikan manfaat bagi pembangunan. Ini tampaknya logis dilakukan pada waktu itu. Kita memiliki banyak hutan; kita harus mengurangi kemiskinan; kita perlu menumbuhkembangkan ekonomi kita. Akibatnya, ada saatnya ketika kita mengalami penggundulan hutan yang luar biasa.

Sekarang, kebijakan semacam itu tidak dapat dipertahankan lagi. Hilangnya hutan hujan tropis kita tentu pada akhirnya menyebabkan bencana nasional, global, dan planet ini.  Itulah sebabnyaIndonesiatelah berbalik arah dengan tekad untuk hutan yang lestari. Kita telah membuat undang-undang yang akan melestarikan secara permanen 35 persen hutan hujan tropis kita.

Kita juga telah menangguhkan pemberian izin baru terhadap hutan alam primer dan lahan gambut untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan dan lahan gambut kita. Kebijakan baru ini mendorong upaya pengurangan penggundulan hutan kita sehingga sangat membantu pengurangan emisi gas rumah kaca. Dengan gembira, saya memberitahukan bahwa laju penggundulan hutan kita telah berkurang dari 3,5 juta hektar per tahun menjadi kurang dari setengah juta hektar per tahun dalam kurun waktu satu dasawarsa.

Saya juga bangga dengan kemajuan program Satu Miliar PohonIndonesiauntuk Dunia. Dengan gembira saya memberitahukan bahwa dalam dua tahun terakhir, kita telah menanam sekitar 3,2 miliar pohon – bukan 3,2 juta, tetapi 3,2 MILIAR pohon.

Singkatnya, untuk memajukan hutan yang lestari, kita mempertimbangkan keadaan, menemukan permasalahan berat, melakukan penyesuaian secara cepat, memperkenalkan kebijakan baru, dan memperbarui model pembangunan kita.  Kita tidak menyalahkan masa lalu, namun melakukan tindakan perbaikan demi masa depan.

Memang, ada beragam alat bantu yang tepat yang dapat kita gunakan untuk memajukan pertumbuhan berkelanjutan yang merata.

Kita dapat menggunakan tindakan kebijakan. Pemerintah dapat membuat peraturan perundang-undangan yang menempatkan keberlanjutan di tengah-tengah kegiatan masyarakat; maupun memberi insentif dan menghargai kegiatan yang memperkuat keberlanjutan. Pemerintah dapat memprakasai peningkatan kesadaran masyarakat. Pemerintah juga dapat melakukan tindakan untuk membantu memperluas kesempatan dan memberikan bantuan kepada golongan yang berada di tingkat ekonomi terbawah, misalnya dengan memajukan kredit mikro.

Kita juga dapat berbuat lebih banyak untuk mengubahgayahidup kita agar ramah iklim dan lingkungan, dan selaras dengan agenda pertumbuhan hijau kita.  Pada zaman konsumerisme yang luar biasa, hal ini akan memerlukan banyak pendidikan masyarakat – di rumah, di sekolah, dan di tempat kerja kita.

Dan kita juga dapat menggunakan lebih banyak teknologi. Apakah kita berbicara tentang ketahanan pangan, kekurangan energi atau ketahanan iklim,  banyak masalah kita dapat diselesaikan dengan inovasi teknologi. Saya percaya bahwa, lebih daripada sebelumnya, teknologi akan menjadi penggerak perubahan terbesar pada abad ke-21.  Saya gembira karena kini kita melihat tren baru di mana negara yang mulai maju ekonominya juga menjadi pusat inovasi baru, dan membelanjakan lebih banyak dana untuk Penelitian dan Pengembangan.  Ini pertanda baik. Hal yang penting adalah, apabila memungkinkan, semua inovasi ini tidak hanya ditemukan, tetapi disebarkan demi kemanfaatan bersama.  Pemerintah, sektor swasta, dan LSM dapat melakukan peran masing-masing untuk mewujudkan hal ini.

Hadirin sekalian, memajukan “pertumbuhan berkelanjutan yang merata” akan menjadi pengalaman belajar yang terus-menerus.  Sebagaimana terjadi pada diri saya. Ketika bertugas sebagai Presiden pada tahun 2004, asas pembangunan saya terdiri dari 3 komponen utama: pro-growth, pro-poor, pro-jobs (propertumbuhan, progolongan miskin, propekerjaan). Tiga tahun kemudian, pada tahun 2007, Indonesia berhasil menyelenggarakan Konferensi Iklim PBB di Bali, dan sejak itu, kita sangat aktif dalam diplomasi iklim global. Kita telah memperluas strategi pembangunan kita: tidak hanya pro-growth, pro-poor, dan pro-jobs, tetapi juga pro-environment (prolingkungan). Sekarang, kelestarian lingkungan menjadi inti bagi semua rencana pembangunan jangka panjang, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Dalam semua hal ini, niat politik sangat penting dan tetap sangat penting.  Kebijakan ramah lingkungan tidak selamanya mudah. Namun itu diperlukan, dan merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Karena itu, kita sangat menekankannya sekalipun menghadapi penolakan.

Mengapa niat politik penting?

Karena dalam banyak hal, penyelesaiannya sebenarnya mudah, namun sulit untuk dicapai.  Mengurangi emisi. Mengurangi pemakaian. Berganti ke barang terbarukan. Melestarikan hutan. Menghemat energi. Menyebarkan teknologi. Melakukan tindakan secara global. Resep ini sudah kita kenal semua. Resep ini merupakan bagian dari hati nurani dunia. Resep ini didukung oleh pendapat umum. Namun sangat sering langkah penyelesaian ini terjebak dalam kepentingan pribadi yang sempit, politik yang picik, dan diplomasi yang kaku –atau gabungan dari semuanya.

Ada dua persoalan utama yang mempengaruhi masa depan pertumbuhan berkelanjutan yang merata. MDG dan Protokol Kyoto.

Dalam hal MDG, kita memang telah lama melakukan upaya untuk mencapai sasaran MDG, sebagai contoh: dalam mengurangi kemiskinan, mengurangi kematian balita, meningkatkan pendidikan dasar, dan lainnya. Meskipun terus prihatin dengan stabilitas keuangan global pada tahun ini, kita harus menggunakan beberapa tahun ke depan untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya terhadap sasaran MDG ini hingga 2015.

Kini kita harus mulai berpikir tentang apa yang perlu dilakukan oleh masyarakat internasional setelah 2015, ketika kerangka kerja pembangunan yang melingkupi MDG pada waktu ini berakhir.

Meskipun dapat disanggah, MDG ini proyek pembangunan global paling ambisius yang pernah dilakukan dalam sejarah. Yang pasti adalah kita masih memiliki banyak tugas pembangunan yang perlu dilakukan. Yang pasti adalah pada tahun 2015 kita akan memiliki landasan pembangunan yang lebih kokoh sebagai hasil dari program MDG, dan kita akan memiliki sejumlah besar hasil pembelajaran, baik dari keberhasilan maupun kegagalan. Kita perlu melakukan semua ini pada Pertemuan Puncak Tinjauan Jangka Menengah MDG tahun depan. Mari kita pastikan bahwa kerangka kerja pembangunan global pasca MDG, pasca 2015, bersifat jangka panjang, menyeluruh, kreatif, ambisius, global, dan dapat dibuat berdasarkan pencapaian MDG.

Pakta global lainnya yang menjadi patokan adalah yang akan berakhir pada akhir tahun ini, yaitu Protokol Kyoto. Masyarakat internasional telah membuat kemajuan sejak Protokol Kyoto ditandatangani pertama kali. Kita telah mencapai pemahaman dan kesediaan bersama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Sejumlah negara dengan sukarela telah bertekad mengurangi emisi gas rumah kaca. Sasaran Indonesia pada tahun 2020 adalah mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen –atau 41 persen apabila dengan dukungan internasional.

Pasar karbon sudah terbentuk – meskipun kegiatannya masih jauh dari harapan semula. Walaupun PDB dunia berkurang 0,6 persen pada tahun 2009, volume perdagangan karbon masih menunjukkan ketahanan yang mengagumkan – nilai pasar bertambah sekitar 6 persen. Pada waktu ini, kekuatan penggerak pasar karbon masih dikuasai oleh negara-negara Eropa yang sekarang menghadapi krisis ekonomi dan keuangan.

Dengan semangat tanggung jawab bersama dan berbeda-beda, Indonesia percaya bahwa negara maju semestinya berprakarsa dalam pengurangan emisi walaupun negara berkembang juga semestinya berbuat lebih banyak lagi. Sayangnya, tidak semua negara maju yang merupakan pelepas gas rumah kaca dalam jumlah besar menyetujui Protokol Kyoto.  Dan kenyataannya tetap: banyak negara maju telah gagal memenuhi komitmen yang telah disepakati di Kyoto. Demikian juga, program yang mengaitkan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dengan program alih teknologi dan pengurangan kemiskinan di negara berkembang (di luar lampiran Protokol) belum berjalan sebagaimana diharapkan dan dituju.

Komitmen pertama Protokol Kyoto berakhir pada akhir tahun ini. Kita berharap memiliki rencana sementara untuk komitmen periode kedua yang akan berlangsung selama lima tahun hingga 2017, maupun delapan tahun hingga 2020, yang akan ditetapkan di Doha, Qatar. Namun, komitmen kedua ini masih belum menjadi pengganti bagi pakta iklim global yang masih sulit dipenuhi hingga hari ini.  Ini juga menghadapi tantangan mengenai cara menggalang kepentingan pasar karbon menuju komitmen kedua.

Apa pun hasilnya, kita perlu memastikan bahwa ada sinergi yang baik antara kerangka kerja pembangunan global pasca MDG, pasca tahun 2015, dan rancangan mitigasi iklim global yang berkembang. Tujuannya bagaimana pun adalah saling memperkuat.

Kita harus memastikan bahwa kerja kerangka kerjasama pembangunan global pasca 2015 dibangun berasaskan kesetaraan dan peran serta terbuka semua pemangku kepentingan. Kerjasama ini harus bertujuan untuk memberdayakan rakyat miskin di negara berkembang. Ini harus menegakkan asas kerjasama dan tanggung jawab bersama yang menguntungkan semua negara. Dan ini harus memberi peran dan akses kepada negara dengan ekonomi menengah untuk aktif berperan serta dalam upaya untuk mengurangi kemiskinan dan mengatasi persoalan lingkungan.

Dan apa pun kerangka kerja tersebut, semestinya mendekatkan kita sedikit demi sedikit menjadi pertumbuhan ekonomi yang mantap, seimbang, menyeluruh, dan berkelanjutan.  Apa maksudnya?

Pertumbuhan yang mantap mencakup kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang meningkat. Ini berarti mampu untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih besar daripada pertumbuhan penduduk usia kerja saat ini. Ini berarti mampu untuk menyediakan sumberdaya yang meningkat, sementara juga mampu menaikkan tingkat pendapatan di atas laju inflasi, untuk meningkatkan daya beli rakyat.

Pertumbuhan yang seimbang merupakan pertumbuhan yang tidak semata-mata mengandalkan konsumsi dan anggaran pemerintah, tetapi juga didukung oleh investasi dan ekspor, dan demikian pula sebaliknya. Ini menandakan pertumbuhan dalam arti permintaan maupun penawaran. Ia berarti pertumbuhan yang tidak terpusat di satu atau dua negara, ataupun tidak tergantung hanya pada satu sektor atau bidang ekonomi. Pertumbuhan berkualitas perlu didukung oleh pembangunan sektor sekunder dan tersier, dan semestinya tidak hanya mengandalkan pada penambangan dan pengambilan sumberdaya alam.

Pada tahun 2025, Indonesia berharap memiliki struktur ekonomi di mana 55 persen didukung oleh sektor tersier, 36 persen oleh sektor sekunder, dan sisanya oleh sektor primer. Untuk mewujudkan sasaran ini, Indonesia berencana untuk menghilirkan sektor primer dan memberikan nilai tambah pada produk pertambangan, kehutanan, pertanian, dan perikanan. Meningkatnya tingkat produktivitas diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya lingkungan.

Pertumbuhan menyeluruh menunjukkan peningkatan pada setiap akses negara terhadap teknologi, informasi, dan modal guna memperkuat keterkaitan internasional. Ini memerlukan akses yang adil terhadap produksi, distribusi, dan konsumsi, yang menekankan pada aspek keterjangkauan. Ia juga mengharuskan meningkatnya peran serta usaha mikro-kecil dan menengah dalam proses produksi untuk menciptakan struktur ekonomi yang mantap dan menyeluruh.

Pada akhirnya, pertumbuhan berkelanjutan mengarah pada adanya keseimbangan yang optimal antara aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Dalam hal ini, pertumbuhan ekonomi perlu didukung oleh investasi dalam bidang sumber daya manusia dan teknologi. Indonesia berencana untuk memperluas batas program wajib belajar bagi anak-anak dari usia sembilan hingga dua belas tahun, yang akan dimulai pada tahun 2013. Tidak dibolehkan pemanenan sumber daya yang melebihi kapasitas regenerasi biologisnya.

RIO+20 DAN ARAH KE DEPAN

Minggu depan, saya akan bergabung dengan sejumlah pemimpin dunia dan ribuan peserta dari seluruh dunia dalam Konferensi tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro untuk menandai hari jadi Pertemuan Puncak Bumi ke-20.
Peristiwa ini akan merupakan kesempatan bagi para pemimpin dunia untuk memperbarui janji politik mereka tentang pengembangan ekonomi hijau global melalui pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan.

Saya akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menyampaikan pesan dan menyerukan perlunya tindakan untuk menjalankan agenda pembangunan berkelanjutan pada pasca Rio+20.

Mari kita menggenggam tanggung jawab untuk masa depan umat manusia dan bumi pertiwi. Seluruh masyarakat dunia. Negara maju, negara dengan ekonomi menengah, dan negara sedang berkembang. Organisasi internasional dan regional. Sektor swasta. Pecinta lingkungan. Seluruh pemangku kepentingan.

Kita harus menghindari jebakan berbahaya apabila hanya menanti. Bermusyawarah untuk mencapai mufakat –terutama di tingkat global– akan membutuhkan waktu. Kita memahami permasalahan tersebut. Kita mengetahui penyelesaiannya. Kita harus berbuat sekarang.

Kini kita berada di tengah-tengah gambaran ekonomi global yang tidak menentu, terutama dengan kejadian di zona ekonomi Uni Eropa dan referendum mendatang di Yunani.  Kita semua memiliki saham dalam pemulihan secara cepat zona ekonomi Uni Eropa. Apa yang terjadi di sana mengingatkan kita bahwa tidak ada ekonomi – terlepas dari apa akibat ke atasnya– yang tumbuh dengan menganggap pasti demikian.  Ini juga mengingatkan kita bahwa pengangguran merupakan masalah global yang siap meledak.

Indonesia juga terpukul selama krisis keuangan global pada tahun 2007, namun pada waktu itu, kita melakukan tindakan cepat untuk mencegah terjadinya hal terburuk.  Kita segera menyelenggarakan pertemuan dengan seluruh pemangku kepentingan –termasuk para pemimpin perusahaan dan pekerja– dan memastikan bahwa mereka memahami pentingnya untuk tidak melakukan PHK. Dalam pandangan kita, Pemerintah dapat bubar, tetapi bukan rakyatnya. Hasilnya, kita tetap mempertahankan pertumbuhan sebesar l.k.4,5 persen selama puncak krisis keuangan global dan melambung kembali hingga sebesar 6,5 persen pada tahun lalu.

Pengalaman itu telah mengajarkan kita untuk menghadapi tantangan sambil berusaha melampaui masalah tersebut. Ketika perundingan tentang iklim internasional menghadapi jalan buntu, Indonesia memunculkan hal baru –dan benar-benar menjungkirbalikkan keadaan– dengan mengumumkan kebijakan baru bahwa kita menetapkan sasaran pengurangan emisi sebsar 26 persen pada tahun 2020 dan hingga 41 persen apabila dengan bantuan internasional.

Dan ketika menghadapi tekanan ekonomi dan lingkungan yang meningkat, kita menanggapinya dengan menerapkan kebijakan nasional “pertumbuhan berkelanjutan yang merata”.

Hal ini dengan keyakinan yang sama akan kekuatan keberanian dan penyelesaian yang kreatif bahwa Indonesia berupaya untuk bekerja dengan semua mitra internasional untuk menemukan jawaban atas persoalan besar pada zaman kita.

Terima kasih.

Untuk menonton video pidato dalam Bahasa Inggris, click here.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org