Memang sulit membungkus kepala kita dengan konsep memiliki sesuatu seperti karbon, atau memiliki “hak karbon”.
Tidak seperti sumber daya seperti air, tidak jelas apa nilai langsung karbon.
Kita tidak bisa meminum atau memakannya. Kita juga tidak bisa menjualnya langsung di pasar sebagai komoditas fisik.
Padahal, penyerapan karbon dari atmosfer oleh tanaman dan disimpan dalam biomassa bernilai karena memberi manusia setidaknya satu jasa kunci: mitigasi kerusakan akibat perubahan iklim.
Dengan kata lain, kita sebagai penduduk dunia seharusnya membayar untuk jasa mitigasi perubahan iklim yang diberikan karbon dalam pohon dan biomassa lain-lain.
Jika masyarakat internasional memutuskan ingin membayar jasa ini – melalui pajak karbon, pasar wajib jual beli jatah karbon, atau mekanisme serupa lain – kepada siapa uang dapat diberikan dan dalam situasi bagaimana?
Ini merupakan inti dari berbagai pertanyaan tentang hak karbon.
TANAHMU, KARBONMU?
Jauh sebelum pasar karbon internasional dinilai sebagai mekanisme pendukung konservasi hutan, sudah ada preseden bagaimana seharusnya penanganan hak-hak terkait sumber daya lahan.
Di wilayah tropis, hutan seringkali dimiliki oleh pemerintah. Tidak membiarkan perusaaan kayu swasta, masyarakat asli, dan pengguna lahan lain memiliki hutan secara langsung, pemerintah memilih sistem konsesi di mana hanya hak pemanfaatan dan tata kelola spesifik diberikan.
Pembagian manfaat REDD+: Adil dan fungsional?
- Ikuti acara parallel CIFOR di SBSTA,diskusi mendalam dari riset-riset yang dilakukan di seluruh dunia. Senin 8 Juni, 3 sore (waktu setempat).
Walaupun sepenuhnya menjadi hak milik tapi tidak lantas lahan hutan bisa dipanen atau di jual kayunya oleh perusahaan, tidak lantas pula kepemilikan lahan berarti memiliki hak karbon.
Fakta bahwa kita tidak perlu mengikatkan hak karbon pada hak lahan cukup membebaskan dari satu sudut pandang – hal ini membuat pemerintah harus berpikir kreatif mengenai siapa yang harus mendapat manfaat dari skema seperti Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) dan REDD+ serta menyusun kebijakan secara sesuai.
Di sisi yang lain, peluang berarti juga tantangan, ada banyak jalan yang dapat dibayangkan untuk mengalokasikan hak karbon.
Pemerintah dapat memegang hak karbon sendiri, dan mendistribusikan dana dari penjualan kredit karbon sesuai cara yang dipandang terbaik. Pemilik konsesi dapat diberi hak. Hak bisa diberikan pada masyarakat asli secara kolektif. Atau pemberian hak lahan swasta bisa digunakan sebagai kriteria mendapatkan hak karbon. Strategi tersebut tidak saling berdiri sendiri, dan pendekatan campuran juga dimungkinkan.
APA YANG KINI TERJADI?
Dalam penelitan terkini, CIFOR melihat apa yang terjadi di Brasil, Kamerun, Indonesia, Peru dan Vietnam. Mengingat tidak ada negara tersebut menuntaskan masalah hak karbon, perdebatan masih berlangsung.
Di antara negara tersebut, hanya Peru dan Indonesia secara eksplisit berupaya mendefinisikan hak karbon dalam legislasi nasional. Di negara lain, karbon dikaitkan secara implisit dengan hak lain, seperti sumber daya alam termasuk sumber daya hutan dan jasa lingkungan.
Dalam banyak kasus, terdapat beragam aturan yang bisa relevan untuk hak karbon, dan oleh karena itu, perdebatan masih berlangsung.
Perdebatan tersebut bisa teknis dan hukum.
Di Brasil, misalnya, Undang-undang Tata Kelola Hutan Publik membahasakan secara kuat bahwa Negara adalah pemilik simpanan atau sekuestrasi karbon di hutan, bahkan jika terdapat perusahaan yang memiliki konsesi hutan di sana.
Bagaimanapun, masyarakat asli adalah kekecualian, dengan jaminan konstitusional terhadap semua hak berbasis lahan seperti karbon. Terdapat debat mengenai bagaimana masyarakat asli dapat menegosiasi penjualan kredit karbon secara otonom atau tidak.
Di Peru, beragam perundang relevan berdampingan. Sebuah perundangan PJL terkini menyatakan bahwa tidak hanya pemilik lahan, tetapi pemilik konsesi dan bahkan LSM yang mengurus lahan diberi manfaat dari karbon sebagai jasa lingkungan. Pada saat yang sama, pemerintah memegang hak karbon dalam wilayah terlindung.
Ini meninggalkan pertanyaan mengenai apa yang terjadi jika LSM memiliki proyek REDD+ di wilayah terlindung. Tampaknya memberikan hak karbon dalam kasus ini akan memerlukan negosiasi antara LSM, pemerintah, dan masyarakat lokal.
Indonesia memiliki legislasi yang secara eksplisit mendiskusikan hak karbon dalam konteks REDD+, tetapi ada debat mengenai bagaimana pemerintah akan mengalokasikan dana, dan pertanyaan utama siapa yang memegang hak karbon belum terselesaikan.
Sementara, perundangan Vietnam menekankan pembayaran jasa lingkungan hutan seperti perlindungan daerah aliran sungai tanpa secara eksplisit mendiskusikan karbon.
JALAN MAJU – APAKAH KITA BENAR-BENAR PERLU HAK KARBON BAGI KONSERVASI?
Pada tingkat REDD+ dan inisiatif lain-lain berjalan dengan memberi kompensasi aktor untuk sekuestrasi karbon dan penyimpanan sendiri, kemudian mendefinisikan dan mengalokasikan hak karbon adalah penting.
Tantangan bahwa negara yang kami analisa menghadapi tantangan mengklarifikasi hak karbon menunjukkan kompleksitas legal masalah ini.
Yang juga penting, sorotan fundamental mengenai keadilan dan kesetaraan: bagaimana kita mendefinisikan hak karbon mencerminkan siapa yang kita percaya harus mendapat manfaat REDD+.
Apakah seharusnya manfaat pembayaran REDD+ mengalir pada individu yang memiliki hak lahan swasta di wilayah berhutan?
Apakah penting untuk mengarahkan secara langsung dana pada masyarakat asli? Ataukah seharusnya pendapatan dari REDD+ langsung pada pemerintah untuk mendukung barang dan jasa publik?
Itu semua adalah pertanyaan yang berada di luar bidang sains, dan mengharuskan pengambil keputusan berpikir secara hati-hati mengenai nilai yang dipegang mereka dan konstituen mereka.
Pemahaman kompleksitas hak karbon dalam hukum hanyalah titik awal untuk mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan fundamental.
Ashwin Ravikumar adalah salah satu peneliti tentang karbon di CIFOR. Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi: a.ravikumar@cgiar.org
Penelitian dalam artikel ini disokong pendataan dari Komisi Eropa dan Norwegian Agency for Development Cooperation (NORAD).
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
Taking Stock of Carbon Rights in REDD+ Candidate Countries: Concept Meets Reality
How viable are payment schemes for ‘blue carbon’?
We need to protect Congo’s forests against shifting cultivation… or do we?
Scientists: Base payments for ecosystem services on scientific evidence
Rights, resources and environmental impacts: A complex but crucial link