Bagaimana pilihan pangan kita menghancurkan hutan dan mendekatkan kita dengan virus

, Tuesday, 20 Oct 2020
Hutan menyediakan beragam kebutuhan pangan. Potret seorang perempuan memanen daun pakis dari hutan. Foto oleh: Icaro Cooke Vieira/CIFOR

Jumlah populasi global yang meningkat 2 kali lipat menjadi 7,8 milyar dalam waktu kurang lebih 50 tahun telah mendorong industri agrikultur meningkatkan produksi pertanian dan peternakan untuk kebutuhan pangan manusia.

Dampak negatif yang ditimbulkan adalah penyederhanaan sistem ekologis yang ekstrem, yaitu mengubah lanskap yang kompleks dengan fungsi berbeda-beda menjadi monokultur.

Dibandingkan peternakan sapi dan perkebunan kelapa sawit, industri agrikultur merupakan pendorong deforestitasi yang besar, terutama di wilayah tropis.

Ketika aktivitas agrikultur semakin meluas dan meningkat, maka ekosistem akan kehilangan tumbuhan, binatang liar, dan keanekaragaman hayati lainnya.

Transformasi lanskap hutan secara permanen demi tanaman komoditas mendorong lebih dari seperempat dari total deforestasi global.

Tanaman komoditas ini termasuk kacang kedelai, kelapa sawit, daging sapi, kopi, kakao, gula, dan bahan utama lainnya untuk memenuhi pola makan manusia yang semakin disederhanakan dan banyak melibatkan olahan.

Erosi batas hutan juga meningkatkan kerentanan kita terhadap penyakit menular, seperti Ebolamalaria, dan penyakit zoonosis lainnya.

Insiden spillover (penyebaran) akan lebih sedikit terjadi jika tidak ada penjarahan hutan oleh manusia.

Kita juga harus mengevaluasi sistem makanan global: apakah sistem tersebut berperan dalam kerusakan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati dan berisiko bagi nyawa manusia?

Apa yang kita makan?

Jenis makanan berkaitan dengang hilangnya keragaman hayati cenderung tidak sehat.

Lima puluh tahun telah berlalu sejak manusia melakukan Revolusi Hijau, yaitu transisi ke produk pangan bergantung pada sejumlah spesies tanaman dan hewan ternak tertentu.

Namun, hingga kini, sekitar 800 juta orang masih kekurangan makanan harian; satu dari 3 orang kekurangan gizi; dan 2 miliar orang masih kekurangan mikronutrien tertentu dan menderita dampak kesehatan, seperti stunting atau wasting.

Pembukaan hutan untuk agrikultu.

Ladang kedelai dan hutan di Brazil. Foto oleh: Shutterstock

Dampak lingkungan dari sistem agrikultur kita sangat besar.

Sektor agrikultur bertanggung jawab atas 30% emisi gas rumah kaca, erosi tanah, penggunaan air secara berlebihan, hilangnya polinator yang penting dan munculnya polusi kimia, serta dampak lainnya.

Ini mendesak kapasitas planet kita lebih jauh lagi.

Singkatnya, agrikultur modern gagal mempertahankan kesejahteraan manusia dan sumber ekologis yang diandalkan. Meningkatnya penyakit menular terkait erat dengan hilangnya keragaman hayati yang terjadi saat ini.

Deforestasi dan penyakit

Tidak banyak virus yang mengakibatkan respons global seperti virus SARS-CoV-2 penyebab pandemi saat ini.

Namun, dalam 20 tahun terakhir, manusia telah menghadapi SARS, MERS, H1N1, Chikungunya, Zika, dan wabah-wabah ebola lokal.

Semua penyakit ini adalah penyakit zoonosis dan setidaknya salah satunya, Ebola, berkaitan dengan deforestasi.

Peternakan skala besar pada hewan ternak yang memiliki genetik yang sama di dekat hutan bisa menyediakan jalur bagi patogen untuk bermutasi dan berpindah ke manusia.

Hilangnya hutan dan perubahan lanskap mendekatkan manusia dengan kehidupan liar, meningkatkan penyebaran penyakit menular.

Sekitar 70% kawasan hutan global hanya berjarak 1 kilometer dari tepi hutan, sebuah statistik yang mengilustrasikan masalah yang terjadi. Kita sedang menghancurkan penyangga kritis yang disediakan oleh hutan.

Zoonosis lebih sering terjadi pada sistem yang disederhanakan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang rendah.

Sebaliknya, keanekaragaman hayati tinggi mengurangi risiko spillover ke populasi manusia.

Hal ini membentuk kontrol alami yang disebut sebagai “dilution effect” dan menggambarkan bagaimana keanekaragaman hayati merupakan mekanisme pengaturan yang penting.

Pandemi meningkatkan tekanan yang lebih besar pada hutan.

Pemutusan hubungan kerja yang meningkat, kemiskinan dan kerentanan pangan di daerah urban memaksa migrasi internal, banyak orang kembali pulang ke kampung halaman, terutama di daerah tropis.

Tren ini dipastikan akan meningkatkan permintaan akan sumber daya hutan untuk kayu bakar, kayu, dan konversi ke agrikultur skala kecil.

Pasar basah di bawah pengawasan

Hubungan antara zoonosis dan kehidupan liar menghasilkan banyak seruan selama pandemi untuk melarang pemburuan dan penjualan daging hewan liar dan bentuk lainnya sebagai sumber makanan.

Ini mungkin reaksi tergesa-gesa: daging binatan liar adalah sumber utama bagi berjuta-juta orang di pedesaan, terutama yang tidak memiliki alternatif sumber pangan.

Bagi penduduk urban, posisi daging binatang liar tidak begitu genting. Mereka memiliki sumber protein alternatif dan bagi mereka daging binatang liar adalah barang “mewah”.

Pasar di daerah urban yang menjual daging hewan liar meningkatkan risiko penyebaran zoonosis, tapi tidak semua pasar basah.

Banyak pasar basah di dunia yang tidak menjual produk binatang liar dan pasar ini penting untuk menjami ketersediaan pangan dan nutrisi serta mata pencaharian bagi ratusan juta orang.

Pembeli dan penjual di pasar terbuka, dekat dengan buah-buahan dan sayuran.

Para pedagang di pasar basah Bangkok, Thailand. Foto oleh: Gemunu Amarasinghe/AP Photo

Sebelum pandemi COVID-19, agensi internasional, termasuk Komite Ketahanan Pangan Dunia, mencemaskan keberlangsungan jangka panjang dari sistem makanan kita yang sekarang: bisakah sistem itu menyediakan pola makan yang beragam dan kaya nutrisi sekaligus mempertahankan keberlangsungan lingkungan dan keanekaragaman lanskap?

Pandemi ini memperlihatkan kekurangan utama di pengelolaan lingkungan hidup.

Kita harus memanfaatkan hubungan hutan dan sistem makanan dengan lebih efektif bila ingin menghindari krisis lain di masa depan.

Integrasi hutan, agroforest (penggabungan pohon ke dalam sistem agrikultur) dengan skala lanskap lebih luas, melihat kembali pemisahan institusi, ekonomi, politik, dan spasial antara hutan dan agrikultur, bisa memberikan kunci untuk masa depan yang lebih berkelanjutan, memiliki ketahanan pangan, dan lebih sehat.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh The Conversation pada 13 Oktober 2020.

Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.