Cagar Burung dan Anggrek Papua Menampilkan Kekayaan Keanekaragaman Hayati Indonesia
Papua, wilayah paling timur Indonesia, merupakan wilayah kaya dengan keanekaragaman hayati, menawarkan peluang pengembangan ekowisata, pendidikan lingkungan dan konservasi. Berada di bagian barat Pulau Papua Nugini, sebagian besar wilayahnya ditutupi hutan alam, lahan gambut dan ekosistem lain yang merupakan “lahan pertahanan terakhir”, karena menurut para ilmuwan, wilayah ini merupakan rumah bagi banyak spesies yang belum teridentifikasi. Wilayah ini juga meliputi lebih dari sepertiga hutan alam yang tersisa di Indonesia.
Spesies anggrek asli ditemukan di Papua pada 2018 dinamai Bulbophyllum irianae, diambil dari nama Ibu Negara Indonesia, Iriana.
“Potensi keanekaragaman hayatinya sangat tinggi, spesies baru terus ditemukan,” kata John Mampioper, ketua cagar burung dan anggrek di Pulau Biak.
Pulau Biak memiliki beragam anggrek yang dikenal indah. Sekitar 2.500 – atau hampir separuh spesies yang ada di Indonesia – dapat ditemukan di sini. Sebagian anggrek paling spektakuler merupakan anggrek asli Papua, seperti Paphiopedilum glanduliferum, Grammitis ceratocarpa, Grammitis coredrosora dan Grammitis habbensis. Salah satu spesies paling terkenal adalah angrek raksasa Irian, Grammatophyllum papuanuum.
Papua juga menjadi rumah bagi banyak spesies burung unik, sebuah survey terbaru melaporkan sebanyak 716 burung terpantau di pulau ini.
“Indonesia memiliki 17 persen keanekearagaman hayati dunia, sekitar 50 persennya ada di Papua, termasuk di Pulau Biak,” kata Mampioper. “Potensi keanekaragaman hayati yang berada di hutan maupun di lautan seharusnya memotivasi kita untuk melakukan lebih banyak riset di Papua.”
Dan kini, spesies dan habitat ini berada dalam ancaman deforestasi, kerusakan lingkungan, perburuan dan perdagangan ilegal. Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, berbagai upaya dilakukan banyak aktor dalam melindungi spesies endemik melalui berbagai cara, salah satunya taman konservasi eksitu, yang telah ada sejak beberapa waktu lalu.
Cagar burung dan anggrek Biak
Taman Burung dan Taman Anggrek di Pulau Biak (TBTA Biak), didirikan oleh Pemerintah Provinsi Papua pada akhir 1980-an, sebagai sebuah upaya untuk melindungi keanekaragaman hayati, khususnya burung dan anggrek endemik Papua.
Taman seluas 28 hektare ini terletak di hutan primer dengan flora dan fauna yang terlindung baik. Taman ini berfungsi sebagai kawasan eksitu untuk melindungi spesies di luar habitatnya, dan dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Papua, sejalan dengan upaya konservasi insitu dan konservasi spesies tumbuhan dan satwa endemik. Pada inaugurasi 1990, sekitar 5 hektare lahan dibangun sebagai sebuah cagar, sementara sisanya tak dikelola.
Tiga dekade setelah pendirian, pengelola taman dan aktor terkait mengidentifikasi sejumlah kelemahan, seperti kurangnya pengembangan potensi jasa lingkungan melalui pendidikan dan pariwisata.
Mereka mendapati belum adanya rencana induk yang dapat memandu implementasi strategi dan rencana pengembangan dan manajemen taman, yang telah berdiri 30 tahun lalu – untuk lebih mendorong mereka mewujudkan dua tujuan utama taman. Tujuan pertama yaitu mengoleksi, melindungi dan konservasi anggrek, burung dan spesies dilindungi, khususnya spesies asli Papua. Kedua, mengembangkan taman menjadi pusat ekowisata dan edukasi lingkungan di Papua.
Dengan rencana induk dan strategi yang lengkap, manajer taman dapat secara efektif memimpin TBTA Biak dalam mendapatkan manfaat konservasi dan sosial. Cagar juga dapat mendapat manfaat dari pengembangan dan kerjasama lebih jauh dengan jaringan penelitian dan konservasi lain.
Di bawah Deklarasi Manokwari 2008, pemerintah Provinsi Papua berkomitmen untuk meningkatkan upaya konservasi. Menyadari pentingnya menyokong komitmen ini, Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) telah bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Papua untuk memastikan bahwa rancangan rencana induk taman dalam meningkatkan upaya konservasi spesies anggrek dan burung benar-benar dimengerti, dan pembelajaran serupa dari inisiatif sebelumnya dapat tersebarluaskan.
Dua seminar – atau acara berbagi pengetahuan – dilaksanakan oleh TBTA Biak Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Biak, dengan dukungan dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Unit Perubahan Iklim Inggris (UKCCU). Acara digelar pada 2019 dan 2020 di Biak. Disiarkan secara daring, seminar ini menggali potensi kolaborasi dengan berbagai organisasi.
Peserta pada kedua acara ini mendiskusikan cara menjaga agar hasil konservasi bisa optimal, dan cara mewujudkan tujuan membangunan pusat ekowisata dan edukasi lingkungan di Papua.
Seminar menghadirkan sejumlah pembicara dari manajemen TBTA Biak, taman budaya Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, perusahan konsultan PT Tranadi Tata Utami yang menyusun rencana induk, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta para ilmuwan terkemuka dari lembaga pendidikan setempat yaitu Universitas Papua, Universitas Cendrawasih dan Universitas Ottow Geissler.
Para peneliti CIFOR berbagi pengalaman dari aktivitas konservasi anggrek berbasis komunitas di Kalimantan Barat.
Keanekaragaman hayati untuk masyarakat
Hubungan simbiosis antara masyarakat sekitar hutan dan ekosistemnya membuka peluang untuk meningkatkan penghasilan melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan.
Dengan meningkatkan pariwisata, ekonomi lokal mendapatkan manfaat, kata Mampioper.
“Tren saat ini menunjukkan, banyak wisatawan lebih menyukai wisata alam sebagai destinasi,” katanya. “Dengan tingginya kunjungan wisatawan, tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan juga meningkat.”
Sekitar 80 hingga 90 persen masyarakat Papua bergantung pada hasil hutan, khususnya hasil hutan bukan kayu seperti sagu. Ia menjelaskan bahwa sagu, yang merupakan salah satu jenis pohon sawit (Metroxylon sagu Rottb.) dapat ditemukan di banyak wilayah di Indonesia. Sagu dipanen untuk diambil pati-nya dari bagian inti pohon. Pati sagu merupakan makanan pokok di Papua.
“Seluruh bagian pohon sagu termanfaatkan, mulai akar hingga daun. Masyarakat menggunakan batang pohon sagu untuk membangun rumah. Sagu juga merupakan sumber makanan pokok,” kata Mampioper.
Namun, ancaman serius bagi upaya konservasi muncul dari aktivitas perburuan illegal serta degradasi hutan dan lahan, tambahnya. Ia mengingatkan bahwa “ancaman terhadap konservasi tersebut dapat mengakibatkan kehilangan data keanekaragaman hutan yang belum terdokumentasi, dan akibat terburuk: kepunahan.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org