Analysis

Seiring menghilangnya kabut asap di Asia Tenggara, pengelolaan lahan gambut justru menjadi lebih mendesak dari sebelumnya

Strategi Pengelolaan Lahan Gambut ASEAN yang baru telah ditetapkan untuk mengatasi berbagai krisis
Hutan gambut di desa Parupuk, Katingan. Kalimantan Tengah. Foto oleh Nanang Sujana/CIFOR-ICRAF

Untuk mengatasi tantangan lingkungan yang terus-menerus seperti kebakaran, kabut asap lintas batas, dan emisi gas rumah kaca global, Asia Tenggara harus fokus pada lahan gambutnya. Iterasi kedua dari Strategi Pengelolaan Lahan Gambut ASEAN (ASEAN Peatland Management Strategy/APMS) untuk tahun 2023-2030 merupakan langkah maju yang signifikan dalam mengatasi masalah ini.

Lahan gambut – lahan basah khas dan unik yang terdiri atas material tanaman yang sebagian membusuk – adalah pahlawan tanpa tanda jasa dalam perjuangan melawan perubahan iklim. Lahan gambut menyimpan banyak karbon dan memberikan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi yang penting, seperti meningkatkan kualitas dan pasokan air, menyediakan sumber daya alam yang penting bagi mata pencaharian penduduk setempat, menawarkan habitat yang berharga bagi berbagai keanekaragaman hayati, mengendalikan banjir dan erosi, serta berfungsi sebagai ruang yang penting secara budaya untuk rekreasi, ekowisata, dan praktik keagamaan.

Asia Tenggara punya sekitar 25 hingga 30 juta hektare lahan gambut, yang mencakup sekitar enam persen dari total lahan gambut di planet ini dan 40 persen dari semua lahan gambut tropis. Ekosistem ini sangat penting bagi mata pencaharian masyarakat adat dan masyarakat lokal, menyediakan sumber daya seperti kayu dan produk hutan nonkayu, termasuk ikan, rotan, madu, dan lateks. Ekosistem ini juga merupakan titik panas keanekaragaman hayati, yang menampung lebih dari 1.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi (termasuk 45 endemik), 123 mamalia, 268 burung, 75 reptil, dan 219 spesies ikan sekaligus menyediakan layanan ekosistem seperti penyimpanan karbon (sekitar 68,5 miliar ton), pengendalian banjir, dan penyediaan pasokan makanan. Namun, kapasitas untuk sekuestrasi karbon ini juga menjadikan lahan gambut sebagai sumber karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya yang signifikan ketika terdegradasi atau hancur. Saat lahan gambut dikeringkan untuk pertanian dan penggunaan lahan lainnya atau dikelola dengan cara yang tidak berkelanjutan, lahan gambut jadi mengering dan menjadi sangat mudah terbakar.

Kebakaran ini sangat sulit dipadamkan karena terjadi di bawah tanah dan mengeluarkan kabut asap yang sangat tebal. Menurut Faisal Parish, Direktur Global Environment Centre, “kebakaran lahan gambut melepaskan sekitar 100 kali lebih banyak materi partikulat per hektare ketimbang kebakaran lahan kering atau pembakaran lahan pertanian pada umumnya.” Berbicara dalam acara peluncuran regional APMS pada 15 November 2023 di Bangkok, Thailand, Parish menyoroti bahwa kebakaran di tanah gambut diperkirakan menjadi penyebab 90 persen polusi kabut asap lintas batas di kawasan Asia Tenggara. Polusi ini biasanya menyebabkan masalah kesehatan yang serius dan gangguan ekonomi, serta berkontribusi terhadap perubahan iklim.

APMS pertama: aksi dan refleksi

Merespons meningkatnya kekhawatiran atas kebakaran lahan gambut, para menteri lingkungan hidup ASEAN bertemu pada tahun 2002 untuk membahas strategi pencegahan dan pengendalian kebakaran yang lebih baik. Hal ini berujung pada peluncuran Inisiatif Pengelolaan Lahan Gambut ASEAN (ASEAN Peatland Management Initiative/APMI) pada tahun 2003, yang diikuti oleh pengembangan APMS pertama untuk tahun 2006-2020, yang ditujukan untuk memandu upaya pengelolaan lahan gambut regional.

APMS berupaya mencapai tujuannya melalui aksi kolektif dan memperkuat kerja sama untuk mendukung dan mempertahankan mata pencaharian lokal, mengurangi risiko kebakaran dan kabut asap terkait, serta berkontribusi terhadap pengelolaan lingkungan global. Ada empat tujuan APMS: meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai lahan gambut, mengatasi polusi kabut asap lintas batas dan degradasi ekologi, mendorong pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, dan mendorong kerja sama regional terkait isu lahan gambut.

Tinjauan akhir APMS 2006-2020, yang dilakukan pada tahun 2020-21, menemukan bahwa strategi tersebut telah berhasil mendorong terciptanya Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Lahan Gambut dan kegiatan-kegiatan implementasi nasional terkait, khususnya di semua negara anggota ASEAN dengan wilayah lahan gambut yang signifikan. Kemajuan penting telah dicapai dalam hal berbagi informasi, peningkatan kesadaran dan kapasitas, serta kerja sama regional, dengan hampir 70 persen dari aksi yang direncanakan tercapai. Namun, tinjauan tersebut juga menyoroti kesenjangan, khususnya dalam pemerolehan pendanaan yang memadai dan pengintegrasian langkah-langkah mitigasi perubahan iklim.

Mengasah manajemen di tengah berbagai krisis

Saat perubahan pola cuaca El Niño menyebabkan polusi kabut asap parah pada tahun 2023 – termasuk kabut asap lintas batas – di banyak negara anggota ASEAN, para pemimpin mulai memperbarui APMS dengan urgensi yang lebih tinggi. Pada Agustus 2023, dalam Pertemuan ke-18 Konferensi Para Pihak untuk Perjanjian ASEAN tentang Polusi Kabut Asap Lintas Batas (COP18) di Republik Demokratik Rakyat Laos, APMS baru (2023-2030) diadopsi.

Iterasi kedua dari strategi ini berbeda dari yang pertama dalam beberapa hal. APMS yang baru ini jauh lebih pendek – tujuh tahun, bukan 14 tahun – yang mencerminkan urgensi peningkatan manajemen di era perubahan iklim, keanekaragaman hayati, kelangkaan air, kerawanan pangan, dan perlunya pemantauan dan revisi yang cermat.

Strategi yang baru ini juga menggunakan pendekatan Pengelolaan Lahan Gambut Terpadu (Integrated Peatland Management/IPM), yang berupaya menangani perlindungan, pemulihan, dan pengelolaan lahan gambut secara holistik dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan ekonomi, seperti signifikansi budaya, ketahanan pangan, dan mata pencaharian lokal. Fitur utama pendekatan IPM meliputi inventarisasi dan pemetaan unit hidrologi lahan gambut, pembasahan kembali dan revegetasi lahan gambut, pemanfaatan lahan gambut secara berkelanjutan, konservasi dan proteksi, serta penanganan perubahan iklim.

APMS yang baru ini juga membedakan pengelolaan lahan gambut di wilayah utara dan selatan Asia Tenggara. Sementara negara-negara selatan telah membuat langkah signifikan dalam pemetaan, penelitian, rehabilitasi, dan pengendalian kebakaran lahan gambut, wilayah utara masih memerlukan dukungan yang lebih besar dalam upaya penelitian, inventarisasi, dan pengembangan kapasitas.

Implementasi APMS yang berkelanjutan memerlukan pemantauan dan evaluasi yang cermat untuk menjamin progres terlacak dan tujuan tercapai. Pemantauan dan evaluasi tersebut antara lain berupa kegiatan-kegiatan dalam sejumlah forum baru-baru ini, seperti Forum ASEAN untuk Keanekaragaman Hayati Lahan Gambut, yang diadakan pada September 2024, yang mempertemukan para ahli, peneliti, dan pembuat kebijakan dari negara-negara anggota ASEAN dan Timor-Leste. Forum tersebut membahas isu-isu penting seputar konservasi dan pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, dengan fokus pada keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan kerentanan keanekaragaman hayati lahan gambut di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, serta komitmen di bawah Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal 2030. Inisiatif pengelolaan lahan gambut yang akan datang diharapkan bisa berkontribusi pada konservasi keanekaragaman hayati dan agenda perubahan iklim global, membantu menyelaraskan aksi nasional dan regional dengan persoalan dan percakapan global. Kegiatan-kegiatan tersebut menggarisbawahi pentingnya kolaborasi berkelanjutan dan upaya pengembangan kapasitas di seluruh kawasan.

Negara-negara anggota ASEAN, mitra internasional, dan para pemangku kepentingan didorong untuk berkolaborasi dalam mengimplementasikan APMS 2023-2030 demi melindungi lahan gambut, meningkatkan ambisi iklim, dan membangun masyarakat yang lebih kuat dan tangguh untuk masa depan yang berkelanjutan dan sejahtera

Sejalan dengan seruan ini, H.E. Ekkaphab Phanthavong, Wakil Sekretaris Jenderal ASEAN untuk Komunitas Sosial Budaya ASEAN, menggarisbawahi peran penting pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dalam membentuk visi ASEAN Pasca-2025. Seiring dengan keselarasan kawasan ini dengan Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal, ia menekankan pentingnya solusi berbasis alam dan pendekatan berbasis ekosistem untuk memperkuat masyarakat dan meningkatkan mata pencaharian.

“Kami bertekad untuk memutus siklus degradasi lahan gambut,” ujar Phantavong dalam APMS Forward. “Saya yakin pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan akan memainkan peran penting dalam membangun masyarakat yang tangguh dengan meningkatkan mata pencaharian mereka melalui solusi berbasis alam dan pendekatan berbasis ekosistem. Bersama-sama, kita bisa mengurangi risiko polusi kabut asap lintas batas dan dampak buruknya terhadap lingkungan, kesehatan, dan ekonomi kita.”


Acknowledgements
Artikel ini merupakan bagian dari program Measurable Action for Haze-Free Southeast Asia (MAHFSA), sebuah inisiatif bersama antara ASEAN dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) yang mendukung upaya pengurangan polusi kabut lintas batas dan dampaknya di Asia Tenggara. Artikel ini dikembangkan dengan bantuan anggota Sekretariat ASEAN, yaitu Mardiah Hayati, Wiraditma Prananta, Etwin Kuslati Sabarini, dan Dyah Ayu Ritma Ratri.

Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.