Perubahan iklim merupakan salah satu masalah lingkungan yang paling mendesak. Seperti yang kita ketahui, perubahan iklim dapat meningkatkan risiko kebakaran hutan dan menyebabkan peristiwa bencana alam lainnya, seperti banjir dan tanah longsor. Jika tidak dicegah, emisi karbon yang disebabkan oleh kebakaran hutan malah makin mempercepat perubahan iklim.
Restorasi lahan terdegradasi jelas merupakan salah satu solusi paling efektif untuk mengatasi perubahan iklim. Merespon isu tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 2021 hingga 2030 sebagai Dekade Restorasi Ekosistem PBB (U.N. Decade on Ecosystem Restoration). Tentu langkah ini menjadi wake-up call untuk organisasi pemerintah dan nonpemerintah agar lebih menggalakkan program restorasi lahan terdegradasi.
Upaya restorasi lahan di Indonesia
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyatakan bahwa program Dekade Restorasi Ekosistem PBB sangat sejalan dengan program pemerintah Indonesia. Menurut beliau dalam kurun waktu 2015 sampai 2021, pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan program pemulihan lahan, termasuk gambut dan mangrove, secara masif dengan total area tidak kurang dari 4,69 juta ha, seperti dikutip website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Di lain pihak, pada 2002 Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Institut Ilmu Pengetahuan Hutan Nasional (NIFOS) Republik Korea juga menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) untuk melanjutkan penelitian dan pengembangan ilmiah juga capacity building dalam isu-isu yang mendesak terkait dengan pengelolaan hutan dan sumber daya alam.
Salah satu dari hasil kerja sama tersebut adalah proyek penelitian kolaboratif untuk mengidentifikasikan tanaman bioenergi yang paling menjanjikan dan produktif untuk merestorasi lahan yang terdegradasi.
Penelitian tersebut, yang juga bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK), menemukan nyamplung (Calophyllum inophyllum) atau pohon tamanu sebagai salah satu spesies yang adaptif dan tumbuh baik di lahan terdegradasi.
Budi Leksono, peneliti KLHK, dalam sebuah laporan kementerian berjudul Terbukti, Tanaman Bioenergi Potensial untuk Restorasi Lahan Terdegradasi menyatakan bahwa nyamplung yang mulai berbunga dan berbuah setelah berusia dua setengah tahun dapat menarik beberapa spesies burung dan serangga yang mengindikasikan peningkatan keragaman hayati dalam ekosistem.
Nyamplung di Bukit Soeharto
Melanjutkan penelitian tersebut, plot riset dibangun di Bukit Soeharto Kalimantan Timur bekerjasama dengan Pusat Kajian Reforestasi Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PUSREKHUT). Di Bukit Soeharto, tanah mineral mengalami kerusakan akibat kebakaran yang berulang sejak tahun 1997. Berbekal hasil riset sebelumnya, PUSREKHUT pun mulai menanam nyamplung pada 2018 dan dalam kurun waktu dua tahun telah memberikan hasil yang luar biasa.
Dalam waktu sekitar dua tahun riset tersebut menemukan pohon nyamplung di Bukit Soeharto sudah berbunga dan berbuah dan panen awal sudah bisa dilakukan. Percabangan pohon nyamplung juga mampu menarik biodiversitas di sekitarnya agar lebih beragam dan kini banyak sarang-sarang burung ditemukan di pohon-pohon nyamplung. Beberapa spesies yang ditemukan termasuk burung hantu Great Potoo (Nyctibius grandis) yang dapat berkamuflase dan juga burung enggang (hornbill) khas Kalimantan.
Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nyamplung berpotensi efektif dalam pemulihan lahan terdegradasi karena dapat meningkatkan tutupan hutan dalam waktu relatif cepat. Tanaman yang tingginya kurang dari 1 meter pada 2018, sekarang pertumbuhannya sudah mencapai 10 meter. Lahan kritis bekas terbakar juga mulai menutup setelah tiga tahun.
Sukartiningsih, Kepala Pusat Kajian Reforestasi Hutan Tropis Universitas Mulawarman, menilai penelitian di area seluas 5 hektar tersebut sangat sukses. Merespon dengan kekayaan biodiversitas, Sukartiningsih berkata,” Kami sangat bersyukur sekali. Saya pikir itu salah satu kekayaan biodiversitas kita yang bisa dihadirkan melalui rehabilitasi lahan, baik dengan nyamplung maupun tanaman lainnya.”
Nyamplung untuk kesejahteraan masyarakat
Ketika berbicara tentang perubahan iklim, Christopher Martius, Ketua Bonn Hub dan Direktur Pelaksana CIFOR Jerman, menyatakan bahwa kita bisa menanggulanginya dengan melindungi ekosistem yang kaya akan karbon dan menumbuhkan biomassa.
Namun hal tersebut tidaklah mudah. Martius pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) tahun lalu di Glasgow, Skotlandia mengingatkan untuk bekerja sama dengan masyarakat lokal, karena mereka juga memerlukan penghasilan untuk hidup.
Hal ini senada dengan prinsip KLHK yang menyatakan bahwa lingkungan yang sehat membutuhkan keterlibatan pemangku kepentingan, terutama di tingkat lokal sehingga masyarakat dapat mengatur dan mengelola lahan tempat mereka bergantung dengan lebih baik. KLHK juga menekankan bahwa pemberdayaan masyarakat dapat membantu memajukan solusi lokal dan mendorong partisipasi dalam restorasi ekosistem.
Melanjutkan kesuksesan riset sebelumnya, proyek penelitian SCORE (Sustainable Community-based Restoration and Enterprises) bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian cerdas ramah iklim, seperti agroforestri melalui restorasi lahan dengan model yang sesuai dengan keadaan lokal dan memberikan manfaat mata pencaharian bagi masyarakat sekitar.
Himlal Baral, Peneliti Senior Tim Energi Perubahan Iklim dan Pembangunan Rendah Karbon CIFOR, mengungkapkan beberapa potensi pohon tamanu yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut beliau, petani Indonesia yang membudidayakan nyamplung di bekas lahan terdegradasi biasanya melakukan tumpang sari dengan jagung, beras, ketela, kedelai dan kacang tanah.
Tanaman tumpang sari bisa dikonsumsi keluarga, kayu dari pohon tamanu bisa digunakan untuk papan dan sangat bagus untuk pembuatan kapal, minyaknya bisa untuk dijual.
Para peneliti di Indonesia menemukan bahwa satu hektare pohon tamanu dapat menghasilkan hingga 10 ton per hektare per tahun minyak mentah. Dari total jumlah lahan terdegradasi yang sudah diindentifikasi, 3.5 juta hektare atau 57% lahan terdegradasi di Indonesia ditemukan cocok ditanam lima jenis tanaman hutan bioenergi dan nyamplung merupakan salah satunya. Menurut penelitian tersebut, nyamplung diperkirakan dapat ditanam di 0.05 juta hektare lahan. Minyak mentah yang dihasilkan ini dapat diolah menjadi biofuel dan hasil penelitian juga melaporkan bahwa emisi berbahaya dari minyak tamanu sangat rendah, sehingga membuatnya lebih ramah lingkungan.
Selain diolah menjadi biofuel, minyak tamanu juga merupakan bahan baku incaran produsen kosmetik karena bisa digunakan untuk melembutkan kulit rusak, menyembuhkan luka, dan mencegah jerawat. Melihat hasil penelitian yang menjanjikan, Sukartiningsih memprediksi, jika nyamplung dibudidayakan dalam kapasitas yang cukup, Indonesia bisa dengan cepat menjadi eksportir bersih minyak berharga ini.
Bukan hanya pohon dan minyak tamanu yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karakter bunga nyamplung sendiri mempunyai aroma yang sangat kuat yang menarik lebah untuk datang. Pembungaan nyamplung juga sepanjang tahun, sehingga berpotensi dikembangkan untuk budidaya madu lebah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan CIFOR di Wonogiri, Jawa Tengah, yang dipublikasikan pada Maret 2019 integrasi budidaya nyamplung dan lebah madu dapat menghasilkan keuntungan ekonomi untuk petani 10 kali lebih besar dibandingkan dengan hanya budidaya nyamplung.
Melihat banyaknya potensi yang bisa dihasilkan dari pohon tamanu, Himlal berharap masyarakat setempat bersama instansi pemerintah maupun swasta tergerak untuk menanam nyamplung di lahan terdegradasi untuk pemulihan lahan dan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.