Pendekatan Kolaboratif Integrasi Bentang Lahan dan Bentang Laut Pulau Sumbawa

Wawancara bersama Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Madani Mukarom
, Tuesday, 7 Sep 2021

Penelitian Kanoppi mendukung pengelolaan sumber daya alam dan hutan terintegrasi berbasis bentang alam di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dan telah berproses untuk mendorong kemandirian kelembagaan ekonomi masyarakat, melalui pengembangan ekowisata berbasis masyarakat, pengembangan sentra madu trigona, dan penguatan kelembagaan tingkat masyarakat dan desa. Beberapa produk olahan hasil hutan seperti madu hutan, budi daya madu trigona dan pemanfaatan dan pengembangan kerajinan dari rumput ketak telah dihasilkan oleh kelompok masyarakat.

Peneliti Kanoppi-CIFOR, Ani Adiwinata mewawancara Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Ir. Madani Mukarom, B.Sc.F, M.Si membahas pengelolaan berbasis bentang lahan (landscape) dan bentang laut (seascape) terintegrasi di Pulau Sumbawa.

T: Isu strategis apa yang perlu menjadi prioritas Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk memastikan pengelolaan kehutanan terintegrasi berkelanjutan di Pulau Sumbawa?

J: Seperti diketahui bahwa di Pulau Sumbawa luas hutan itu kurang lebih hampir 86% berada di Pulau Sumbawa. Sehingga memang perlu perhatian khusus dari kami Kehutanan, sehingga kami di sana menempatkan 12 UPTKPH, dari 16 UPT kami yang ada di Nusa Tenggara Barat. Jadi di hampir sebagian besar 75% berada di Pulau Sumbawa.

Kedua, di Sumbawa dengan luasan yang cukup banyak itu, ada tingkat kerusakan hutan degradasi dan deforestasi karena ada komoditas yang dikembangkan petani dan program-program pemerintah kabupaten termasuk provinsi yang membuat masyarakat masif melakukan aktivitas perambahan atau perladangan dengan mengembangkan tanaman komoditas pertanian, sehingga kawasan hutan rusak, itu yang paling penting.

Ketiga, Sumbawa itu sebagian besar tanahnya marjinal, jadi miskin hara dengan berbatu, sehingga perlu upaya-upaya khusus dari kami untuk mengelolanya, sehingga keberhasilan dalam pengelolaan hutan cukup baik.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, kami dorong beberapa komoditas yang di Pulau Sumbawa, satu komoditas yang tahan banting di lapangan misalnya kami sering sampaikan bahwa kayu putih, kita akan dorong.

Kedua, beberapa komoditas unggulan yang ada di sana misalkan tanaman ketak yang disampaikan oleh hasil riset teman-teman KANOPPI 2 itu memang bagian penting. Kebetulan kebutuhan Pulau Lombok pun saat ini ketak untuk anyaman didatangkan dari provinsi lain, sehingga yang di Sumbawa karena luas hutan yang cukup luas penduduknya sedikit, kami harapkan ketak bisa didorong dan dikembangkan lebih masif untuk mendukung industrialisasi ketak yang ada di Lombok maupun didorong di Pulau Sumbawa.

Berikutnya, mengembangkan tanaman-tanaman agroforestri yang bisa tumbuh di bawah tegakan pohon, sehingga dengan tanaman agroforestri tersebut masyarakat akan tumbuh untuk mencintai pohon di dalam hutan, tidak ditebang karena kalau ada tanaman agroforestri misalkan sekarang ramai menanam porang, itu sudah otomatis begitu porang ditanam orang akan mengamankan atau menyelamatkan tutupan pohonnya.

Demikian juga dengan di sana kita harus didorong tanaman-tanaman industri misalkan tanaman yang fast growing untuk memenuhi kebutuhan di Lombok, sekarang ada pabrik industri kayu lapis yang baru terpenuhi 25% bahan bakunya, itu bisa dikembangkan secara besar-besaran di semua, misalkan tanaman sengon untuk memenuhi kebutuhan di Lombok.

Nah itu beberapa strategi yang perlu kita dorong dilakukan di Pulau Sumbawa.

T: Apakah memungkinkan untuk membangun sinergi antara sektor kehutanan dan sektor pertanian sehingga konversi areal kehutanan menjadi lahan pertanian bisa teratasi?

J: Kami termasuk dengan Pak Gubernur dengan Wakil Gubernur sudah sepakat bahwa sudah mulai 2019 NTB nol anggaran bantuan jagung untuk APBD, yang saat ini masih terus berlangsung adalah bantuan dari APBN dari kementerian. Kami sudah sampaikan juga kementerian untuk koordinasi lintas kementerian di Jakarta, supaya bantuan itu dialihkan dan kami sering menyampaikan bahwa ada tanaman-tanaman komoditas pertanian yang akrab dengan kehutanan, misalnya didorong holtikultura.

Jadi hentikan untuk bibit-bibit tanaman semusim tersebut, dorong tanaman holtikultura misalkan nangka, nangka genjah, kelengkeng, durian bangkok, dan durian musang king, itulah punya komoditas pertanian.

Itu sangat akrab di kita, sehingga seperti halnya yang sudah saya sampaikan di Pulau Jawa itu seperti di Malang, di Bandung, Jawa Barat itu sebagian besar pertaniannya dari holtikultura, kenapa tidak di Sumbawa pendorong itu, sehingga tidak bertolak belakang dengan program dari kehutanan.

T: Bagaimana prospek pengembangan budi daya madu trigona yang merupakan rekomendasi Kanoppi dalam mendorong strategi industrialisasi di Pulau Sumbawa melalui komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)?

J: Madu trigona itu menjadi alternatif tambahan masyarakat di sekitar hutan, termasuk di perkotaan. Madu trigona ini lebih mudah, bandel, bisa dipelihara dengan mudah tidak seperti dorsata dan serana, sehingga ini perlu dikembangkan dan mendorong industrialisasi.

Tadi Pak Gubernur sangat setuju dikembangkan oleh kami, termasuk di UPTKPH kita dorong dengan berbagai pihak CSR-nya kita dorong masuk ke sana untuk secara masif madu trigona dikembangkan di Sumbawa.

T: Mempertimbangkan pentingnya pengelolaan berbasis bentang alam (landscape) dan bentang laut (seascape) terintegrasi di Pulau Sumbawa sebagai pulau kecil, bagaimana kondisi antar sektor bisa didorong?

J: Kinerja Dinas LHK NTB itu diukur berdasarkan indeks kualitas lingkungan hidup. Tercermin oleh membaiknya indeks kualitas air, indeks kualitas udara, dan indeks kualitas lahan.

Itu semua sektor masuk di situ, kita harus mengukurnya misalkan udara, Perhubungan kita harus cek kendaraan-kendaraan yang digunakan oleh Perhubungan untuk tingkat emisinya, termasuk dengan perindustrian.

Demikian juga tata kelola di hulu oleh para pihak termasuk kami Kehutanan dan UPT BPDHSL misalnya mengerjakan di hulu, termasuk di hilirnya dengan Dinas Kelautan dan Perikanan.

Karena seperti tadi untuk Pulau Lombok sudah punya status UNESCO, Lombok itu satu Geopark Rinjani, dua Cagar Biosfer Lombok, jadi sudah menjadi satu kesatuan Cagar Biosfer Lombok yang memang di situ dalam cagar biosfer, itu memandatkan agar tata kelola pembangunan harus berprinsip terhadap pengelolaan ekosistem, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan berkelanjutan.

Jadi dari tiga pilar utama harus dilakukan dengan konteks itu, termasuk Sumbawa juga, Sumbawa itu tadi Pak Gubernur menyampaikan dengan Geopark Tambora, sesungguhnya yang lebih luas lagi Cagar Biosfer Samota, itu mulai dari Sumbawa sampai ke Dompu, Bima, kalau geopark itu hanya Bima, Dompu, Sumbawanya tidak masuk. Sehingga konsep yang tadi semuanya Pak Gubernur, kami melengkapi bahwa sebenarnya itu ada di konsep Cagar Biosfer Samota juga.

Di situ memandatkan kepada para pihak termasuk pemerintah daerah tadi melakukan tata kelola lingkungan dengan konsep-konsep keberlanjutan, termasuk di dalamnya cagar biosfer, keanekaragaman hayati, dan pemberian masyarakat.

Jadi itu harus dipegang karena kalau pilar tadi ditinggalkan oleh pemerintah daerah, itu akan dicabut statusnya, jadi ada warning dengan diberikan status kita sampaikan bahwa ini dievaluasi oleh UNESCO secara bertahap, sehingga kita bersama harus mempertahankannya.

Nah dengan konteks itu tadi mudah-mudahan Pak Gubernur juga akan menyampaikan dan melakukan MoU dengan bupati dan walikota untuk Program NTB Hijau dan Program NTB Zero Waste.

Jadi semua mengembangkan konsep desa membangun hutan, desa mengolah sampah, dari mulai pelosok semuanya, dan konsep itu sekarang sudah dilaksanakan sehingga nanti tata kelola hutan, tata kelola lingkungan itu desa yang akan melakukan.

T: Bagaimana cagar biosfer bisa mendorong sinergi antar pemerintah kabupaten/kota yang ada di Pulau Sumbawa?

Sengaja dibentuk badan pengelola, ada GM-nya di Cagar Biosfer Lombok, GM-nya yang tadi Pak Gubernur sampaikan lebih maju. Itu dua mengelola Cagar Biosfer Lombok dan Geopark Rinjani.

Di Sumbawa juga tadi Pak Hadi sebagai pengelolanya, termasuk cagar biosfer, dari kerja-kerja badan pengelola ini yang intens dan punya waktu cukup untuk koordinasi dengan para pihak.

Kalau pemerintah itukan waktunya terbatas hanya selewat-selewat dan ini tidak, oleh karena itu dibentuk badan pengelola yang independen dengan di situ ada beberapa orang, personelnya yang bisa intens berkomunikasi dengan para pihak di setiap kabupaten, dan juga sudah diikat oleh MoU Program Zero Waste dan NTB Hijau. NTB Hijau itu menyuruh semua tata kelola, berbasis landscape, lalu industrialisasi sudah ada di NTB Hijau.

Judul misinya yaitu NTB Asri Lestari, programnya NTB Hijau dan NTB Zero Waste. Jadi di situ semuanya sudah masuk seluruh konsep-konsep pembangunan berkelanjutan.

Kanoppi merupakan kegiatan penelitian aksi partisipatif untuk “Mengembangkan dan mempromosikan agroforestri berbasis pasar dan pengelolaan lanskap terintegrasi untuk mendorong pengembangan usaha kehutanan skala kecil berbasis masyarakat di Indonesia”. Didukung Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) dan melibatkan Center for International Forestry Research (CIFOR) berkerjasama dengan World Agroforestry (ICRAF) dan mitra terkait. 

Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, penelitian difokuskan di Kabupaten Sumbawa, khususnya di Desa Batudulang dan Desa Pelat. Penelitian ini bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (BKPHP) Batulanteh, Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sumbawa, WWF (World wide fund for nature) Indonesia, Universitas Mataram, dan Badan Penelitian, Pengembangan dan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (Litbang HHBK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

For more information on this topic, please contact Ani Adiwinata at a.nawir@cgiar.org.
Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.