, Wednesday, 24 Mar 2021

Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai inisiatif untuk mengintegrasikan tujuan konservasi dan target pembangunan pada skala bentang alam makin mengemuka. Akan tetapi ketika semakin banyak sumber daya dialokasikan untuk inisiatif tersebut, pertanyaan muncul, faktor dominan apa yang mendorong keputusan pendanaan?

Apakah uang mengalir ke tempat paling dibutuhkan untuk konservasi keanekaragaman hayati dan/atau pembangunan ekonomi, misalnya, atau apakah pertimbangan pemerintahan dan ekonomi politik lebih kuat?
Dalam keterbatasan data dan pengetahuan mengenai topik ini, kami mencoba melakukan investigasi. Apa yang kami temukan, agak di luar dugaan.

Dalam keterbatasan data dan pengetahuan mengenai topik ini, kami mencoba melakukan investigasi. Apa yang kami temukan, agak di luar dugaan.

Inisiatif Bentang Alam

Premis dasar dari inisiatif tersebut adalah bahwa “bentang alam” merepresentasikan skala yang sesuai untuk kelindan besar sosial dan ekologi, menyatukan keragaman manusia dan kepentingannya untuk mengidentifikasi potensi jalan dalam enyeimbangkan berbagai agenda.

Bersama dengan meningkatnya dukungan donor, pemerintah, dan komunitas riset, sumber daya (baik finansial maupun teknis) yang diarahkan langsung pada inisitiatif ini naik dalam 20 hingga 30 tahun terakhir, dan mengarah pada asumsi bahwa pendanaan dan implementasi makin mengglobal.

Akan tetapi, terdapat keterbatasan pemahaman bagaimana seberapa besar dana mengalir pada proyek bersama konservasi dan pembangunan, dan di mana lokasi geografis aliran uang. Kami menelaah kesenjangan ini dengan menganalisis proyek yang didukung Bank Dunia dan Global Environment Facility (GEF) antara 1995 dan 2013.

Kami bertujuan memberikan estimasi seberapa banyak uang telah dibelanjakan, ke mana dana diarahkan dan benarkah mengarah pada area kebutuhan lingkungan dan pembangunan yang tinggi, serta pada akhirnya, faktor apa mempengaruhi keputusan alokasi dana.

Kami menemukan bahwa aliran finansial dari Bank Dunia/GEF untuk proyek gabungan konservasi dan pembangunan terdistribusi ke total 75 negara tropis dan sub-tropis. Total dana dalam periode 19 tahun mencapai 16,5 miliar dolar AS, yang berarti rata-rata 870 juta dolar AS per tahun.

Akan tetapi, jumlah dan frekuensi pendanaan selama periode penelitian sangat bervariasi untuk tiap negara. Dari 75 negara tersebut, Meksiko, Brasil dan India menerima mayoritas dukungan finansial. Sementara, Djibouti, Pantai Gading, dan Komoro mendapat paling sedikit. Pada tingkat regional, Amerika Latin dan Karibia memiliki jumlah pendanaan proyek terbanyak (148), jauh meninggalkan wilayah lain, dengan lebih dari separuh dana diserap, sebesar total lebih dari 8,5 miliar dolar AS.

Keanekaragaman hayati tinggi, pembangunan ekonomi rendah

Untuk mengeksplorasi lebih jauh tren pendanaan dan mencoba memahami berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan pendanaan, kami mengembangkan tipologi umum untuk menunjukkan status tingkat lingkungan dan pembangunan negara. Kami memetakan dan menumpangsusunkan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan data kekayaan spesies untuk menunjukkan area tropis dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi dan pembangunan ekonomi rendah (HBD).

Kami kemudian menumpangsusunkannya lagi dengan data aliran finansial, agar tergambarkan secara visual arah dana ke area prioritas tertinggi, dari perspektif lingkungan maupun pembangunan.

Kami kemudian menggunakan beberapa model untuk menunjukkan apakah keanekaragaman hayati tinggi dan pembangunan rendah (HBLD) menjadi faktor penduga pendanaan finansial. Secara umum, analisis kami menunjukkan, meski negara HBLD secara umum terbantu secara finansial (35 dari 39 dana diterima), tidak terdapat perbedaan signifikan antara negara HBLD dan non-HBLD dalam pendanaan per kapita atau pendaan per area yang diterima.

Secara ringkas, status kenanekaragaman tinggi dan pembangunan ekonomi rendah bukan prediktor pendanaan, terbalik dari apa yang diharapkan.

Tidak ada pula kaitan antara status pembangunan negara dengan dana diterima, diukur dari per kapita atau per area. Hal yang mungkin lebih mengejutkan, kami menemukan berbagai negara dengan nilai keanekaragaman hayati relatif rendah menerima lebih banyak dana per kapita dibanding negara dengan negara berkeanekaragaman tinggi melalui perbandingan dengan area lahan, faktor pemerintahan dan ketidaksetaraan. Status keanekaragaman hayati sendiri bukan determinan berpengaruh dalam keputusan pendanaan donor.

Kami juga menguji relasi antara jumlah spesies terancam di tiap negara (menggunakan data dari Daftar Merah Spesies Terancam IUCN) dengan alokasi dana. Sekali lagi, kami menemukan tidak ada kaitan signifikan. Hal yang mengejutkan, berbagai negara dengan spesies langka dan terancam tidak menerima dana tambahan untuk konservasi dan/atau pembangunan ekonomi, relatif terhadap negara secara umum.

Pemerintahan dan stabilitas politik sebagai faktor signifikan pendanaan

Kami kemudian mempertimbangkan dampak status pemerintahan negara dan menemukan bahwa negara dengan nilai tinggi, misalnya negara yang lebih efisien dan rendah korupsi, menerima dana lebih banyak per area. Hal ini menunjukkan bahwa stabilitas politik mungkin menjadi pertimbangan alokasi dana.

Alokasi dana terkini bisa juga didorong, setidaknya sebagian, oleh target konservasi lain, seperti potensi mitigasi perubahan iklim. Misalnya, besarnya simpanan karbon dan nilai sekuestrasi hutan tropis basah di Amerika Selatan, Afrika Tengah dan Barat, serta Asia Tenggara tampaknya menjelaskan sebagian argumen kepada donor. Sementara absennya manfaat besar mitigasi perubahan iklim bisa menlelaskan rendahnya pendanaan di beberapa wilayah kering dunia, di tengah kerentanan mereka terhadap dampak perubahan iklim akibat gangguan lingkungan.

Kesimpulan

Kesimpulannya, kami menemukan, tampaknya bukan status keanekaragaman hayati atau HDI yang menentukan alokasi dana. Sebaliknya, analisis kami menunjukkan bahwa faktor pemerintahan dan ekonomi-politik, yang terpantau dalam ketidakseimbangan dalam model kami, lebih berpengaruh.

Perlu dicatat, kami menghadapi tantangan signifikan dalam mendapatkan data yang diperlukan untuk melakukan penelitian ini. Diperlukan upaya lebih dalam mengembangkan indikator kuat (dan tersedia secara publik) mengenai keanekaragam hayati pada skala nasional (dan sub-nasional). Selain itu, pertimbangan lain perlu dilakukan terkait bagaimana kita mendefinisikan, mengukur dan membandingkan kemajuan tingkat negera, serta analisis yang harus menggabungkan variabel lain (mis. selain GDP) yang secara kumulatif berkontribusi terhadap ekonomi, sosial, politik, dan kesehatan lingkungan negara.

Akhirnya, penelitian di masa datang dapat dikembangkan berbasis pada kajian kami dengan menelaah performa dan efektivitas proyek gabungan konservasi-pembanguan untuk lebih memahami bagaimana, dan mengapa, area tertentu diprioritaskan, serta hal paling utama, besarnya dampak.

For more information on this topic, please contact James Reed at j.reed@cgiar.org or Terry Sunderland at t.sunderland@cgiar.org or Amy Ickowitz at a.ickowitz@cgiar.org.
Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.