Mengutamakan masyarakat menjadi bagian penting dari persamaan untuk perlindungan dan restorasi lahan gambut tropis Indonesia. Pesan ini menguat pada seri ketiga webinar yang mengeksplorasi kriteria dan indikator restorasi lahan gambut yang diselenggarakan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) bekerja sama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) Indonesia.
Webinar yang dihadiri oleh 145 orang dari 18 negara ini mengeksplorasi tata kelola terbaik dan atribusi sosioekonomi yang melatarbelakangi keberhasilan praktik restorasi lahan gambut dan mengidentifikasi panduan untuk kriteria dan indikator pemantauan yang tepat.
Indonesia memiliki lebih dari sepertiga lahan gambut tropis dunia, dan separuhnya telah rusak akibat pengeringan, deforestasi dan pembakaran untuk pertanian, dan negeri ini tengah berupaya mengurangi emisi dan merestorasi bentang alamnya.
Sebagai bagian dari Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) di bawah Perjanjian Paris PBB mengenai perubahan iklim, Indonesia berikrar untuk merestorasi lebih dari 2 juta hektare lahan gambut terdegradasi. Namun, sebagaimana disorot dalam webinar, restorasi yang efektif merupakan proses yang kompleks dan iteratif, membutuhkan pemantauan seksama aspek biofisik dan sosial dalam menilai tiap langkahnya.
Dalam sesinya, Myrna Safitri, Deputi Edukasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG memberikan paparan mengenai upaya lembaganya mengimplementasikan restorasi lahan gambut melalui partisipasi masyarakat. Dari seribu desa di wilayah target restorasi lahan gambut, sebanyak 87 persen berklasifikasi “kurang berkembang”—yang menegaskan perlunya jaminan bahwa seluruh rencana intervensi dilakukan harus berbasis masyarakat dan mengarah pada pengembangan ekonomi melalui peluang lapangan kerja yang sesuai. “Penduduk desa dan petani harus menjadi subyek restorasi lahan gambut, bukan hanya jadi obyek dari proyek,” kata Safitri.
Mendukung pernyataan Safitri, Marcel Silvius, perwakilan Global Green Growth Initiative (GGGI) untuk Indonesia, menegaskan urgensi untuk memastikan status tenurial lahan dalam bentang alam, konsultasi ekstensif mengenai sumber penghidupan dan potensi alternatifnya, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam program investasi sebelum memulai proyek restorasi.
“Tanpa komitmen masyarakat di lahan gambut, kita tidak akan dapat merestorasi lahan gambut secara berkelanjutan,” katanya. “Hanya setelah kohesi sosial dibangun, barulah kita bisa memikirkan rehabilitasi hidrologis dan reforestasi.”
Ilmuwan CIFOR, Herry Purnomo membahas bagaimana tata kelola dan struktur kekuasaan mempengaruhi keberlanjutan penghidupan di area lahan gambut, dan menawarkan sejumlah prinsip tata kelola restorasi lahan gambut di tingkat nasional, sub-nasional dan bentang alam. Ia merekomendasikan penerapan kriteria, indikator dan kebijakan yang ada jika dimungkinkan: “Tidak perlu mulai dari awal,” katanya. “Jika ada lembaga pemerintah lain mengumpulkan informasi, manfaatkan saja – untuk disintesiskan.”
Panelis Josi Katarina dari sekretariat Inisiatif Terpecaya, yang melakukan pendekatan yurisdiksional untuk melindungi lahan gambut dengan mengeksporasi berbagai cara untuk menampilkan komoditas pertanian yang dihasilkan secara berkelanjutan dan legal dari berbagai kabupaten dan provinsi di Indonesia. Ia berbagi contoh proses multi-pihak yang dikembangkan timnya untuk menyusun indikator yang selaras peraturan lokal nasional dan internasional, kebijakan, regulasi dan komitmen.
“Ke depannya, jika ini bermanfaat, kami berharap bisa berbagi metodologi dan indikatornya lebih luas lagi,” katanya. “agar kita bisa lebih melindungi lahan gambut sambil meningkatkan penghidupan masyarakat.”
Dalam sesi terpisah mengenai aspek ekonomi restorasi lahan gambut tropis, narasumber berbagi contoh inspiratif penciptaan penghidupan berkelanjutan. Siti Hamidah, pengajar di Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan, menjelaskan upaya tim risetnya mengembangkan produk komersial dari tanaman asli lahan gambut, seperti kelakai (Stenochlaena palustris) – pakis berdaya tahan tinggi, mudah beradaptasi dan produktif dengan kandungan besi yang tinggi.
Mereka mengembangkan proses untuk menghasilkan tepung hijau yang dapat digunakan untuk produk pangan seperti roti, mie dan biskuit, selain pakan ternak dan bioenergi. “Nilai ekonomi produk dari lahan gambut, dan penghasilan dari usaha yang telah berjalan, seharusnya menjadi bagian ketika mempertimbangkan efektivitas restorasi,” kata Hamidah.
Abdul Manan bergabung dalam webinar dari pulau Sungai Tohor Riau, tempat ia bekerja sama dengan Andalan Ekonomi Kreatif, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mendorong penghasilan dari sagu (Metroxylon spp.), tanaman yang berlimpah di lahan gambut. Dengan menggunakan teknologi lebih baik, penduduk bisa menghasilkan tepung satu kualitas tinggi dengan harga delapan kali lebh tinggi dibanding kualitas rendah.
Dharsono Hartono, direktur PT RMU – yang menjalankan proyek kredit karbon terbesar di dunia, Katingan Mentaya di Kalimantan Tengah – memaparkan upaya perusahaannya mengembangkan penghidupan alternatif bagi masyarakat lokal untuk melindungi dan merestorasi kawasan lahan gambut kaya karbon. Satu upaya yang terbukti berhasil adalah pengembangan industri gula aren. Aren banyak tumbuh di lahan masyarakat, dan permintaan gula aren internasional terus meningkat ini dihasilkan dari getah tunas bunganya. “Penting untuk memahami modal alam yang tersedia dan permintaan pasar, serta kemudian mengeksplorasi bagaimana kita bisa bekerja sama untuk menghasikan produk tertentu,” katanya.
Pada sesi paralel mengenai aspek sosial pengelolaan lahan gambut tropis, Yuti Ariani dari Nanyang Technical University membahas perlunya penguatan kelembagaan lokal untuk meningkatkan kohesivitas sosial. Kohesivitas ini penting dalam restorasi karena merupakan proses yang menantang dan selalu berubah dalam perebutan ruang dan kontroversi siapa pemilik sumber daya bersama, katanya.
Gambaran soal ini disampaikan Dianto Bachriadi dari Universitas Pajajaran yang memaparkan studi kasus tenurial lahan dan resolusi konflik di Kalimantan Barat. Studi ini mengangkat kompleksitas kepemilikan sumber daya: sebuah kubah gambut yang akan dijadikan perhutanan sosial, dan menimbulkan kebingungan “karena tidak ada kejelasan siapa yang memiliki hak atas lahan itu, dan siapa yang menentukan apa yang dilakukan di sana,” katanya.
Ilmuwan CIFOR, Moira Moeliono kemudian berbagi temuan dari sebuah studi kasus di Vietnam, yang menerapkan analisis jaringan ari seluruh anggota masyarakat desa kecil, dan menemukan pentingnya partisipasi masyarakat bagi keberhasilan program restorasi.
Selaras dengan pembahasan, memicu partisipasi dari peserta – baik dengan mengundang dan menjawab pertanyaan peserta melalui kotak percakapan, dan melalui aktivitas interaktif yang difasilitasi konsultan CIFOR, Kania Rahayu. Peserta diminta untuk memberi peringkat pentingnya berbagai kriteria aspek tata kelola dan sosioekonomi restorasi lahan gambut.
Pada aspek tata kelola, transparansi mendapat peringkat tertinggi, diikuti oleh kekuatan tata kelola dan akses sumber daya. Pada aspek ekonomi, akses pasar dipandang paling penting, diikuti oleh upaya peningkatan nilai produk dan keberlanjutan produksi. Pada aspek sosial, prioritas tertingginya adalah hak tenurial, diikuti oleh resolusi konflik dan jejaring sosial.
Haris Gunawan, Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG menutup webinar dengan menyatakan, “Pembangunan desa penting, dan restorasi lahan gambut harus diangkat dari tingkat desa. Meski kita tidak bisa terlalu kaku pada masyarakat mengenai bagaimana memanfaatkan lahannya, karena konsep restorasi sangat baru bagi mereka. Jadi kita perlu mendorong dan bekerja dengan masyarakat .”
Ia juga menyoroti pentingnya pendanaan, peningkatan kemampuan dan diverifikasi ekonomi lokal. “Kita tidak bisa hanya bergantung pada satu komoditas,” katanya. “Kita perlu mengembangkan ekonomi lebih cantik dalam mendukung penghidupan masyarakat di masa depan.”
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.