Salah satu komitmen utama Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (KM-GBF) adalah upaya memulihkan 30% lahan yang terdegradasi pada 2030. Dan sudah ada momentum signifikan menuju tujuan ini, dengan upaya sektor publik dan swasta di seluruh dunia untuk meningkatkan tutupan pohon.
Namun, sekadar menanam pohon sebanyak mungkin di tanah dalam waktu secepat mungkin takkan memberi kita keuntungan yang lebih luas yang menjadi tujuan dari target tersebut. “Sayangnya, realitas di balik banyak proyek [restorasi] ini adalah monokultur spesies non-asli yang tak memiliki keanekaragaman hayati dan tidak membantu memulihkan keanekaragaman hayati: dan sejatinya, dalam beberapa kasus, proyek-proyek itu justru merugikan alih-alih membantu,” kata David Bartholomew, seorang manajer proyek di Botanic Gardens Conservation International (BGCI), selama presentasi di Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB (CBD COP16) tahun ini di Cali, Kolombia.
“Kita perlu mengubah hal ini: kita ingin melihat [bentang alam] yang kaya akan keanekaragaman hayati, dengan banyak keanekaragaman spesies,” ujar Bartholomew. “Sangat penting bagi kita untuk mulai mengubah cara penanaman pohon dan proyek restorasi lainnya untuk mewujudkannya.”
Untuk mencapai tujuan tersebut, BGCI telah bermitra dengan sejumlah organisasi internasional, termasuk Society for Ecological Restoration, Plan Vivo Foundation, TRAFFIC, Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), dan Ecosia – juga bersama para mitra dalam negeri di enam negara di seluruh dunia – untuk menyusun pedoman sertifikasi baru yang disebut The Global Biodiversity Standard (TGBS), yang diluncurkan pada CBD COP16 di Cali Botanic Garden pada 15 November 2024.
TGBS merupakan suatu inisiatif internasional yang menyediakan tolok ukur untuk solusi berbasis alam, yang berupaya memastikan bahwa praktik restorasi dan agroforestri melindungi, meningkatkan, dan memulihkan keanekaragaman hayati. TGBS bekerja dengan melakukan survei dan menilai usulan proyek berdasarkan delapan kriteria. TGBS menetapkan penghargaan atas dampak positif pada keanekaragaman hayati, insentif, dan pengetahuan untuk meningkatkan dan mendukung praktik terbaik.
Bimbingan berkelanjutan dari para ahli restorasi dan keanekaragaman hayati lokal dan internasional membantu proyek-proyek untuk terus meningkatkan dampaknya. “Rangkaian bimbingan TGBS memastikan peningkatan berkelanjutan dalam solusi berbasis alam, meningkatkan hasil bagi keanekaragaman hayati, ekosistem, dan masyarakat,” kata Eliane Ubalijoro, CEO CIFOR-ICRAF. “CIFOR-ICRAF berkomitmen untuk berbagi pengetahuan yang bisa memberdayakan para petani kecil untuk menanam pohon demi hasil yang optimal.”
Bahkan, ia menambahkan, kolaborasi penyusunan TGBS mengilhami pengembangan basis data Global Useful Native Trees dan Tree Globally Observed Environmental Ranges oleh para ilmuwan CIFOR-ICRAF. “Sumber data ini memandu proyek penanaman pohon secara global, dengan mempertimbangkan campuran spesies yang beragam yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi perubahan iklim,” kata Ubalijoro.
Peter Wyse Jackson, presiden Kebun Raya Missouri, ketua bersama Global Partnership for Plant Conservation dan ketua baru BGCI, berbagi antusiasmenya terhadap inisiatif tersebut. “Ini adalah momen yang sangat menyenangkan untuk menerapkan standar tersebut, yang – saya yakin – akan memberikan dampak yang sangat signifikan di seluruh dunia terhadap kualitas dan keberhasilan program serta langkah-langkah konservasi tanaman dan konservasi ekosistem,” katanya.
Leonardo Tavares Salgado, direktur penelitian ilmiah di Kebun Raya Rio de Janeiro yang berbicara atas nama Kementerian Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Brasil, menyoroti keselarasan inisiatif tersebut dengan komitmen internasional dan kepentingan Brasil. “TGBS merupakan langkah penting menuju integrasi praktik yang berdampak positif terhadap keanekaragaman hayati ke dalam strategi yang bertujuan untuk memulihkan lahan yang terdegradasi secara efektif,” katanya, “dan akan memberikan kontribusi besar terhadap tujuan yang lebih luas untuk keanekaragaman hayati dan iklim.”
Selama peluncuran TGBS, dua lokasi – masing-masing di Bolivia dan Kolombia – secara resmi disertifikasi berdasarkan standar tersebut, sementara tujuh lokasi lainnya dari India, Hong Kong, Madagaskar, dan Kenya diakui atas janji mereka untuk menjalani asesmen TGBS, dan satu lokasi di Uganda menerima sertifikasi lanjutan khusus.
Dame Jane Goodall, yang lembaganya mendukung proyek Uganda, menyampaikan bahwa TGBS “mengingatkan kita akan tanggung jawab kita untuk melindungi ekosistem kita, bukan hanya untuk kelangsungan hidup kita sendiri, melainkan juga untuk masa depan setiap makhluk hidup yang berbagi planet ini dengan kita. Harapan saya adalah lebih banyak organisasi akan mengadopsi langkah-langkah yang ditetapkan oleh standar ini dan memastikan kita meregenerasi planet ini untuk generasi mendatang.”
Perwakilan dari berbagai jaringan TGBS juga berbagi tantangan dan peluang utama dari uji coba penggunaan standar tersebut di lokasi masing-masing. “Kita punya tantangan besar ke depan dalam menghadapi hilangnya keanekaragaman hayati dan kita juga punya tantangan untuk meningkatkan standar tersebut: kita telah melakukan proyek restorasi dengan spesies yang salah,” kata Gabriela Orihuela, koordinator jaringan TGBS Peru di Huarango Nature. “Kini, kita harus menggunakan teknologi dan inovasi yang kita miliki, bersama dengan pengetahuan lokal dan tradisional dan menyatukannya. Dan saya pikir kita menuju ke arah yang benar untuk melakukan itu.”
Senada dengan Orihuela, Gemma Harper – CEO Joint Nature Conservation Committee – menutup acara peluncuran tersebut dengan mengatakan, “Ini adalah inisiatif yang benar-benar inklusif, dari global ke lokal dan dari lokal kembali ke global. Inisiatif ini merangkul komunitas dan berbagai pengetahuan serta bukti. Inisiatif ini memiliki visi di dalamnya. Inisiatif ini juga benar-benar kolaboratif di seluruh lapisan masyarakat. Ini mewakili sains, dan yang terpenting, ini mewakili harapan untuk jalan ke depan.”
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.