Analysis

Ada berbagai konvensi, mengapa tujuan perlindungan lingkungan global gagal tercapai?

Tujuan lingkungan global dapat tercapai jika agenda nasional tidak menghalanginya
, Saturday, 30 Nov 2024
Sebuah truk penebangan mengangkut pohon besar melalui hutan tropis. Foto oleh Ollivier Girard/CIFOR-ICRAF

Penurunan yang terus-menerus pada kesehatan lingkungan planet kita sering dikaitkan dengan kegagalan konvensi lingkungan internasional. Namun, narasi ini salah mencari kambing hitam.

Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati, Konvensi PBB untuk Memerangi Desertifikasi (UNCCD) dan Forum PBB untuk Hutan (UNFF) menyediakan kerangka kerja yang solid untuk perlindungan lingkungan. Kegagalan yang sesungguhnya bukan terletak pada mekanisme-mekanisme itu sendiri, melainkan pada implementasinya – atau lebih tepatnya, hambatan sistematis terhadap implementasinya oleh pihak-pihak yang mengutamakan kepentingan nasional jangka pendek di atas kepentingan lingkungan global.

Politik penghalang

Cerita ini dimulai dengan janji. KTT Bumi Rio 1992 menetapkan kerangka kerja yang ambisius untuk perlindungan lingkungan global. Konvensi-konvensi ini dirancang dengan baik, menggabungkan panduan ilmiah, tujuan yang jelas, dan mekanisme untuk kerja sama internasional. Konvensi-konvensi ini mewakili pemahaman terbaik umat manusia tentang cara mengatasi tantangan lingkungan melalui aksi kolektif. Namun tiga dekade kemudian, kita menghadapi percepatan degradasi lingkungan bukan karena kerangka kerja ini cacat, melainkan karena tindakan-tindakan mereka sendiri yang secara terus-menerus telah merusaknya.

Pertimbangkan perubahan iklim, UNFCCC menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk mereduksi emisi gas rumah kaca, termasuk prinsip-prinsip yang jelas, panduan ilmiah, dan mekanisme untuk kerja sama internasional. Namun, sebagaimana didokumentasikan dalam World Energy Outlook 2023 yang disusun oleh Badan Energi Internasional, para penghasil emisi terbesar secara keras kepala terus memilih kepentingan ekonomi nasional ketimbang pengurangan emisi. Penarikan diri Amerika Serikat dari Protokol Kyoto, keluarnya Kanada ketika menghadapi kesulitan kepatuhan, dan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara yang terus-menerus oleh Tiongkok menggambarkan bagaimana para pihak lebih memprioritaskan persepsi kepentingan nasional daripada keharusan lingkungan global.

Pekerja di pabrik kelapa sawit Brasil menyiapkan peralatan. Foto oleh Miguel Pinheiro/CIFOR-ICRAF

Bukti adanya hambatan yang disengaja sudah jelas. Menurut penelitian yang terbit di Nature Climate Change pada 2022, perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil menghabiskan lebih dari 3,6 miliar dolar AS untuk lobi terkait iklim dalam satu dekade terakhir. Lobi ini secara efektif telah menunda implementasi tujuan UNFCCC di negara-negara ekonomi terbesar, meskipun konvensi tersebut menyediakan jalur yang jelas untuk pengurangan emisi.

Keanekaragaman hayati: Mati karena seribu luka

UNCBD memberikan contoh lain yang jelas. Konvensi tersebut memberikan pedoman yang komprehensif untuk perlindungan keanekaragaman hayati, tetapi para pihak secara sistematis telah merusak implementasinya dengan memprioritaskan ekstraksi dan pengembangan sumber daya. Laporan Bank Dunia tahun 2023 tentang pembiayaan keanekaragaman hayati mengungkapkan bahwa pemerintah-pemerintah negara menghabiskan sekitar 500 miliar dolar AS setiap tahunnya untuk subsidi yang merusak lingkungan – lebih dari tiga kali lipat dari yang mereka belanjakan untuk perlindungan keanekaragaman hayati.

Histori terkini Brasil menggambarkan dinamika ini dengan sempurna. Meskipun menjadi bagian dari UNCBD dan punya undang-undang konservasi yang sangat baik di atas kertas, keputusan politik di bawah pemerintahan tertentu menyebabkan peningkatan deforestasi Amazon secara drastis. Konvensi tersebut menyediakan kerangka kerja untuk perlindungan, tetapi pilihan politik nasional memprioritaskan keuntungan ekonomi jangka pendek ketimbang perlindungan lingkungan.

Degradasi Lahan: Kesenjangan Implementasi

UNCCD mungkin menawarkan contoh paling jelas tentang bagaimana hambatan politik melemahkan upaya perlindungan lingkungan. Konvensi tersebut memberikan pedoman terperinci untuk mencegah dan memulihkan degradasi lahan. Namun, sebagaimana didokumentasikan dalam Global Land Outlook (2022) yang disusun oleh UNCCD, implementasinya gagal bukan karena kurangnya pengetahuan atau kerangka kerja yang tidak memadai, melainkan karena pilihan politik yang mendukung praktik penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan.

Subsidi pertanian yang mendorong eksploitasi berlebihan, penolakan politik terhadap reformasi tata guna lahan, dan prioritas keuntungan ekonomi jangka pendek di atas keberlanjutan jangka panjang, semuanya melemahkan tujuan konvensi. Kerangka kerja untuk perlindungan sudah ada, tetapi kemauan politik untuk menerapkannya tidak ada. 

Hutan: Politik mengalahkan perlindungan

UNFF menyediakan pedoman komprehensif untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh data dari Global Forest Watch, kita terus kehilangan hutan primer pada tingkat yang mengkhawatirkan. Kehilangan ini terjadi bukan karena kerangka kerja internasional yang tidak memadai, melainkan karena para pihak secara terus-menerus memprioritaskan pendapatan dari kayu dan perluasan pertanian daripada perlindungan hutan.

Pengalaman Indonesia memberikan pelajaran berharga. Meskipun memiliki undang-undang perlindungan hutan yang canggih dan selaras dengan kerangka kerja internasional, keputusan politik yang mendukung perluasan kelapa sawit justru menyebabkan deforestasi besar-besaran. Kerangka kerja internasional memberikan arahan; prioritas politik nasional mengabaikannya.

Seorang penduduk desa Kichwa melihat sebatang pohon sebelum menebangnya untuk membersihkan lahan sebelum menabur jagung untuk memberi makan ternak di dekat Sungai Napo, Orellana, Ekuador. Foto oleh Tomas Munita/CIFOR-ICRAF

Masalah sebenarnya: Politik implementasi

Pola yang terjadi di keempat mekanisme di atas menunjukkan bahwa kegagalan bukan terletak pada konvensi, melainkan pada implementasinya. Berikut ini adalah beberapa faktor kuncinya:

Pertama, para pihak secara sistematis memprioritaskan persepsi kepentingan nasional di atas perlindungan lingkungan global. Konvensi menyediakan kerangka kerja untuk menyeimbangkan kepentingan ini, tetapi para pihak sering memilih untuk mengabaikan kerangka kerja ini ketika bertentangan dengan prioritas politik dalam negeri.

Kedua, kepentingan ekonomi yang kuat secara aktif berupaya menghalangi implementasi. Penelitian dari International Political Economy Institute (2023) mendokumentasikan bagaimana lobi industri telah menunda langkah-langkah perlindungan lingkungan di berbagai yurisdiksi, meskipun ada pedoman konvensi yang jelas.

Ketiga, para pihak sering kali terlibat dalam hal yang oleh para ilmuwan politik sebut sebagai “kepatuhan simbolis” – yang tampak mengikuti aturan konvensi, tetapi sebenarnya malah merusak tujuan konvensi. Mereka menciptakan kebijakan dan program yang kedengarannya mengesankan, tetapi pada saat yang sama mempertahankan praktik yang merusak lingkungan.

Bukti kegagalan politik

Statistik berikut ini memang buruk, tetapi statistik tersebut mencerminkan kegagalan politik, bukan kekurangan konvensi:

  • Penurunan keanekaragaman hayati global sebesar 68% terjadi meskipun UNCBD menyediakan kerangka kerja perlindungan yang jelas
  • Peningkatan emisi gas rumah kaca sebesar 60% terjadi meskipun UNFCCC menawarkan jalur pengurangan yang jelas
  • Degradasi lahan terus terjadi meskipun UNCCD menyediakan pedoman pencegahan yang terperinci
  • Deforestasi terus terjadi meskipun UNFF punya kerangka kerja untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan

Bergerak maju: Mengatasi tantangan yang sebenarnya

Solusinya bukan dengan mereformasi konvensi, melainkan dengan mengatasi kegagalan implementasi. Penelitian terbaru dalam Global Environmental Politics (2023) menyarankan beberapa langkah penting.

Pertama, tata kelola lingkungan domestik harus diperkuat untuk menerapkan kerangka kerja konvensi dengan lebih baik. Konvensi menyediakan cetak biru; lembaga domestik memerlukan kapasitas dan dukungan politik untuk menerapkannya.

Kedua, menangani aspek ekonomi politik dari kerusakan lingkungan. Ini berarti menentang kepentingan pribadi yang menghalangi implementasi dan menciptakan konstituen baru untuk perlindungan lingkungan.

Ketiga, transparansi dan akuntabilitas dalam implementasi harus ditingkatkan. Jika para pihak gagal memenuhi komitmennya, dunia perlu mengetahui alasannya dan siapa yang bertanggung jawab.

Keempat, membangun konstituensi domestik yang lebih kuat untuk perlindungan lingkungan. Konvensi menyediakan kerangka kerja; tekanan politik domestik diperlukan untuk memastikan penerapannya.

Kegagalan perlindungan lingkungan global tidak terletak pada konvensi internasional, tetapi pada implementasinya. Konvensi-konvensi ini menyediakan kerangka kerja canggih berdasarkan pemahaman ilmiah dan kerja sama internasional. Kesenjangan tragis antara tujuan konvensi dan realitas lingkungan kita bukan mencerminkan kekurangan kelembagaan, melainkan kegagalan politik.

Memahami perbedaan ini sangat penting untuk mengatasi krisis lingkungan. Alih-alih mengkritik konvensi, kita harus fokus pada hambatan politik terhadap implementasinya. Kerangka kerja untuk perlindungan lingkungan sudah ada; yang kurang kita miliki adalah kemauan politik untuk mengimplementasikannya secara efektif.

Jalan ke depan memerlukan penanganan langsung terhadap kegagalan politik ini. Hanya dengan membangun konstituen domestik yang lebih kuat untuk perlindungan lingkungan, menentang kepentingan yang menghambat, dan menciptakan akuntabilitas nyata atas kegagalan implementasi, kita bisa berharap untuk membalikkan kemerosotan lingkungan planet kita. Konvensi telah memberi kita alat; kita sekarang harus menemukan kemauan politik untuk menggunakannya.

Pembingkaian ulang masalah ini menyarankan pendekatan baru terhadap perlindungan lingkungan – pendekatan yang tidak berfokus pada penciptaan kerangka kerja internasional baru, tetapi pada pembangunan kondisi politik untuk menerapkan kerangka kerja yang sudah ada secara efektif.

Masa depan planet kita tidak bergantung pada konvensi yang lebih baik, tetapi pada politik yang lebih baik.

Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.