Pembelajaran dari Satu Dekade Pendekatan Yurisdiksi di Asia Tenggara

Data, kapasitas, dan insentif adalah kunci untuk mempercepat pertumbuhan hijau
, Thursday, 10 Oct 2024
Forum Tingkat Tinggi tentang Kemitraan Multi-pemangku Kepentingan “Memperkuat Kemitraan Multipihak untuk Pembangunan: Menuju Perubahan Transformatif”. Foto oleh Kementerian PPNBappenas

Segera setelah kebakaran besar hutan dan gambut  yang melanda Indonesia pada tahun 2015, Sumatera Selatan memutuskan untuk mempelopori pendekatan baru dalam pengelolaan penggunaan lahan berkelanjutan di seluruh provinsi. Pendekatan ini mengintegrasikan tujuan lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta memberikan suara yang nyata kepada semua pemangku kepentingan, mulai dari masyarakat hingga sektor swasta dan LSM.

Kini, pendekatan yurisdiksi (JA) telah berkembang ke lima provinsi, dengan dua provinsi lainnya dalam proses adopsi. Pendekatan ini bahkan telah berhasil direplikasi di Vietnam, menjadi panduan dalam upaya di tingkat nasional dan subnasional di kedua negara. Dalam prosesnya, pendekatan baru ini muncul sebagai kekuatan pendorong untuk pertumbuhan hijau yang inklusif di tengah krisis iklim, keanekaragaman hayati, dan lahan.

Sebagai bagian dari acara High-Level Forum on Multi-stakeholder Partnerships di Bali (1-3 September 2024), Pusat Penelitian Kehutanan International dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) menyelenggarakan acara gelar wicara tentang Pertumbuhan Ekonomi Hijau Inklusif untuk Ketahanan Iklim. Dalam sesi ini, pembicara dari program negara CIFOR-ICRAF di Indonesia dan Vietnam, pemerintah Sumatera Selatan, serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia (Bappenas) berbagi wawasan dari proyek-proyek JA serta pelajaran yang diperoleh selama satu dekade untuk memajukan rencana pertumbuhan hijau.

Pendekatan Yurisdiksi Secara Mendalam

Perencanaan penggunaan lahan yang inklusif di seluruh wilayah politik-administratif, seperti provinsi atau kabupaten, menawarkan alternatif dari pendekatan berbasis proyek atau sertifikasi, yang mungkin menyebabkan pergeseran deforestasi, degradasi lahan, dan polusi ke wilayah sekitarnya.

Direktur CIFOR-ICRAF untuk Asia, Sonya Dewi, menjelaskan bahwa beberapa pendekatan yurisdiksi (JA) berfokus pada produksi satu atau beberapa komoditas strategis di seluruh yurisdiksi. Sementara yang lain mencakup berbagai penggunaan lahan dan sumber daya utama. Pendekatan JA disasarkan pada tiga pilar utama: keterlibatan langsung pemerintah, pengambilan keputusan yang inklusif, dan pendekatan berbasis data untuk mendefinisikan, mengimplementasikan, dan melacak intervensi.

“Sektor penggunaan lahan, kehutanan, dan pertanian dipengaruhi oleh beragam aktor yang memiliki perbedaan dalam hal informasi, kepentingan, dan kekuasaan,” kata Dewi. “Membangun kepercayaan di antara mereka tidaklah mudah, namun sangat penting untuk menemukan solusi yang disepakati dan memperkuat ketahanan kita terhadap tantangan lingkungan seperti perubahan iklim.”

Menciptakan Rencana Pertumbuhan Hijau

Sejak tahun 2016, CIFOR-ICRAF telah mendukung beberapa provinsi seperti Sumatera Selatan dalam mengembangkan rencana pertumbuhan hijau yang inklusif dengan pendekatan yurisdiksi.

Proses ini mencakup diskusi visi bersama, pengumpulan data lingkungan dan ekonomi pada wilayah fokus, dan penggunaan perangkat lunak (Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Jasa Lingkungan, atau LUMENS) untuk menganalisis tradeoff pada skenario perencanaan penggunaan lahan.

Simulasi LUMENS menunjukkan perbandingan antara skenario business as usual dan rencana pembangunan berkelanjutan dalam hal Produk Domestik Bruto (PDB), emisi, dan jasa ekosistem, memberikan wawasan untuk negosiasi mengenai peta jalan pertumbuhan hijau.

Setelah melalui proses tersebut, Sumatera Selatan merumuskan tujuh strategi untuk mendorong pertumbuhan hijau—seperti restorasi bentang alam dan efisiensi pertanian—serta 17 indikator dampak yang selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), seperti lapangan kerja, perluasan agroforestri, tingkat deforestasi, dan emisi dari area gambut.

“Keunggulan dari rencana pertumbuhan hijau adalah strategi yangdipetakan secara spasial, sehingga jelas intervensi apa yang perlu dilakukan di mana,” kata Direktur Program ICRAF Indonesia, Andree Ekadinata. “Selain itu, pemetaan ini memudahkan integrasi strategi tersebut ke dalam rencana pembangunan daerah.”

Pembelajaran dari Vietnam

CIFOR-ICRAF membawa alat dan proses yang sama ke provinsi Lam Dong di Vietnam atas permintaan pemerintah provinsi, seperti yang disampaikan oleh ilmuwan senior di CIFOR-ICRAF Vietnam, Do Trong Hoan.

Rencana pertumbuhan hijau yang dihasilkan mempertimbangkan jasa ekosistem dan aspek sosial, seperti kesetaraan gender, ketahanan pangan, serta inklusi minoritas etnis. Rencana ini juga memperluas cakupan rencana sebelumnya, yang sebagian besar berfokus pada sektor energi, dengan mencakup sektor pertanian, kehutanan, pariwisata, transportasi, dan air.

“Wilayah ini, yang terletak di dataran tinggi tengah Vietnam, merupakan destinasi wisata dan salah satu pengekspor kopi terbesar di dunia, sehingga penting untuk memprioritaskan praktik pertanian dan pariwisata berkelanjutan dalam strategi baru,” jelas Hoan.

Pekerjaan yang dilakukan di Lam Dong memberikan wawasan bagi Strategi Pertumbuhan Hijau Vietnam (2021-2030), yang menjadi contoh ilmu untuk kebijakan dan landasan sebagian besar pekerjaan CIFOR-ICRAF.

Cerita Sukses dari Indonesia

Direktur Pangan dan Pertanian di Bappenas, Jarot Indarto, menekankan pentingnya mendukung rencana pertumbuhan hijau dengan undang-undang dan kebijakan yang memadai serta mengarusutamakan strategi-strategi tersebut ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran di tingkat administratif yang lebih rendah.

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia sehingga desentralisasi intervensi keberlanjutan sangat penting, terutama di sektor pangan dan pertanian,” kata Indarto. “Perkebunan kelapa sawit, misalnya, tersebar di 25 provinsi dan 212 kabupaten, yang semuanya harus terlibat untuk mewujudkan visi pertumbuhan hijau.”

Indonesia kini tengah mengembangkan Platform Yurisdiksi Berkelanjutan, yang diharapkan diluncurkan pada tahun 2025 dan akan menyediakan penilaian untuk setiap kabupaten berdasarkan indikator ekonomi, lingkungan, sosial, dan tata kelola. Dari perspektif Indarto, kegiatan penyuluhan akan sangat penting agar kabupaten-kabupaten menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan yang dipromosikan oleh pemerintah pusat.

Bagi Regina Ariyanti, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumatera Selatan, memobilisasi sumber daya keuangan untuk mengimplementasikan strategi pertumbuhan hijau, termasuk Rencana Aksi Provinsi untuk Kelapa Sawit Berkelanjutan, adalah prioritas lainnya.

Mereka berupaya menangani isu-isu seperti perluasan perkebunan kelapa sawit ke kawasan lindung, risiko kebakaran, terutama di area yang tumpang tindih dengan ekosistem gambut, dan konflik hak atas tanah.

“Kami menyadari bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan bukan hanya kebutuhan lingkungan, tetapi juga kebutuhan ekonomi untuk memastikan keberlanjutan industri dan mata pencaharian masyarakat pedesaan dalam jangka panjang,” kata Ariyanti.

Sebagai penutup sesi, Dewi menyoroti potensi pendekatan yurisdiksi dalam pengelolaan lahan dan sumber daya yang berkelanjutan, tetapi juga menekankan perlunya data yang berkualitas dan peningkatan kapasitas.

“Tidak ada pendekatan yang cocok untuk semua,” kata Dewi. “Geopolitik dan konteks lokal harus menjadi pertimbangan utama.”

Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.