Bersama, Kita Bisa Membalik Gelombang

Bagi Indonesia, berkembangnya pasar karbon biru memberi janji – dan tantangan
, Tuesday, 26 Mar 2024
Sigit Deni Sasmito, Peneliti CIFOR-ICRAF, tengah mengukur diameter pohon mangrove untuk mengetahui biomassa di atas dan di bawah tanah ekosistem mangrove di Kubu Raya, Kalimantan Barat, Indonesia. Foto oleh: Kate Evans/CIFOR-ICRAF

Memiliki sekitar 18.000 pulau dan hampir 100.000 kilometer garis pantai, menjadi alasan negara kepulauan Indonesia sangat berkepentingan dalam konservasi, restorasi, dan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem karbon biru.

Frasa ini merujuk pada ekosistem pesisir seperti mangrove, rawa payau, dan padang lamun yang menyimpan sejumlah besar karbon dioksida – umumnya melampaui kapasitas hutan daratan. “Kapasitas simpan karbon ekosistem mangrove sekitar 1.000 ton per hektare,” kata Daniel Murdiyarso, Ilmuwan Utama Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) sekaligus pimpinan Platform Kemitraan Transformatif: Wahana Karbon Biru yang baru diluncurkan. “Bandingkan dengan hutan hujan tropis, yang hanya menyimpan sekitar 300 ton per hektare, kita bisa melihat bahwa kontribusi mangrove [untuk reduksi emisi] sangat tinggi.”

Oleh karenanya, melindungi dan merestorasi wilayah ‘karbon biru’ ini diakui makin penting dalam mitigasi dan adaptasi iklim, selain untuk ketahanan pangan, penghidupan, dan budaya. Sejalan dengan upaya Indonesia mewujudkan ‘penyerapan karbon bersih’ bagi hutan dan penggunaan lahan lain pada 2030 (FOLU Net Sink 2030), karbon biru – yang diperkirakan menyimpan sekitar 17 persen dari stok total dunia – menjadi inti dari strategi reduksi emisi.

Inilah alasan bagi Murdiyarso dan sejumlah aktor kunci, termasuk perwakilan pengambil kebijakan, peneliti, sektor swasta, dan masyarakat sipil dari Indonesia dan sekitarnya, berkumpul di Bogor pada 20 Februari 2024 serta secara daring, untuk mendiskusikan kebutuhan pengembangan proyek karbon biru dan mekanisme pasar dalam negeri untuk selaras dengan meningkatnya kepentingan dan urgensi.

“Kita ingin memastikan bahwa agenda karbon biru dapat menjawab mitigasi dan adaptasi iklim, serta melibatkan pemangku kepentingan dari komunitas bisnis untuk berinteraksi dengan masyarakat yang membutuhkannya,” kata Murdiyarso. “Dan kita juga perlu menjamin terciptanya sains dan kualitas karbon biru berkualitas tinggi dalam proses ini.”

Pembicara lain menekankan berbagai manfaat non-karbon yang membuat konservasi ekosistem ini berharga. “Mangrove membentuk benteng perlindungan garis pantai,” kata Arif Staria, Rektor IPB University, “Kita tidak punya benteng, tetapi kita punya mangrove. Tanpanya kita dalam masalah.”

Satria juga menyebut urgensi mencapai akar masalah tata kelola yang saat ini menghambat proyek pembangunan karbon biru, seperti kompleksitas tenurial dan pengaturan kebijakan. Seruannya diperkuat oleh Harkristuti Harkrisnomo, Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), yang juga mengutip kendala teknis dan saintifik, tantangan pelibatan dan partisipasi masyarakat, tekanan perubahan iklim dan lingkungan, efektivitas pemantauan dan evaluasi, serta masalah legal.

“Ini semua masalah serius yang perlu ditangani,” kata Harkrisnowo. “Oleh karena itu, efektivitas implementasi menuntut pendekatan multi-dimensi, yang tidak terbatas pada bagaimana kita memanfaatkan karbon biru tujuan ekonomi, tetapi menimbang bagaimana upaya ini dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar. Dengan kata lain, dialog karbon biru tidak bisa dipisahkan dari prinsip hak asasi manusia.”

Phidju Sagala, Asisten Peneliti CIFOR-ICRAF, melakukan pengukuran core sediment hingga kedalaman tiga meter untuk memperkirakan karbon tanah di hutan mangrove yang didominasi Sonneratia alba di Teluk Pang Pang, Jawa Timur, Indonesia. Foto oleh: Daniel Murdiyarso/ CIFOR-ICRAF

Tuntutan kejelasan viabilitas ekonomi dari program seperti ini juga disuarakan. Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia mengungkap kekhawatiran tingkat pembayaran untuk reduksi karbon saat ini bisa masih di bawah nilai nyata ekosistem. Ia mendorong mekanisme perdagangan karbon biru  yang transparan dan berkeadilan – disokong oleh informasi terbaik yang dapat diperoleh secara aktual. “Kita perlu riset jangka panjang, sekaligus juga riset segera, karena kita berlomba dengan waktu,” katanya.

Didasari catatan itu,, Robert Nasi, Direktur Operasi CIFOR-ICRAF mengangkat nilai perlindungan hutan mangrove dari perusakan dan degradasi. “Juga penting untuk merestorasi mangrove, meski hal ini membutuhkan investasi cukup banyak. Rasio untung-rugi sekitar 2:1, ini bagus, tetapi mengkonservasi mangrove lebih bagus lagi, karena dengan biaya jauh lebih kecil dalam memberi keuntungan besar jasa ekosistem yang disediakan mangrove: pada titik ini, kita mendapat rasio untung-rugi 48:1.”

Dalam diskusi panel mengenai kebijakan, Laksmi Dhewanthi – Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia – mempertajam tantangan seperti kurangnya data dasar penetapan target sektor kelautan, dan upaya bersama yang tengah dilakukan untuk mengatasinya. Dhewanthi membahas metodologi penghitungan emisi, dan menyatakan bahwa data dan metodologi yang kuat untuk sertifikasi diperlukan sebelum terlibat dalam perdagangan karbon. Suwignya Utama, Plh. Deputi Edukasi dan Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan di Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), berbagi hikmah ‘akar mangrove’, yaitu pentingnya memenuhi prakondisi fisik dan sosial sebelum upaya restorasi, termasuk mendapat izin dari masyarakat.

Merespon pandangan kelembagaan ini, Luky Adrianto dari IPB University menyeru lebih banyak perhatian pada ketidakpastian yang dimiliki negara terkait kondisi dan luasan tutupan rumput laut. Ia menyatakan bahwa pemetaan dan validasi ekosistem rumput laut yang lebih akurat sangat diperlukan. Sebagai tambahan, Muhamad Yusuf, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menunjuk penyebab kunci degradasi, seperti pembangunan pelabuhan. Ia menekankan pentingnya riset lebih dalam, dan melibatkan ekosistem ini dalam Kontribusi yang ditetapkan secara Nasional  (NDC) yang kedua untuk Perjanjian Paris mengenai Perubahan Iklim. Endah Tri Kurniawaty, dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), sepakat mengenai perlunya peningkatan dana riset ekosistem ini dan menyatakan antusias dalam membantu menjamin pendanaan melalui pendekatan keuangan campuran.

Pada siang hari, para penyaji berbagi lebih banyak wawasan pada tiga elemen kunci implementasi proyek karbon biru: riset ilmiah; aspek kelembagan dan sosial; serta ekonomi, investasi, dan bisnis. Sejalan dengan pelaksana proyek lain, seperti Yayasan Hutan Biru, Wetland International, Yayasan Konservasi Alam Nusantara, dan perwakilan BRGM serta komunitas bisnis, CIFOR-ICRAF berbagi pengalaman dalam mengembangkan proyek di Sumatra Selatan, Jawa Timur dan Bali. Peserta juga mendengar informasi Yudi Amsoni, tokoh restorasi lokal dan Provinsi Bangka Belitung, Sumatra – dan nelayan yang bergantung pada hutan mangrove sekitarnya untuk pencaharian dan kebutuhan rumah tangga.

Komunitas sains – satu-satunya kelompok yang diberi kesempatan presentasi – menyajikan informasi terbaru mengenai kemajuan pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (Rizaldi Boer, IPB University), standar dan metodologi (Moritz von Unger, Silvestrum Climate Associate), perencanaan spasial (Sigit Sasmito, National University of Singapore), inventori rumput laut dan mangrove (Udhi Hernawan dan Virni Arifanti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Poin-poin yang kerap muncul sepanjang acara meliputi kondisi interdisiplin dan multisektor sektor karbon biru; langkanya kajian rumput laut dan perlunya riset lebih dalam; pentingnya mengatasi penyebab mendasar (pertanian dan akuakultur) deforestasi mangrove; dan sangat pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mendukung proyek karbon biru berkualitas tinggi.

Untuk informasi lebih, silakan hubungi Daniel Murdiyarso di d.murdiyarso@cifor-icraf.org.

Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.