Indonesia, sebagai salah satu negara pionir REDD+, saat ini sedang melaksanakan dua program pembayaran berbasis hasil di Kalimantan Timur dan Jambi. Program pertama melibatkan Perjanjian Pembelian Pengurangan Emisi (Emissions Reduction Purchase Agreement, ERPA) senilai US$ 110 juta dolar (Rp1,6 triliun), di mana Pemerintah Indonesia telah menerima US$20,9 juta (Rp320 miliar).
Perkembangan sistem pembayaran berbasis hasil telah membuat banyak pihak di tingkat global, nasional, dan subnasional memperhatikan dampak inisiatif seperti ini terhadap Masyarakat Adat (MA) dan masyarakat lokal, serta lingkungan yang mereka kelola.
“Di banyak tempat, lahan yang dikelola oleh masyarakat lokal atau masyarakat adat mengalami lebih sedikit deforestasi dan degradasi dibandingkan dengan lahan yang tidak mereka kelola. Tapi, pada saat bersamaan, ada elemen-elemen REDD+ yang dapat memberikan dampak negatif kepada komunitas ini,” jelas Robert Nasi, Chief Operating Officer Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), dalam sambutannya saat lokakarya multi-pihak mengenai interpretasi dan implementasi perlindungan REDD+ di Indonesia. Diselenggarakan pada 16 Mei 2023, lokakarya ini merupakan bagian dari Studi Komparatif Global tentang REDD+ (Global Comparative Study on REDD+, GCS REDD+) CIFOR-ICRAF).
Antara konsep dan praktik
Untuk mengatasi tantangan ini, Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) telah menganjurkan negara-negara REDD+ untuk melakukan perlindungan sosial dan lingkungan dalam kegiatan implementasi.
Perlindungan ini, jika berfokus mendukung Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas kepemilikan lahan, dapat mendukung hasil REDD+ yang lebih efektif, kata ilmuwan CIFOR-ICRAF, Juan Pablo Sarmiento Barletti.
“Apakah perlindungan tersebut berperan untuk mitigasi dampak, ‘tidak membahayakan’, atau ‘membuat lebih baik’?” katanya. “Mengingat bukti bagaimana praktik pengelolaan lingkungan oleh masyarakat di bawah sistem kepemilikan lahan dan sumber daya yang jelas dapat mendukung efektivitas REDD+, bagaimana kita dapat melihat dan mengatasi tantangan dalam memasukkan pemahaman tersebut ke dalam desain dan implementasi inisiatif dengan cara yang terbaik?”
Dalam konteks Indonesia, peneliti CIFOR-ICRAF, Nining Liswanti, membagikan temuan awal dari penelitiannya yang mengkaji implementasi perlindungan sosial REDD+ di Kalimantan Timur dan Jambi. Ia memuji pemerintah lokal dan pihak NGO atas koordinasi multi-pihak yang telah membentuk proses implementasi proyek di Kalimantan Timur sejauh ini – dan manfaatnya dalam implementasi di tingkat lokal. Proses koordinasi ini mendorong upaya Kalimantan Timur dalam mematuhi konsep perlindungan Bank Dunia.
Namun, Liswanti juga mencatat bahwa rotasi staf di tingkat pemerintah provinsi dapat menjadi kendala dalam pengembangan kapasitas yang diperlukan untuk melaksanakan dan memantau kepatuhan terhadap perlindungan. Wawancara yang dilakukannya dengan para aktor kunci REDD+ juga mengungkapkan bahwa mekanisme untuk mengatasi keluhan perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan upaya provinsi dengan sistem pemantauan nasional, serta memberikan bantuan teknis untuk memastikan masyarakat memahami cara mengakses dan menggunakannya. Dia juga menyoroti perlunya meningkatkan pengakuan hak-hak masyarakat, serta melibatkan ahli gender untuk mendukung kesetaraan gender yang melampaui partisipasi nominal – misalnya dengan memfasilitasi keterlibatan yang bermanfaat bagi perempuan dan pemuda, serta memastikan akses yang adil terhadap manfaat bagi perempuan.
Dalam presentasinya, Franky Zamzani, Wakil Direktur Pemantauan Tindakan Mitigasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, menyatakan bahwa kerangka kerja perlindungan harus dirancang agar mudah dipahami dan diimplementasikan. Ia menyoroti pentingnya proses PADIATAPA (persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan atau free, prior and informed consent, FPIC) serta menekankan perlunya sistem informasi yang transparan dan fleksibel untuk melacak implementasi perlindungan. Menurut Zamzani, implementasi perlindungan di Indonesia telah melebihi ketentuan Perlindungan Cancun, namun data saat ini masih terbatas pada Kalimantan Timur dan Jambi, dan harus diperbarui dengan data implementasi dari provinsi-provinsi lainnya.
Dari sudut pandang pemangku kepentingan Indonesia
Anggalia Putri dari MADANI Berkelanjutan – NGO dari Indonesia – berkomentar mengenai tantangan dalam memantau kepatuhan terhadap perlindungan. Ia mengatakan bahwa Alat Penilaian Implementasi Perlindungan masih membutuhkan komponen kualitatif untuk melakukan penilaian yang lebih dari sekadar “checklist”, ia juga menyoroti perlunya peningkatan implementasi PADIATAPA, dengan panduan yang jelas namun adaptif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan budaya masyarakat.
Memberikan perspektif dari tingkat nasional, Niken Sakuntaladewi – dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia – menjelaskan bahwa diperlukan waktu untuk memahami dan mengimplementasikan perlindungan REDD+. Ia juga mencatat tingginya biaya implementasi, termasuk untuk pengembangan pedoman dan proses PADIATAPA. Citra Siagian – seorang analis pembangunan sosial di Bank Dunia – juga membagikan tantangan implementasi, seperti biaya penerapan perlindungan di daerah-daerah terpencil yang merupakan sebagian besar wilayah Kalimantan.
Dokumentasi juga menjadi tantangan yang signifikan. Bambang Trisasongko Adi, penasihat senior di Konsultan Lingkungan Hatfield Indonesia, mengatakan bahwa masih sulit untuk mendapatkan informasi dengan cara yang dimengerti oleh masyarakat, namun memenuhi kebutuhan donor dan pemerintah.
Peserta juga mengusulkan adanya penegasan komitmen terhadap perlindungan. Gamma Galudra dari The Center for People and Forests (RECOFTC) mencatat bahwa perlindungan sosial di Indonesia sebagian besar berfokus pada mitigasi risiko daripada ‘melakukan yang lebih baik’, yang membutuhkan pengakuan dan penghormatan yang lebih baik terhadap hak-hak masyarakat.
Menutup lokakarya, Moira Moeliono, senior sssociate CIFOR-ICRAF, mengingatkan peserta bahwa perlindungan harus dijadikan bagian dari setiap strategi implementasi dan dalam setiap strategi implementasi dan harus berfokus pada hasil, karena “niat baik tidak selalu menghasilkan hasil yang baik.” Seiring dengan perkembangan proyek dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak mereka, diskusi seperti ini perlu berjalan beriringan, demikian menurut pengamatan beliau.
Penelitian ini merupakan bagian dari Studi Komparatif Global tentang REDD+ yang dilakukan oleh CIFOR-ICRAF (www.cifor-icraf.org/gcs). Mitra pendanaan yang telah mendukung penelitian ini termasuk Norwegian Agency for Development Cooperation, International Climate Initiative (IKI) of the German Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, and Nuclear Safety, CGIAR Research Program on Forests, Trees and Agroforestry (CRP-FTA), dengan dukungan finansial dari Donatur Dana CGIAR. Artikel ini dan lembaran informasi terkait disponsori oleh program Gender, Keadilan, dan Kesejahteraan (Gender, Equity, and Wellbeing, GEW) di CIFOR-ICRAF.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai topik ini, silakan hubungi Nining Liswanti melalui email n.liswanti@cifor-icraf.org
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.