Sejak didirikan, mekanisme Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC-the United Nations Framework Convention on Climate Change) untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) mendapat banyak kritik karena potensi dampaknya terhadap hak-hak dan prioritas Masyarakat Adat (MA, IPs-Indigenous Peoples) dan komunitas lokal (KL, LCs-local communities). Untuk menjawab permasalahan tersebut, pada Pertemuan para Pihak ke-16 (COP 16) di Cancun, Meksiko disepakati tujuh prinsip jaring pengaman.
Jaring pengaman Cancun bertujuan untuk memitigasi potensi dampak di lapangan, namun selain itu juga untuk meningkatkan dampak positif dari intervensi REDD+. Sebagai bagian dari Studi Perbandingan Global untuk REDD+ (CIFOR’s Global Comparative Study on REDD+) kami meneliti rancangan dan implementasi jaring pengaman yang ada, dengan fokus pada potensi yang mendukung hak-hak MA dan KL.
Menurut panduan UNFCCC, negara-negara anggota dapat menginterpretasikannya berdasarkan prioritas-prioritas peraturan nasional dan kebijakan mereka untuk memutuskan. Misalnya, apa yang mereka anggap sebagai “penghormatan” atau “partisipasi”. Baik rancangan maupun pengoperasian jaring pengaman tersebut amat beragam di setiap negara. Keberagaman ini didasarkan pada perbedaan interpretasi secara legal, ketaatan pada kesepakatan internasional terkait MA dan KL, dan prioritas politik dan ekonomi masing-masing.
Dalam konteks dan tingkat kepentingan MA dan KL untuk mencapai tujuan iklim dan keanekaragaman hayati (kehati) global, amat perlu dilakukan penelitian mengenai negara-negara dan implementasi jaring pengaman. Kami baru saja menerbitkan selebaran berisi Analisa tingkat dukungan terhadap hak-hak MA dan KL yang terdapat pada kerangka hukum dan kebijakan di Indonesia, Peru, dan Republik Demokratik Kongo.
Analisa yang dilakukan bertujuan untuk memahami apakah jaring pengaman bisa menjamin inisiatif-inisiatif dilakukan dengan mematok tujuan yang lebih tinggi dari sekedar “tidak membahayakan” dan sebaliknya dirancang untuk “melakukan dengan cara lebih baik” dengan mendukung pengakuan serta penghormatan pada MA dan KL.
Kami membandingkan dan melakukan sintesa hasil-hasil yang dipublikasikan dalam selebaran tersebut untuk tiap negara-tiga dari empat negara dengan tutupan hutan tropis tertinggi-untuk menjadi pembelajaran tentang pendekatan REDD+ yang bermanfaat bagi hutan dan kaum perempuan serta kaum laki-laki penjaga hutan.
Tantangan untuk “melakukan dengan cara yang lebih baik”
Dari hasil penelitian terungkap bahwa dibutuhkan upaya lebih untuk “melakukan dengan cara yang lebih baik” yaitu dengan mempercepat perubahan positif pada dua hal yaitu kesejahteraan komunitas yang hidupnya bergantung dari hasil hutan dan dalam relasi antara negara sebagai pelaksana tugas dan komunitas-komunitas sebagai pemegang hak.
Di Indonesia, meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam pengembangan perangkat guna mendukung implementasi REDD+ termasuk adanya Jaring Pengaman Sistem Informasi, namun penting untuk dicermati bagaimana kerangka kerja terkait hak-hak komunitas diterjemahkan dalam praktik, dan bagaimana hal itu bisa menjawab tantangan dari aspek politik serta kepentingan berbagai pihak terhadap hutan dan pemanfaatan lahan.
Di Peru, pengakuan MA secara legal didasarkan pada berbagai norma hukum; meski demikian, pengakuan hak-hak atas lahan dan sumber daya hanya diberikan sebagian. Hal ini menumbuhkan rasa tidak aman dalam konteks tekanan berat terhadap lahan mereka. Negara tersebut baru-baru ini mengeluarkan Modul Informasi Jaring Pengaman, namun Peru masih perlu mengembangkan peta jalan untuk mengintegrasikan kontribusi dan berbagai pandangan dari organisasi-organisasi perwakilan MA.
Di Republik Demokratik Kongo, diterbitkannya the Law on the Promotion and Protection of the Rights of the Indigenous Peoples untuk peningkatan dan perlindungan atas hak-hak MA dan berlangsungnya proses reformasi lahan (land reform) telah membawa kemajuan signifikan pada hak-hak atas tanah. Namun demikian, reformasi ini perlu dilengkapi dan diintegrasikan ke dalam sistem hukum. Sebagai tambahan, implementasi dan pemantauan jaring pengaman REDD+ sebagai garis besar dari Kontribusi yang Ditetapkan secara National (NDC-Nationally Determined Contribution) harus melibatkan perempuan dan pria dari MA dan KL, mengakui dan menghormati hak-hak, pengetahuan, dan partisipasi mereka.
Pembelajaran
Pendekatan-pendekatan jaring pengaman REDD+ nasional di ketiga negara ini masih dalam tahap percontohan, dan masih bisa membuat reformasi-reformasi untuk mendukung perluasan dan perlindungan yang efektif terhadap hal-hak MA dan KL.
Analisa perbandingan yang kami lakukan menawarkan tiga pembelajaran untuk maju guna mencapai tujuan:
- Butuh diskusi lebih dalam di UNFCCC untuk menetapkan apakah jaring pengaman harus memenuhi ketetapam minimum “tidak membahayakan”-yang berimplikasi memperpanjang status quo (sebab negara-negara ini tidak harus mengubah peraturan hukum-hukum mereka, sementara mereka menginterpretasikan jaring pengaman ini sesuai kerangka hukum mereka)-, sebaliknya, mendukung jalur transformatif dengan “melakukan dengan cara yang lebih baik”. Hal ini membutuhkan penjabaran ambisi yang lebih jelas dan transparan dan penyediaan panduan yang lebih jelas dan transparan dan menyediakan panduan yang jelas serta syarat-syarat yang lebih ketat untuk mengarahkan negara-negara pengimplementasi REDD+.
- Kemajuan menuju “melakukan dengan lebih baik” membutuhkan upaya lebih besar, dimulai dengan menegaskan kembali bahwa negara-negara REDD+ adalah sebagai pelaksana tugas dan komunitas yang bergantung pada hutan sebagai pemegang hak-hak, memastikan kapasitas dan mekanisme agar pelaksana tugas akuntabel, juga melakukan mekanisme secara transparan dan ketat untuk memantau jaring pengaman dan distribusi pembayaran berbasis hasil yang adil.
- Kepatuhan negara REDD+ pada jaring pengaman harus didukung dengan pemantauan yang independent untuk memastikan bahwa jaring pengaman bukan hanya menjadi formalitas, namun terlebih diimplementasikan-pada setidaknya-untuk melindungi dan menghormati hak-hak MA dan KL.
Dengan adanya pengakuan terhadap peran pria dan wanita MA dan KL di negara-negara Selatan sebagai penjaga hutan di mana REDD+ diimplementasikan, maka pendekatan jaring pengaman adalah bahwa dukungan pada pengakuan dan penghormatan hak-hak mereka akan berlangsung secara transformatif dalam pengertian keadilan, dan akan selalu mendukung pencapaian tujuan-tujuan REDD+.
Untuk informasi lebih lanjut tentang topik ini silakan menghubungi Juan Pablo Sarmiento Barletti pada j.sarmiento@cifor-icraf.org atau Tamara Lasheras pada t.lasheras@cifor-icraf.org.
Penelitian ini adalah bagian dari Global Comparative Study on REDD+ (www.cifor.org/gcs) CIFOR. Mitra-mitra pendanaan yang mendukung penelitian ini di antaranya adalah the Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad), International Climate Initiative (IKI) of the German Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation and Nuclear Safety (BMU), United States Agency for International Development (USAID), dan CGIAR Research Program on Forests, Trees and Agroforestry (CRP-FTA), dengan dukungan finansial dari donor-donor pendukung CGIAR Fund.
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.