Kesinambungan penurunan deforestasi di Indonesia dalam membantu menghadapi perubahan iklim membutuhkan konsistensi perpaduan pendekatan kebijakan dan implementasi berbasis pemahaman kuat mengenai konteks lokal serta kepentingan dari beragam pemangku kepentingan.
Hal ini merupakan pesan utama dari sesi dialog sains dan kebijakan yang mengkaji pendekatan untuk memahami deforestasi, kebutuhan masyarakat lokal, penghidupan berkelanjutan, dan peran pertanian dalam implementasi kebijakan melalui program Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+).
Pertaruhannya tinggi: pengukuran harus dapat membantu mitigasi perubahan iklim, kata Budi Haryanto, Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCC-UI), dalam sambutan pembukaan sesi Memasukkan Konteks Lokal dalam Implementasi Kebijakan REDD+ yang digelar pada 14 Desember 2022.
“Kita berharap diskusi hari ini akan mendukung pemajuan ilmu pengetahuan dan kebijakan di bidang kehutanan dan pembangunan, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada tingkat lokal, nasional global,” kata Haryanto. RCCC-UI bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) serta para mitra, melakukan Studi Komparatif Global REDD+ (GCS REDD+).
Sesi dialog ini merupakan bagian dari seri kegiatan Tahap 4 GCS-REDD+, yang bertujuan menyelaraskan penelitian dengan kebutuhan, kebijakan dan target tingkat negara dengan memperhatikan mitigasi iklim berbasis hutan serta berbagi pengetahuan mengenai pola deforestasi dan penelitian evaluasi dampak REDD+ dari negara GCS REDD+, termasuk Indonesia.
Laporan laju deforestasi tahunan terendah dalam beberapa dekade – 100.000 hektare (ha) pada 2019-2020, atau 75% lebih rendah dari laporan tingkat deforestasi 2018-2019, sebesar 462.460 ha – merupakan pencapaian besar bagi Indonesia. Akan tetapi, untuk melanjutkan tren penurunan ini, perlu diterapkan diagnosa hati-hati terhadap penyebab utama deforestasi, seperti hutan tanaman, sangat penting, kata peserta.
Diskusi dibagi dalam dua tema: pertama, para peneliti merinci metode yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengidentifikasi berbagai konteks deforestasi di Indonesia. Studi menerapkan analisis baru dari data satelit, serta identifikasi berbagai pola dan pemicu deforestasi di Indonesia. Tema kedua berfokus pada kemajuan dalam studi evaluasi dampak dan mengidentifikasi kebijakan terkait hutan.
Kebijakan di luar sektor kehutanan juga harus didiagnosa relevansinya terhadap deforestasi, karena sejumlah faktor menunjukkan bahwa perlu adanya sejumlah solusi, kata Yosi Amelia, dari Yayasan Madani Berkelanjutan.
“Terdapat banyak sektor yang menyebabkan deforestasi, banyak gejala, jadi bagaimana kita bisa mendapatkan diagnosis yang tepat?” ujarnya.
Sektor pertambangan Indonesia, misalnya, menjadi faktor signifikan dalam deforestasi dan oleh karena itu perlu diukur, lanjut Amelia. Jalan dan sungai yang membuka akses ke suatu daerah dapat menjadi faktor positif maupun negatif – dalam deforestasi, memunculkan banyak pertanyaan mengenai kebijakan yang paling tepat dalam konteks tertentu.
“Dalam konteks Indonesia, kebijakan lahan hutan bergantung pada kebijakan lain, di sektor energi dan di sektor pertanian – terutama sektor yang terintegrasi dengan kebutuhan lahan – jadi bagaimana kita melihat elemen-elemen ini?”
Mendiagnosa deforestasi
Kesimpulan awal menunjukan bahwa sejumlah garis depan deforestasi persisten, termasuk lahan dengan kesesuaian pertanian yang tinggi. Dalam mendiagnosa deforestasi, analisis lebih lanjut harus mencakup tutupan lahan pasca hutan, kepemilikan lahan, jalan, dan seluruh penggunaannya, tutur Arild Angelsen, peneliti dari Universitas Ilmu Hayati Norwegia (NMBU).
Diagnosa deforestasi adalah metode yang digunakan untuk memahami kebijakan yang berpotensi memberikan hasil konservasi terbaik pada lokasi tertentu – pada dasarnya, mengembangkan pola dasar deforestasi. Alat ini memungkinkan praktisi menemukan jalan tengah antara generalisasi dan banyaknya studi kasus khusus, ujarnya.
Pola dasar deforestasi di Indonesia mencakup atribut bentang alam seperti, tutupan hutan, perubahan tutupan hutan; penyebab perubahan, termasuk penggunaan lahan pasca hutan, faktor risiko; dan tata kelola, termasuk tenurial. Motivasi utama untuk pola dasar ini termasuk kurangnya pengetahuan sistematis terkait dengan penyebab deforestasi dan dampak kebijakan; kebutuhan cara yang sistematis untuk memilih opsi kebijakan yang ada; dan memanfaatkan stok pengetahuan CIFOR secara optimal.
Pengaruh konteks pada kebijakan dan tindakan hutan juga harus didefinisikan dan dipelajari, kata Colas Chervier, Ilmuwan CIRAD, Pusat Penelitian Pertanian Prancis untuk Pembangunan Internasional. Timnya telah mengklasifikasikan kebijakan serta intervensi yang relevan berdasarkan implementasi kebijakan dan tindakan kehutanan; aktivasi mekanisme psikologis dari tindakan dan kebijakan hutan; perubahan jangka pendek perilaku target pemangku kepentingan; penyebab mitigasi deforestasi; penurunan deforestasi dan degradasi hutan.
Langkah selanjutnya yaitu menerapkan pemahaman lebih mendalam mengenai kebijakan dan tindakan yang lebih efektif dalam konteks tersebut, kata Chervier. Bisa jadi seperti ‘wortel’, kompensasi untuk menghargai perilaku tertentu, dan ‘tongkat’, sanksi jika kawasan lindung dilanggar. Kebijakan atau perpaduan kebijakan apa saja yang dapat memengaruhi perilaku di lapangan perlu dipahami untuk mengurangi deforestasi, katanya.
Dialog dengan para pemangku kepentingan saat REDD+ berlangsung sangat penting untuk menentukan bentuk masa depan REDD+, kata Daniel Murdiyarso, Ilmuwan Utama CIFOR-ICRAF. Elemen lain pembentuk masa depan adalah penyerapan bersih dari Hutan dan Penggunaan Lahan Lainnya (FOLU) 2030, penetapan harga karbon, dan pajak karbon. ‘3E’, efisiensi, efektivitas, dan keseimbangan harus ditekankan sekarang, katanya.
Pendekatan deforestasi dari sisi permintaan global, dan tidak hanya dari sisi pasokan juga harus dipertimbangkan, kata salah satu peserta. Perekonomian Indonesia masih bergantung pada sumber daya alam. Sampai perekonomian Indonesia bisa menjadi lebih efisien dengan mengurangi ketergantungan pada sumber daya, permintaan global harus dianggap sebagai faktor serius dalam deforestasi.
Selama 50 tahun terakhir, ekstraksi sumber daya alam telah mendorong tingginya laju deforestasi, yang dapat diubah melalui pendekatan seperti mengintegrasikan tindakan deforestasi ke dalam perencanaan lokal, dan memperkuat kapasitas teknis lembaga, kata Daddy Ruhiyat, Ketua Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kalimantan Timur.
Berbagi manfaat
Mekanisme pembagian manfaat dan kondisi pendorong untuk memastikan kebijakan bekerja secara efektif juga harus diterapkan, kata Ruhiyat. Konsultasi harus melibatkan pemangku kepentingan dari pemerintah pusat dan kota hingga bisnis dan komunitas lokal, termasuk masyarakat adat.
“Semua yang berkaitan dengan hak masyarakat merupakan hal penting yang perlu dievaluasi,” kata Ruhiyat.
Menerapkan metode evaluasi dampak yang tepat menjadi penting untuk memahami nilai dan jangkauan intervensi, kata Chervier, seraya menekankan perlunya menilai hasil yang mungkin terjadi tanpa intervensi.
Sepdinal, Kepala Unit Manajemen Proyek Subnasional dari Dana Inisiatif BioKarbon untuk Bentang Alam Hutan Berkelanjutan (BioCF-ISFL) di Provinsi Jambi, menekankan perlunya basis data yang kuat untuk memastikan bahwa hasil diukur dan dipahami dengan baik. Hal ini termasuk mempertanyakan tanggal dimulainya kegiatan sebagai patokan, intervensi yang dipelajari, mata pencaharian, dan bagaimana hal ini dipengaruhi oleh jarak dan akses ke pasar.
Transisi menuju produksi pertanian berkelanjutan dan menguntungkan juga harus didorong, kata Sandy Nofyanza, Konsultan Penelitian CIFOR-ICRAF, saat diskusi beralih ke bagian pertanian dan mendukung resiliensi mata pencaharian. Transisi itu dapat melibatkan dukungan untuk akses masyarakat menuju hutan, agar dapat meningkatkan keberlanjutan mata pencaharian seraya melindungi hutan.
Masyarakat adat dan lokal, misalnya, dapat “melapisi” pendapatan mereka berdasarkan akses menuju hutan, memanen jahe, pala, kayu gelondongan untuk rumah, di samping hasil pertanian seperti beras dan buah-buahan musiman, kata Amelia.
Berbagi informasi dengan petani tentang bagaimana mereka dapat menyesuaikan diri dengan kebijakan di luar REDD+, termasuk peluang untuk bekerja dengan produsen bersertifikat, akan sangat berharga dan membantu mereka belajar tentang akses pasar dengan persyaratan keberlanjutan, seperti karet, kakao, dan kelapa sawit, kata salah satu peserta. Memahami pembagian keuntungan juga merupakan tantangan besar, karena informasi tidak mudah diakses oleh petani dan masyarakat lokal.
Ini semua menggarisbawahi kompleksitas REDD, dengan fakta bahwa tidak ada pendekatan seragam dalam implementasi, juga tidak mudah untuk memahami dampaknya, kata Moira Moeliono, Mitra Senior CIFOR-ICRAF yang menjadi moderator diskusi kedua.
______
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi Bimo Dwisatrio (b.dwisatrio@cifor-icraf.org)
____
Penelitian ini merupakan bagian dari Studi Komparatif Global CIFOR mengani REDD+ (www.cifor.org/gcs). Mitra pendanaan yang telah mendukung penelitian ini yaitu Badan Kerjasama Pembangunan Norwegia (Norad), Inisiatif Iklim Internasional (IKI) dari Kementerian Federal Jerman untuk Lingkungan, Konservasi Alam, dan Keselamatan Nuklir (BMU), serta Program Penelitian CGIAR tentang Hutan, Pohon dan Agroforestri (CRP-FTA) dengan dukungan dana dari Dana Donor CGIAR.
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.