Opinion

Mengatasi Lima Tantangan Global yang Membentuk Masa Depan Kita

Kepala Ilmuwan CIFOR-ICRAF, Fergus Sinclair melaporkan apa yang terjadi ketika beliau mengundang lima pakar global untuk berdiskusi mengenai tantangan utama yang dihadapi umat manusia
, Wednesday, 13 Jul 2022
Peserta CIFOR-ICRAF Science Week 2022 di Nairobi, Kenya. Foto oleh: CIFOR-ICRAF

Saat komunitas internasional tengah menengadah di atas kekacauan yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19 dan mengarahkan pandangannya terhadap tindakan kritikal global untuk dekade mendatang, Pusat Penelitian Kehutanan Dunia dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) mulai fokus pada lima tantangan utama yang dihadapi umat manusia.

Tantangan ini adalah: deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati; kerusakan sistem pangan (termasuk lahan terdegradasi dan sumber air); perubahan iklim; ketidaksetaraan; dan rantai pasokan dan nilai yang tidak berkelanjutan.

Lima tantangan ini menjadi sorotan pada Pekan Sains (Science Week) CIFOR-ICRAF 2022 yang berlangsung pada 6-10 Juni 2022, konferensi internasional yang diadakan secara hybrid (virtual dan offline) yang dihadiri oleh lebih dari 500 ilmuwan dari seluruh dunia.

Perhatian terhadap lima tantangan global sangat diperlukan saat ini.

Harga bahan pangan yang terus meningkat; konflik yang mengganggu rantai nilai; pemimpin bisnis yang dituduh melakukan greenwashing atau pencitraan penghijauan palsu; dan peristiwa cuaca ekstrem yang merugikan banyak orang, rumah dan juga mata pencaharian.

Isu-isu ini saling berkaitan dan membutuhkan respons yang sistemik.

Pada pembukaan sesi konferensi, yang diadakan di Pusat ICRAF di Nairobi, Kenya, yang juga diikuti secara virtual oleh ilmuwan dari Pusat CIFOR di Bogor, Indonesia, dan juga negara lain di dunia, lima pakar memberikan pandangan mereka terhadap isu-isu tersebut.

Pertama, Jennifer Clapp, Ketua Penelitian Ketahanan dan Keberlanjutan Pangan Global (Global Food Security and Sustainability) dan Profesor di Fakultas Lingkungan, Sumber Daya dan Berkelanjutan di Universitas Waterloo Kanada, menyampaikan wacana transformasi sistem pangan dunia.

“Sistem pangan, sebagaimana metode pengelolaannya saat ini, jelas hancur,” kata Clapp, “Bagaimanapun kita saat ini berada di tengah krisis pangan dunia, perang di Ukraina yang menganggu pasokan makanan, pupuk, dan energi. Tetapi, jauh sebelum itu, sistem pangan telah menghadapi tantangan yang serius: lebih dari 800 juta orang mengalami kekurangan gizi kronis, dan jumlahnya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir; hampir 2,4 miliar jiwa menghadapi kerawanan pangan sedang atau berat; dan hampir 2 miliar orang dewasa mengalami kelebihan gizi.

Clapp juga menyampaikan beberapa isu lainnya, seperti meluasnya kekurangan zat gizi mikro; kualitas lingkungan pangan yang tidak merata; masalah mata pencaharian dalam sistem pangan saat ini; ketidakmerataan kemampuan distribusi di antara para pelaku rantai pasokan; dan sistem yang berpengaruh pada bumi,  yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dan kerentanan terhadap perubahan iklim.

Ia juga menambahkan beberapa kebijakan yang diperlukan untuk memperbaiki situasi ini, seperti memusatkan hak asasi manusia atas pangan; menyampaikan kebijakan dalam pendekatan sistem pangan; dan memperluas pemahaman kita akan ketahanan pangan untuk mengikutsertakan isu-isu seperti lembaga dan keberlanjutan. “Gebrakan dalam transformasi sistem pangan sangat diperlukan,” ujar Clapp, “Pergeseran kebijakan penting diperlukan untuk mendukung keberlanjutan sistem pangan dan meningkatkan prospek untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).”

Menjawab pertanyaan, rekan beliau Bernard Lehman, saat ini menjabat sebagai Ketua Komite Ketahanan Pangan Dunia, Panel Pakar Tingkat Tinggi (Committee on World Food Security, High Level Panel of Experts) –  sementara Jennifer menjabat sebagai wakil ketua) menyatakan pentingnya partisipasi masyarakat sipil dalam menempatkan agen dan keberlanjutan di panggung utama untuk mengatasi ketahanan pangan.

Di sini “agen” mengacu kepada kemampuan seseorang untuk menyadari preferensi mereka tentang bagaimana makanan diproduksi, diproses, dikirim, dan dikonsumsi, pada dasarnya, memahami mana sistem pangan yang demokratis atau tidak.

Profesor Cheikh Mbow, Direktur Jenderal Centre de Suivi Ecologique – Pusat Pemantauan Ekologi terkemuka di Afrika Barat yang mendalami penerapan geoinformatika untuk kelestarian lingkungan – menekankan poin yang sama dengan membagikan sudut pandang Afrika dalam ketahanan pangan di tengah perubahan iklim.

Beliau menegaskan urgensi untuk mengatasi ketahanan pangan agar bisa “kembali dari ambang” krisis besar.

“Kita perlu segera bertindak,” kata beliau, “Ruang untuk bertindak semakin sempit dan target pencapaian 2030 sudah dekat, jadi kita perlu bertindak sekarang.”

Mbow menjelaskan lebih lanjut mengenai keuntungan diversifikasi tanaman di Afrika, termasuk budi daya tanaman dan varietas tradisional secara luas, dan perluasan sistem wanatani untuk meningkatkan produktivitas dan ketahanan yang lebih baik daripada mengandalkan peningkatan jumlah input pertanian, seperti pestisida dan pupuk.

Pelestarian keanekaragaman hayati akan menjadi kunci untuk memastikan sistem pangan global berfungsi untuk masa depan dan ini adalah tantangan yang disampaikan oleh Profesor Andy Purvis dari Natural History Museum London. Purvis berbicara secara gamblang mengenai pengamatannya.

“Kita kehilangan keanekaragaman hayati,” kata Purvis, “Menurut penilaian global [Platform Kebijakan-Ilmu Antarpemerintah tentang Layanan Keanekaragaman hayati dan Ekosistem], kami memperkirakan saat ini ada satu juta spesies hewan dan tanaman yang akan punah. Dalam 500 tahun terakhir, 700 vertebrata dan 500 tanaman telah punah, tetapi angka tersebut tidak sebanding dengan apa yang akan terjadi, kecuali jika ada perubahan. Tapi masalah ini bukan hanya, atau terbatas tentang spesies yang punah dan terancam punah.”

Menyadari hal ini, dunia harus mulai berkonsentransi dalam melindungi area hotspot untuk mencegah kepunahan spesies, yaitu daerah yang memiliki endemisme tinggi, yang berarti rumah untuk banyak spesies yang tidak dapat ditemukan di tempat lain.

“Dari sudut pandang kesejahteraan manusia,” beliau berkata, “Kita bergantung pada ekosistem yang berfungsi dan keanekaragaman hayati diperlukan agar ekosistem bisa berfungsi, di mana indeks keanekaragaman hayati yang mengukur presentasenya masih tersisa dan relevan.”

Purvis juga menekankan pentingnya untuk mempunyai beragam target keanekaragaman hayati, untuk spesies, ekosistem, gen, dan jasa ekosistem, yang ditetapkan dalam skala berbeda.

“Tidak ada satu target yang dapat melindungi seluruh keanekaragaman hayati,” tambah Purvis, “Kita memerlukan berbagai target ambisius yang berkesinambungan dan koheren.”

Satu tindakan yang menangani berbagai tujuan keanakeragaman hayati dan, pada saat bersamaan, fokus untuk melindungi kawasan yang kaya dengan spesies dengan tingkat endemisme dan penyimpanan karbon tinggi, yang kebanyakan adalah hutan.

Sangat penting dan bijakasana untuk kita mulai melakukannya sekarang, karena harga yang dikeluarkan akan lebih besar jika kita menundanya. Sebagai contoh, menarik kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang akan segera ia terbitkan dengan rekannya Adriana de Palma, beliau menjelaskan “menunda aksi deforestasi selama satu dekade akan meningkatkan kebutuhan restorasi hutan hingga hampir 70% dan membutuhkan biaya dua kali lipat lebih besar untuk mencapai target keanekaragaman hayati pada 2050.”

Kenyataan pahitnya adalah “kita tidak dapat mengalami penurunan selama satu dekade lagi,” tambah beliau.

Ahli ekologi Ranil Senanayake, yang menjalankan Yayasan Restorasi Bumi (Earth Restoration Foundation) selanjutnya berbicara mengenai kegiatan beliau dalam membantu mendanai dan mendorong restorasi dengan menciptakan rantai value yang lebih hijau.

LifeForce, biocurrency baru Yayasan,  mengukur eksternalitas positif dari tindakan penghijauan, seperti penanaman pohon, yang memberikan banyak manfaat tanpa biaya, seperti menangkap energi matahari, membersihkan air tanah, operasi pendinginan suhu, produksi oksigen, dan mendapatkan karbon.

“Pada dasarnya, yang kami lakukan adalah bekerja dengan petani untuk membantu mereka melewati masa sulit ketika menunggu pohon tumbuh, sehingga mereka dapat menerima insentif untuk merawat pohon tersebut selama periode ini,” jelas Senanayake.

Senanayake juga menyatakan harapannya untuk memperluas proyek ini untuk mengukur pelestarian dan pemulihan tanah dan biomassa hidup secara lebih umum.

Selama sesi berlangsung, para pembicara juga menyampaikan ketidakmerataan cara di mana kriris lingkungan, ekonomi dan sosial berdampak ke setiap anggota komunitas global.

Pada presentasi terakhir, Susan Kaaria dari Wanita Afrika dalam Penelitian dan Pengembangan Pertanian (African Women in Agricultural Research and Development) menggarisbawahi ketidaksetaraan gender dalam bidang keahliannya. Kaaria menyampaikan kesetidaktaraan gender terjadi dari level akar rumput, dalam hal nutrisi dan akses ke sumber daya produktif, servis dan layanan, hingga di level atas sebuah organisasi, termasuk CIFOR-ICRAF. Ia menawarkan beberapa poin intervensi, seperti memastikan bahwa suara dan partisipasi perempuan terpusat dalam pembentukan kebijakan di level komunitas; mendorong kebijakan yang mengedepankan hak dan akses yang setara dan juga reponsif terhadap gender; dan memastikan bahwa institusi nasional memiliki mekanisme yang tepat untuk mendukung transformasi ini.

Salah satu elemen penting yang muncul dalam diskusi ini adalah konflik nyata dalam operasi pada skala global dan lokal. Jelas, tindakan lokal diperlukan untuk menghasilkan dampak global, tetapi, beberapa negara maju sering mengalihdayakan dampaknya ke negara berkembang dengan mengimpor sebagian besar makanan dan kayu mereka, oleh karena itu pemahaman global penting untuk mencapai kebijakan yang adil dan membiayai tindakan untuk mengatasi tantangan global.

Pengoperasian di seluruh skala diperlukan dengan memperhatikan solusi spesifik dan konteks yang dapat berkontribusi untuk mengatasi tantangan global sambil memenuhi kesejahteraan masyarakat lokal.

Dalam pidato penutupannya, Robert Nasi, Direktur Pelaksana CIFOR-ICRAF mengatakan, “Ini waktunya untuk maju dari fokus kita dalam apa yang harus dilakukan – yang telah kita pahami – menjadi bagaimana cara melakukannya”, yang menjadi alasan mengapa strategi CIFOR-ICRAF dibuat sejalan dengan pengembangan solusi yang dapat ditindaklanjuti.

Sesi pembukaan yang berbobot ini membuka jalan untuk minggu perdebatan mendalam mengenai penelitian terbaru CIFOR-ICRAF, dalam hal sejauh mana penelitian tersebut memberikan solusi untuk menjawab tantangan global.

For more information on this topic, please contact Fergus Sinclair at f.sinclair@cgiar.org.
Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.