Menunggu Akhir Deforestasi: Korporasi Perlu Turut Mendukung

Belum ada langkah yang sepadan dalam menghadapi risiko, tulis laporan Hutan 500
, Friday, 4 Feb 2022
Penanaman jenis akasia dekat Desa Moussa, Yangambi, Republik Demokratik Kongo. Foto oleh: Axel Fassio/CIFOR

Menjelang akhir tahun lalu, tampaknya ‘seluruh sistem siap bergerak’ untuk tujuan global mengakhiri deforestasi. Baik pemerintah maupun pelaku usaha tampaknya sudah mulai mengenali peran sentral ekosistem hutan dalam memerangi perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Pakta baru para pemimpin dunia terkait hutan dan pemanfaatan lahan – yang mencakup 90 persen hutan yang berkontribusi pada seperempat komoditas perdagangan global yang memiliki risiko terhadap hutan – disepakati pada pembicaraan iklim COP26 di Glasglow, termasuk janji pemerintah dan perusahaan dengan total 19 miliar dolar AS.

Perusahaan perdagangan dan lembaga keuangan dengan aset hampir 9 triliun dolar AS juga ikut serta, sementara komitmen tambahan 1,7 miliar dolar AS dijanjikan untuk mendukung kepemimpinan dan hak tenurial masyarakat adat.

Akan tetapi, sepertiga dari 350 perusahaan dan hampir dua pertiga lembaga keuangan yang disurvei, masih belum memiliki kebijakan atau komitmen deforestasi, tulis Global Canopy dalam peringkat tahunan Forest 500 kedelapan.

“Perusahaan di balik perdagangan ini disuntik dana 5,5 triliun dolar AS – dua kali produk domestik bruto Inggris – dalam bentuk pinjaman dan investasi oleh lembaga keuangan yang tidak mengambil langkah memadai untuk mengatasi risiko yang ditimbulkannya,” tulis Sarah Draper, manajer program kinerja perusahaan lembaga non-pemerintah.

Ia menambahkan, “Meski bank seperti Barclays, HSBC dan JP Morgan memiliki aturan deforestasi mandiri, mereka masih memberi modal pada perusahan yang belum memiliki kebijakan apapun. Lembaga-lembaga tersebut tidak melaporkan keterlibatan mereka dengan perusahaan-perusahaan ini, jadi kami tidak dapat memastikan mereka menerapkan seluruh komitmen deforestasinya.”

Sebanyak 93 lembaga keuangan tanpa kebijakan deforestasi memberikan dana sebesar 2.6 triliun dolar AS kepada perusahaan yang memiliki risiko deforestasi tinggi, tulis laporan Kanopi Global.

Temuan ini menegaskan bahwa sistem perdagangan internasional – yang terus menghambat upaya mengubah skenario bisnis biasa  harus dirancang ulang

SECERCAH HARAPAN

Sejalan dengan meningkatnya jumlah tindakan dan komitmen – meskipun jauh dari cukup – muncul sinyal samar dari ruang rapat perusahaan.

Surat Larry Fink kepada para CEO  menuliskan, “perusahaan sedang menyesuaikan bisnis mereka untuk perubahan besar dalam perekonomian,” menekankan bahwa bukan basa-basi yang harus dibayar pada lingkungan.

Sebagai direktur pengelola aset terbesar di dunia, BlacRock ia menulis, perusahaannya fokus pada keberlanjutan “bukan karena kami pecinta lingkungan, tetapi karena kami kapitalis dan fidusia bagi klien kami.”

Ia mensyaratkan perusahaan yang diinvestasi oleh BlackRock, menetapkan target jangka pendek, menengah, dan panjang untuk mengurangi gas rumah kaca. Menurutnya, hal ini penting untuk kepentingan ekonomi jangka panjang pemegang saham, dan menekankan pentingnya kapasitas adaptasi perusahaan terhadap risiko iklim.

CEO investor besar Inggris, Mark Versey dari Aviva Investors, dalam sepucuk surat kepada 1.500 perusahaan di 30 negara, menuliskan bahwa bonus untuk eksekutif perusahaan harus mencerminkan pencapaian target keberlanjutan, dan hak asasi manusia. Dewan Direksi harus turut bertanggung jawab jika tidak terlaksana, dan semua perusahaan akan diminta untuk mengembangkan rencana transisi iklim, demikian menurut laporan.

Selain itu, sejumlah inisiatif kebijakan baru pemerintah yang saat ini sedang dibahas mungkin bisa menandakan tren positif.

Inggris saat ini sedang mempertimbangkan undang-undang baru  untuk melarang bisnis besar memperdagangkan komoditas yang berkaitan dengan hilangnya hutan skala besar seperti cokelat, daging sapi, kedelai, kopi, jagung, dan minyak sawit jika tidak diproduksi sesuai dengan hukum setempat.

Uni Eropa juga mengusulkan peraturan baru mengenai perusahaan yang mengimpor dan mengekspor barang. Tujuannya untuk menekan perusahaan tempat mereka berinvestasi agar mengembangkan rantai nilai bebas-deforestasi dan produk bebas deforestasi. Regulasi akan menetapkan wajib uji untuk komoditas perdagangan berisiko deforestasi, termasuk kedelai, daging sapi, minyak sawit, kayu, kako dan kopi serta beberapa produk turunan, seperti kulit, cokelat, dan furnitur.

Di AS, sedang dibahas regulasi baru  untuk mencegah deforestasi ilegal dengan melarang impor produk berdasarkan komoditas yang diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi ilegal, dan untuk tujuan lain. Jika ada pohon terakhir ditebang secara legal, itu tetap menjadi pohon terakhir yang ditebang.

Berbagai aksi ini mengakui bahwa deforestasi tropis banyak didorong oleh ekspansi pertanian untuk membuka jalan bagi komoditas dan kebutuhan untuk memperbaiki rantai nilai. Mereka juga mengakui temuan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), yang memperkirakan bahwa 23 persen dari total emisi gas rumah kaca dari manusia dihasilkan dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya.

Namun, terdapat kritik terhadap inisiatif kebijakan, tidak seluruh komoditas dengan risiko hutan yang tinggi dicantumkan, begitu pula komoditas olahan. Tingginya persentase usaha kecil dan menengah tidak diakui karena dianggap tidak dianggap sebagai masalah, serta perbedaan antara hutan alam dan hutan tanaman tidak dibuat dengan jelas.

Ini berarti bahwa konversi hutan menjadi hutan tanaman tidak dipertimbangkan sebagai deforestasi, meskipun dapat dipandang sebagai  degradasi hutan, menurut  Fern, organisasi keadilan hutan yang bermarkas di Uni Eropa. Selain itu, definisi deforestasi dalam teks Uni Eropa yang diusulkan adalah “konversi hutan menjadi pertanian,” yang berarti deforestasi untuk membuka jalan bagi tambang atau izin jalan.

MENARIK BERSAMA

Upaya ini secara formal didukung pada skala internasional, tidak hanya oleh Konvensi Rio tentang keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan penggurunan yang pertama kali ditetapkan 30 tahun lalu pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi 1992, tetapi juga melalui berbagai pakta dan kesepakatan pendukung, termasuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB dan Deklarasi Hutan New York.

Pada salah satu rekomendasinya, Kanopi Global mendesak perusahaan yang disebut Forest 500 dan lembaga keuangan untuk memasukkan perlindungan terhadap pelanggaran hak asasi manusia dalam membangun komitmen dan kebijakan deforestasi yang kuat.

Banyak pasar dan ekonomi yang berkembang bergantung pada ekspor komoditas yang terkait dengan siklus turun-dan-naik harga komoditas. Laporan Prospek Ekonomi Global terbaru dari Bank Dunia menyatakan bahwa siklus ini sangat intens selama dua tahun terakhir pada saat harga komoditas jatuh dalam bayang-bayang pandemi COVID-19 dan kemudian melonjak lagi tahun lalu.

“Kenaikan harga komoditas sejak 1970-an cenderung lebih besar daripada penurunannya, menciptakan peluang signifikan untuk pertumbuhan yang lebih kuat dan lebih berkelanjutan di negara pengekspor komoditas — jika mereka menerapkan kebijakan ketat selama kenaikan untuk memanfaatkan keuntungan,” tulis Bank Dunia.

Para ilmuwan di Pusat Penelitian Kehutanan dan Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF) mengamati dan mencatat dampak merugikan dari krisis iklim terhadap komoditas.

Temuan ini menguatkan argumen untuk pengelolaan bentang alam terpadu dan berkelanjutan untuk memastikan masa depan komoditas, yang dapat membantu melindungi ekonomi, pemodal, perusahaan dan investor, sekaligus melindungi portofolio mereka dalam jangka panjang.

Selain merekomendasikan agar pemerintah menerapkan kerangka kerja legislatif, Kanopi Global juga merekomendasikan agar perusahaan dan lembaga keuangan bergabung dalam upaya multi-pihak untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong kolaborasi lintas sektor.

Penelitian yang dilakukan oleh CIFOR-ICRAF menunjukkan efektivitas forum multi-pihak dalam mendukung perubahan transformasional. Dengan menyatukan individu dari semua sektor mendiskusikan pengelolaan lahan dan merancang prosedur dalam mengatasi perbedaan kekuatan antar-peserta untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Sebuah buku berjudul Bagaimana melakukannya? Modul proses, kemajuan, dan prioritas forum multi-pihak menawarkan tips dan wawasan praktis bagaimana mencapai tujuan bentang alam terpadu dan berkelanjutan. Buku ini memungkinkan forum multipihak mengidentifikasi dan mempertimbangkan tantangan, sambil mendukung pembelajaran sosial yang dapat mengarah pada strategi untuk mencapai tujuan secara adil dan efektif.

Buku ini merupakan alat yang unik karena disusun bersama oleh anggota forum multipihak subnasional dan dimaksudkan untuk digunakan oleh peserta, bukan evaluator eksternal.

Karya CIFOR-ICRAF lain, yiatu mengeksplorasi konteks historis dalam menunjukkan perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu akibat perubahan iklim, kegiatan pertanian dan ekstraksi. Dua studi baru menelusuri sejarah perdagangan shea di Afrika Barat dari akhir abad 19 hingga saat ini, menjelaskan bagaimana selai kacang ini diperdagangkan dan diproduksi, dari lokal hingga internasional, pada industri kosmetik khusus dan industri makanan skala besar.

Bersama dengan menurunnya pohon shea, begitu pula mata pencaharian perempuan yang mengelolanya. Laporan penelitian merinci konsekuensi bagi masyarakat lokal, bentang alam, jasa ekosistem lokal, pemanasan global, perdagangan regional dan internasional, serta pasar komoditas.

Contoh ini hanyalah salah satu dari sekian banyak pengetahuan dari CIFOR-ICRAF yang mengeksplorasi keterkaitan antara aktivitas manusia dan degradasi bentang alam, menawarkan ide dan solusi untuk meningkatkan manajemen pengelolaan lahan.

Skema sertifikasi komoditas adalah bidang spesialisasi lain — dengan mengevaluasi efektivitas dan kelemahan berbagai produksi komoditas, risiko operasi hutan, keuntungan bagi perusahaan dan petani kecil.

Penelitian lain melakukan eksaminasi peran satwa liar dan daging liar dalam diet masyarakat hutan dan tingginya potensi penularan penyakit ketika dicuci.

Kesehatan juga menjadi pertimbangan dalam penelitian dalam menunjukkan dampak kebakaran dan kabut asap terhadap manusia, bentang alam, dan iklim. Selain itu, sejumlah pandangan kritis  yang diberikan dari luasnya jaringan peneliti dan pembuat kebijakan yang terkait CIFOR-ICRAF.

For more information on this topic, please contact Robert Nasi at r.nasi@cgiar.org.
Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.