Claudio Schneider (K), Direktur Senior Konservasi Internasional Peru, dan Milagros Sandoval Diaz, Menteri Lingkungan Hidup Peru berbicara pada acara paralel UNFCCC, “Pendanaan REDD+ Berkeadilan dan Merata, serta Mekanisme Pembagian-Manfaat untuk Tujuan Iklim dan Keadilan.”
Menyusun standar untuk mengukur, memantau dan menetapkan nilai finansial pada emisi gas rumah kaca terkait hutan merupakan proses yang penuh tantangan terkait luasnya rentang variabel yang ada, kata para anggota delegasi yang menghadiri konferensi tingkat tinggi iklim COP26 di Glasgow.
Tiap tahun, sekitar seperempat emisi gas rumah kaca dilepaskan dari deforestasi – atau degradasi lahan terkait pertanian akibat dari pembakaran biomassa, praktik konversi lahan untuk penggembalaan dan produksi monokrop.
REDD+ (Reduksi Emisi akibat Deforestasi dan Degradasi hutan) – sebuah inisiatif kebijakan yang didiskusikan pada COP11 2005 dan secara penuh diakui pada Perjanjian Paris – dirancang untuk memberi insentif atas upaya meredam pelepasan emisi melalui konservasi hutan tropis.
Pada awalnya, inisiatif ini dipahami sebagai cara bagi negara maju untuk membayar pemilik dan pemanfaat hutan di negara berkembang atas reduksi emisi berbasis hasil dan kontribusinya dalam upaya mencapai target iklim global. Akan tetapi, ketersediaan dana untuk REDD+ tidak memenuhi harapan awal atau tidak sepenuhnya terimplementasikan.
“Banyak dana REDD+ datang dari kelompok kecil donor untuk aktivitas mempercepat pengembangan sistem pemantauan hutan dan meningkatkan tata kelola hutan,” kata Stibniati (Nia) Atmadja, ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan dan Wanatani Internasional (CIFOR-ICRAF).
“Karena pendanaan REDD+ disalurkan pada sejumlah kecil negara dan sejumlah kecil aktor – sebagian besarnya entitas internasional – tersedia insentif yang terbatas untuk sektor publik, masyarakat lokal dan lembaga adat dalam turut ambil bagian dalam REDD+,” kata Pham Thu Thuy, yang memimpin tim Perubahan Iklim, Energi dan Pembangunan Rendah Karbon CIFOR-ICRAF.
Diskusi terkait yang terfokus pada bagaimana meningkatkan pendanaan untuk kebijakan perubahan iklim, termasuk REDD+, lanjutnya kurang memperhatikan apakah dana secara efektif menjangkau kelompok sasaran, bagaimana transparansi dan pemerataan dana, atau apakah telah cukup menjawab penyebab deforestasi dan degradasi.
Delegasi yang berpartisipasi dalam acara paralel COP26 “Pendanaan REDD+ Berkeadilan dan Merata, serta Mekanisme Pembagian-Manfaat untuk Tujuan Iklim and Keadilan” menjawab beberapa tantangan seputar keadilan dan akses serta kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas pemantauan efektif.
Dukungan untuk REDD+ menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, meski melalui jalur tidak langsung, bukan jalur langsung, kata Atmadja. Meski umumnya transparan, pendanaan publik cenderung mengalir konsisten pada negara penerima yang sama, sementara pendanaan swasta tidak terdistribusi secara transparan, tambahnya.
“Sumber dana bantuan REDD+ dan para penerimanya perlu lebih diperluas untuk mengurangi risiko dan beban di negara-negara tertentu saja,” kata Atmadja.
Kontribusi sektor swasta menjadi satu cara untuk berbagi beban finansial, meski harus dilakukan secara lebih transparan.
“Masih ada tantangan untuk menyediakan lapangan permainan yang setara bagi seluruh negara,” kata Anke Herold, Direktur Eksekutif Oeko Institute, yang melakukan penelitian mengenai standar peringkat kredit dalam aktivitas pendanaan REDD+.
Meski terdapat banyak standar yang mencoba menjamin integritas lingkungan, apa yang terlihat dari perspektif keadilan dan kesetaraan, belum secara jelas didefinisikan, tambahnya.
Kajiannya terfokus pada penyusunan basis dasar yang kredibel, mengatasi isu seputar kebocoran dan sifat non-permanen, sebagai upaya membangun pemantauan yang tepat, akurat dan konsisten.
REDD+ yang adil dan setara memerlukan pengembangan standar yang inklusif dan akses kredit bagi negara berkembang, paparnya.
Pengukuran emisi hutan yang akurat memungkinkan negara-negara lebih mampu mengharmonisasikan upaya mencapai tujuan komitmen iklim dan pembangunannya, serta menetapkan Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) sesuai Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC).
Banyak negara berkembang, seperti Republik Demokratik Kongo (RDK) dan Peru, dengan dukungan donor dan proyek internasional, melakukan upaya signifikan dalam menyempurnakan sistem pemantauan, pelaporan dan verifikasi (MRV).
Bagaimanapun, merancang mekanisme pembagian-manfaat yang adil dan merata merupakan sebuah tantangan.
Sejauh ini, RDP telah mendaftarkan dua NDC – pertama pada 2017, dan kedua pada COP26, kata Blaise Pascal Ntirumenyerwa Mihigo, mitra professor Hukum Lingkungan Internasional di Universitas Kinshasa, yang bekerja sama dengan CIFOR-ICRAF pada Studi Komparatif Global (GCS) REDD+.
NDC kedua lebih ambisius dibanding yang pertama, yaitu meningkatkan reduksi 21 persen emisi gas rumah kaca, 4 persen lebih tinggi dibanding NDC pertama. NDC kedua juga mengintegrasikan sampah sebagai sektor reduksi emisi, yang tidak ada di NDP pertama.
Sejak 2005, RDK melakukan moratorium konsesi hutan, meski masih terdapat konsesi illegal, kata Blaise-Pascal.
“Hal ini menimbulkan pertanyaan, siapa yang mengeruk untung, serta apa artinya bagi penduduk lokal dan kompetisi atas lahan,” tambahnya, seraya menyatakan bahwa melakukan analisis distribusi, prosedural dan pengakuan serta aspek kontekstual keadilan akan bermanfaat.
Keadilan distribusi pembiayaan berbasis hasil – juga dikenal sebagai pembagian-manfaat – menjadi bagian tak terpisahkan dalam pendekatan REDD+ di Peru, kata Milagros Sandoval Dias, Direktur Mitigasi Gas Rumah Kaca di Kementerian Lingkungan Peru. Bekerja dalam proses partisipatoris menjadi inti pendekatan Peru dalam pengambilan keputusan, tambahnya.
Sebuah kolaborasi kondusif bagi lingkungan – di mana masyarakat adat – atau penerima manfaat REDD+ — berada di garis depan diskusi, sektor swasta mendapatkan kepastian investasi dalam REDD+ dan pemerintah yang dapat memenuhi komitmennya pada UNFCCC seharusnya menjadi tujuan, kata Claudio Schneider, Direktur Senior Konservasi Internasional Peru.
Tantangan keadilan hadir dalam terminologi transparansi dan akuntabilitas terwujud sejalan dengan risiko kebocoran dan pendekatan biasa dalam eksploitasi hutan dapat menurunkan kualitas kredit dan memicu kegagalan perjanjian iklim global dan lokal, kata ko-moderator Maria Brockhaus, profesor Kebijakan Hutan Internasional Universitas Helsinki. Dengan kata lain, tidak ada keadilan iklim, hanya kompensasi berbasis model bisnis global biasa dalam pemanfaatan lahan yang mengorbankan hutan dan lahan yang selama ini dimanfaatkan untuk dan oleh masyarakat lokal.
“Kita bekerja dengan ketidaksempuraan – kita juga harus menyusun mekanisme yang memungkinkan penyempurnaan terus menerus sepanjang prosesnya,” kata Michael Huettner, penasehat Kerjasama Internasional Jerman (GIZ), menambahkan bahwa REDD+ tidak dapat menyelesaikan masalah keadilan. Standar semata tidak akan cukup dalam mengatasi masalah keadilan dan pemerataan pembagian-manfaat – di sini negara berperan besar, katanya.
“Ada kebutuhan untuk lebih fleksibel dan untuk menurunkan kompleksitas standar – dengan tekanan besar terkait akuntabilitas dan kualitas, serta kemampuan menjejak dan menilai proyek,” kata Brockhaus.
“Banyak yang harus dilakukan dalam wilayah desain,” kata Christopher Martius, Direktur Pelaksana CIFOR-ICRAF Jerman. “Belajar dari pengalaman adalah kuncinya.”
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.