Pakta untuk Meredam Emisi dari Lahan Gambut Kaya Karbon

Peru bergabung dengan inisiatif memperkuat upaya lingkungan
, Wednesday, 21 Jul 2021
Potret ilmuwan tengah meneliti lahan gambut di Peru. Foto oleh: Jeffrey van Lent/CIFOR

Pertemuan para tokoh lingkungan dan pejabat pemerintahan dari empat negara tropis utama baru-baru ini mengukuhkan komitmen bersama untuk memprioritaskan manajemen berkelanjutan lahan gambut.

Pada sebuah acara virtual – dengan tuan rumah kementerian lingkungan hidup Peru, Program Lingkungan PBB, Inisiatif Lahan Gambut Global (GPI) dan Pusat Penelitian Lahan Gambut Internasional (ITPC) – Indonesia, Republik Demokratik Kongo (DRC) dan Republik Kongo bertukar informasi mengenai upaya memprioritaskan ekosistem tinggi karbon, yang dipandang vital dalam meredam pemanasan global.

Peru, diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup Gabriel Quijandria Acosta, yang sekaligus disambut sebagai anggota baru ITPC.

Lahan gambut di dataran rendah Amazon Peru diperkirakan menyimpan 20 ton karbon dan menutupi 120.000 km persegi, area setara dengan luas Nikaragua.

“Ini menjadi langkah penting, Peru mengembangkan sejumlah inisitiatif lingkungan dengan bergabung dalam ITPC, memperkuat kerja sama Selatan-Selatan dalam rangka pertukaran pengetahuan, pengalaman, sains dan praktik lokal, serta mempromosikan praktik terbaik dalam melindungi dan membenahi lahan gambut tropis,” kata Quijandria, mengingatkan bahwa lahan gambut Andean – cadangan karbon terbesar Peru – berkontribusi secara substantial pada ekonomi, ketahanan pangan dan air masyarakat pesisir, termasuk masyarakat adat dan lokal.

ITPC diresmikan tiga tahun lalu di Jakarta sebagai bagian dari GPI yang berkolaborasi dengan CIFOR, UNEP serta Badan Pangan dan Pertanian PBB dalam memfasilitasi pertukaran praktik terbaik dalam pengelolaan lahan gambut.

“Melalui berbagai inisiatif tersebut, negara bisa mengambil keputusan terinformasi dan mengembangkan manajemen serta opsi kebijakan yang memberi dampak minimal terhadap masyarakat dan lingkungan, serta menghindari titik kritis sosial dan iklim akibat kehilangan dan degradasi lahan gambut,” kata Diana Kopansky yang memimpin  GPI, sebuah kemitraan 43 organisasi dan empat negara lahan gambut tropis yang hadir dalam pertemuan, mewakili UNEP

Peru – seperti Indonesia, DRC dan Republik Kongo – akan mengeksplorasi berbagai opsi, termasuk menjadikan lahan gambut sebagai komponen berbasis alam dari Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) bagian dari Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) menjelang dialog iklim COP26 akhir tahun ini di Glasgow.

NDC merupakan inti dari Perjanjian Paris PBB, berbagai negara sepakat untuk mencegah kenaikan suhu pasca-industrial sebesar 1,5 derajat Celcius atau lebih dengan membatasi dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Negara-negara diharuskan memperbarui target 2030 dalam mewujudkan komitmennya sebelum COP26.

“Jumlah karbon tersimpan dalam 1 hektare lahan gambut sehat setara dengan emisi tahunan 1.400 mobil penumpang biasa,” kata Doreen Robinson, kepala Keanekaragaman Hayati dan Lahan UNEP, moderator diskusi panel “Lahan Gambut sebagai Solusi Berbasis-Alam Super”. “Lahan gambut menawarkan tiga keuntungan bagi iklim, alam dan manusia. Mereka merupakan ekosistem terestrial paling padat karbon di Bumi, rumah bagi keanekaragaman hayati serta menyokong kesehatan dan kesejahteraan manusia selama ribuan tahun.”

Tujuan dari solusi berbasis alam adalah untuk mendukung perwujudan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, melindungi kesejahteraan dengan cara yang mencerminkan nilai-nilai kultural dan sosial, meningkatkan ketahanan ekosistem, memiliki kapasitas memperbaiki diri dan memberi berbagai jasa, katanya.

Menjaga jumlah simpanan karbon di lahan gambut merupakan bagian vital dari upaya mencegah pemanasan global. Dari 169 negara pemilik lahan gambut, Indonesia merupakan negara terbesar keempat di bawah Kanada, Rusia, dan AS. Kepulauan Indonesia juga menjadi wilayah lahan gambut tropis terbesar di dunia.

Terbentuk dari pembusukan dan terendamnya vegetasi selama ribuan tahun, menurut International Mire Conservation Group dan International Peat Society, lahan gambut dunia setara dengan 3 persen total permukaan lahan dan air, namun menyimpan sepertiga dari karbon tanah dunia dan 10 persen sumber air bersih global.

Degradasi akibat konversi dan pengeringan untuk pertanian berdampak pada hampir 15 persen lahan gambut. Lahan gambut terdegradasi ini, yang hanya mencakup 0,4 persen area lahan global ini, berkontribusi terhadap 5 hingga 6 persen emisi CO2 antropogenik global tahunan, kata Kopansky.

Lahan gambut Indonesia terbesar keempat di dunia, meliputi 36 persen total lahan gambut tropis dan menyimpan sekitar 30 hingga 40 persen deposit karbon tanah global, kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.

Indonesia telah menerapkan sejumlah strategi pengelolaan lahan gambut, yang secara tradisional seringkali dikeringkan dan dibakar untuk pertanian. Inisiatif yang dilakukan termasuk panduan bagi kanal perkebunan agar mempertahankan tinggi minimum air untuk mencegah kekeringan. Selain itu, paludikultur dan teknik mitigasi kebakaran juga diterapkan.

Lahan gambut juga menjadi tulang punggung NDC Indonesia yang memasang target reduksi emisi 41 persen pada 2030, kata Nurbaya.

“NDC kedua akan disertai Peta Jalan Mitigasi dan perencanaan Peta Jalan Adaptasi, Energi, dan peta jalan untuk menghapus pembangkit listrik batu bara; serta ekplorasi karbon biru, termasuk mangrove dan terumbu karang,” paparnya, seraya menyatakan bahwa Indonesia menargetkan menjadi karbon netral pada 2060.

Sementara DRC dan Republik Kongo memiliki traktat lahan gambut tropis terbesar seluas 145.000 km persegi di Cuvette Centrale, area yang lebih luas dibanding Inggris. Sebagai salah satu ekosistem paling kaya di Bumi, area ini menyerap 30 miliar ton karbon.

Lahan gambut merupakan lingkungan penghasil penghidupan bagi masyarakat lokal dan adat, yang berarti menjadi penting bahwa respon lingkungan tidak merusak ekonomi lahan gambut, kata Wakil Perdana Menteri DRC sekaligus Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan, Eve Bazaiba Masudi dalam pernyataan tertulisnya.

“Menjadi penting bahwa kebijakan untuk produksi berkelanjutan dari penghidupan tanpa pengeringan diidentifikasi, dikontektualisasi dan dipopulerkan,” tulis pernyataan tersebut, seraya menyatakan bahwa negaranya mendukung konservasi lahan gambut dalam rangka menjaga fungsi ekologis dan peningkatan nilai ekonomi konservasi lahan gambut.

Pada COP 26, Republik Kongo akan mempresentasikan temuan riset terbaru mengenai lahan gambut, menegaskan signifikasinya untuk keanekaragaman hayati dan kontribusinya pada keseimbangan iklim.

Lahan gambut dipenuhi spesies flora dan fauna – termasuk spesies terancam punah – endemik Basin Kongo, kata Arlette Soudan-Nonaul, Menteri Lingkungan Hidup, Pembangunan Berkelanjutan dan Basin Kongo Republik Kongo. “Wilayah ini penting bagi stok karbon yang sangat berpotensi bagi mitigasi perubahan iklim – dan bagian wajib dalam mencapai NDC terkait tujuan global di bawah Perjanjian Paris.”

Sesi teknis akan digelar pada akhir tahun, dirancang untuk membantu mitra GPI berbagi dan bertukar pengetahuan serta praktik terbaik.

“Tujuannya adalah untuk membantu berbagai negara membuat keputusan terinformasi dan mengembangkan manajemen dan opsi kebijakan yang mampu memberi dampak minimal pada masyarakat dan lingkungan, serta menghindari titik kritis sosial dan iklim akibat kehilangan dan degradasi lahan gambut,” kata Kopansky.

Diskusi panel Lahan Gambut sebagai Solusi Berbasis Alam Super digelar pada 5 Juli 2021, didukung oleh CIFOR.

Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.