Dari banyak hal negatif yang diperbuat manusia di bumi, deforestasi menjadi salah satu yang terburuk, terkait dampak negatif bagi keamanan pangan, iklim dan keanekaragaman hayati. Apalagi sering kali peristiwa itu dipicu pembakaran hutan dalam rangka pembersihan lahan, dengan estimasi kasar sekitar 2 persen permukaan bumi terbakar setiap tahun. Akan tetapi, kebakaran hanya salah satu bagian cerita.
Keinginan tak pernah terpuaskan manusia untuk memetik keuntungan melalui ekstraksi melalui deforestasi dan gangguan terhadap ritme alam ini semakin cepat. Kita telah kehilangan sebagian besar hutan pada satu abad terakhir yang setara dengan 9.000 tahun sebelumnya, sehingga menimbulkan dampak merugikan dari manfaat hutan di bumi. Kita semua bersalah dalam hal ini.
Dari periode masyarakat pertanian ke era kolonisasi, hingga kondisi berbahaya dari konsumsi berlebihan saat ini, kita semua berperan dalam degradasi ekosistem. Sayangnya, hanya sedikit yang turun tangan dalam upaya restorasi.
Tarik menarik antara keuntungan, manajemen lahan berkelanjutan dan konservasi tercatat dalam berabad literatur ilmiah dan beribu tahun literatur klasik. Sejak runtuhnya ekonomi Micenia Yunani kuno hingga laju destruksi Amazon di Brasil saat ini, deforestasi dan degradasi lahan merupakan sebuah perang yang tidak pernah berakhir.
Meskipun sejumlah peringatan ilmiah, bumi kita kini berada di ambang bencana perubahan iklim, ketika bongkah glasier runtuh ke laut dan mencair akibat pemanasan global akibat emisi bahan bakar fosil dan diperburuk oleh destruksi hutan tropis kita.
Tidak hanya hutan tropis yang rusak. Padang rumput alam menghilang. Pemodelan menunjukkan, menyusul mencairnya permafrost di wilayah boreal utara, kapasitas serapan karbon lahan gambut juga menurun akibat pemanasan global pasca-2050 dalam skenario kenaikan temperatur tinggi, karena tanah makin termineralisasi.
Dalam upaya mencoba dan membalikkan kerusakan, para ilmuwan, petani, rimbawan dan lainnya kini menghadapi tugas monumental: keharusan untuk merestorasi jutaan hektare lahan. Hal ini serupa dengan kisah seorang anak Belanda dalam buku karya penulis AS Mary Mapels Dodge berjudul Hans Brinker (1865). Ia mencoba menutup lubang sebuah bendungan untuk menyelamatkan negerinya dari ancaman banjir.
Sepanjang sejarah, kita bisa melihat bagaimana pihak yang memiliki kekuatan ekonomi melindungi kepentingan mereka dengan merendahkan, memperbudak dan mempersekusi pihak yang ingin mempertahankan lahan dan penghidupan. Kita juga menyaksikan upaya bersama menerapkan intensifikasi berkelanjutan melalui praktik pertanian dan kehutanan yang baik di bentang alam pertanian dalam upaya konservasi ekosistem.
Bagaimanapun, kita harus menghentikan tarik menarik dan mengembangkan upaya bersama dalam melakukan restorasi lahan. Tiap tahun, 6,3 triliun dolar AS hilang akibat degradasi lahan, sementara keuntungan bersih jika target inisiatif restorasi lahan seperti Tantangan Bonn tercapai, antara 7 hingga 9 triliun dolar AS per tahun. Untuk setiap dolar yang diinvestasikan dalam restorasi, terdapat potensi kembali sebesar 7 – hingga 30 dolar AS.
Menurut laporan terbaru PBL Netherlands Environmental Assessment Agency banyak negara telah berkomitmen untuk merestorasi hampir satu miliar hektare lahan, setara dengan luas Kanada, melalui inisiatif seperti Tantangan Bonn. Separuh komitmen tersebut berada di sub-Sahara Afrika.
Melalui peluncuran U.N. Decade on Ecosystem Restoration 2021-2030 pekan ini, kita berharap pemerintah akan menerima kebijakan dan praktik yang mendasari desain program restorasi yang berpotensi membantu memperkuat kembali kesehatan ekologi pada wilayah terdegradasi, seraya memberi beragam manfaat sosio-ekonomi.
Akan tetapi, terdapat kekurangan dana yang signifikan. Sementara pemerintah berbagai negara bisa mengalokasikan $2 triliun setahun untuk produksi senjata, menurut data statistik dari World Resources Institute, secara kolektif kita hanya mengumpulkan sekitar 41 miliar dolar AS dana publik dan 10 miliar dolar AS dana swasta. Masih terdapat kekurangan sebesar 300 miliar dolar dari kebutuhan kita.
Kekurangan ini bersamaan dengan hilangnya 12 miliar hektare lahan tiap tahun akibat degradasi, dan desertifikasi menghapus lebih dari 10 persen pendapatan domestik bruto global akibat hilangnya jasa ekosistem.
Meskipun estimasi aktual Organisasi Pangan dan Pertanian PBB menunjukan sekitar sepertiga manusia sangat bergantung pada hutan dan produk hutan, sangat banyak produk pangan global bergantung pada jasa ekosistem seperti air bersih, polinator, dan pengaturan iklim lokal.
Tanggung jawab dalam merestorasi bentang alam dalam skala besar berada dalam pundak pihak berwenang. Sementara beberapa negara dan korporasi masih mencoba-coba, waktu coba-coba sudah lama berakhir. Kini atau tidak ada kesempatan lagi. Ini saatnya melakukan komitmen serius jangka panjang.
REALITA LAINNYA
Kita memerlukan aksi yang lebih strategis, jika tidak, degradasi lahan akan semakin memburuk dan makin membebani. Penyebab utama degradasi, tampak masih disebabkan oleh cepatnya ekspansi dan manajemen tanaman tidak berkelanjutan, serta meluasnya lahan gembala yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem, keamanan pangan dan berdampak buruk pada suplai air. Kita harus mengatasi penyebab degradasi karena jika diabaikan, atau respon sekadarnyan saja, lahan akan kembali terdegradasi.
Jadi, restorasi wajib, namun harus dilakukan secara strategis. Sebuah wilayah tanpa pohon tidak berarti terdegradasi. Padang rumput, lahan gambut dan ekosistem non-hutan lain, memberikan jasa bernilai dan memerlukan pendekatan, evaluasi dan cara yang unik untuk menjaga resiliensinya. Selain itu, menanam dan merawat pohon dengan benih dan tujuan yang tepat, keterlibatan penduduk lokal menjadi sangat penting di banyak daerah, serta seringkali membiarkan alam bekerja melalui regenerasi natural adalah langkah terbaik.
Akan tetapi, ini semua belum suram dan kelam. Melalui restorasi, berbagai manfaat, mulai dari lapangan kerja hingga peningkatan nutrisi dan pendapatan. Kuncinya adalah pendekatan holistik dan berbasis alam yang menjawab kelindan tantangan ketidaksetaraan dan hilangnya keanekaragamanhayati, laju perubahan iklim dan rantai pasok tak berkelanjutan.
Selama beberapa tahun, peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Pusat Penelitian Wanatani Dunia (CIFOR-ICRAF) mempelajari apa yang berjalan dan apa yang tidak, mengembangkan solusi berbasis bukti dari seluruh dunia. Kami memahami bahwa pohon, kesuburan tanah dan masyarakat adalah bahan baku penting dalam merestorasi ekosistem kita yang sakit.
Kami memimpin berbagai proyek restorasi di seluruh dunia, menawarkan manfaat bagi masyarakat lokal, melalui introduksi sistem wanatani untuk mendorong penghasilan penduduk Vietnam baratlaut dengan menerapkan solusi restorasi holistik, hingga mengukur dan mengkaji upaya ribuan petani di Afrika timur.
Salah satu pembelajaran dari berbagai penelitian tersebut, adalah kita perlu menghitung seluruh eksternalitas negatif dan manfaat positif dari berfungsinya ekosistem. Penting sekali, kita harus memahami penyebab mendasar degradasi, karena jika tidak, kita hanya seperti menempelkan plester luka pada cedera serius.
Saat kita mulai melibatkan sektor swasta, kita perlu mengakui bahwa modal alam, seperti infrastruktur yang telah dibangun juga terdepresiasi. Sebagaimana bangunan atau jembatan, kita perlu berinvestasi pada aset alam, dan seiring waktu, aset tersebut juga terdepresiasi.
Kemitraan dan kolaborasi menjadi sangat penting, fokus jangka panjang CIFOR-ICRAF dan pembaharuan melalui Wahana Kemitraan Transformatif yang menyatukan berbagai pemangku kepentingan dalam mengatasi tantangan pemanfaatan lahan.
Inilah saatnya mengubah narasi. Kita perlu menggeser paradigma aktual restorasi lahan yang menelan biaya tinggi dengan manfaat yang terbatas menjadi investasi penelitian dan perencanaan dari bawah ke atas, menciptakan industri dan lapangan kerja baru, serta dengan tepat mengukur nilai modal alam untuk menyediakan insentif finansial yang tepat bagi partisipasi sektor swasta.
Dalam beberapa pekan ke depan, CIFOR-ICRAF akan mengangkat solusi restorasi bentang alam terdegradasi dunia, bersamaan dengan dengan Dekade Restorasi Ekosistem PBB and GLF Afrika: Restorasi Lahan Kering Afrika.
Jalan akan bergejolak dan berliku, tetapi kami berharap Anda bergabung untuk menjawab tantangan ini
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.