Satu Tim Koordinasi Strategis Manajemen Lahan Basah dibentuk oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada Oktober, dalam upaya menselaraskan upaya Indonesia mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) dan memprioritaskan pembangunan rendah karbon.
Salah satu tugas tim adalah bertanggung jawab dalam perencanaan, sinkronisasi kebijakan, data dan informasi, selain implementasi pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Demikian dinyatakan pemerintah dalam keputusan yang diterbitkan.
Indonesia, negara dengan luas lahan gambut terbesar ketiga dunia setelah Kanada dan Rusia, juga memiliki lahan gambut tropis teluas di dunia, yang menyimpan sekitar 60 miliar ton karbon.
Apalagi, bentuknya sebagai kepulauan menyajikan sejumlah besar mangrove, yang menyimpan lebih dari 3 miliar ton karbon – terbanyak dibanding temuan di benua manapun. Indonesia menjadi bagian dari Inisiatif Lahan Gambut Global dan negara pendiri Pusat Penelitian Lahan Gambut Tropis Internasional.
Menjaga karbon tetap tersimpan menjadi vital agar pemanasan global terkendali dan memenuhi target Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim, kata para ilmuwan. Perjanjian yang disepakati pada perundingan iklim 2015, menetapkan untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata lebih dari 1,5 hingga 2 derajat Celsius di atas masa pra-industri.
Di bawah perjanjian itu, tiap negara diharuskan menyediakan data emisi gas rumah kaca dan target reduksi pada pasca-2020. Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29 persen hingga 41 persen pada 2030 melalui Komitmen Kontribusi Nasional (NDC).
“Mengingat sudah menjadi fokus penelitian internasional terkait ekosistem lahan gambut dan pengembangan strategi untuk mengatasi perubahan iklim, upaya meningkatkan efisiensi melalui koordinasi lintas pemerintahan dan dengan pemangku kepentingan lain dari komunitas penelitian sudah sangat tepat,” kata Daniel Murdiyarso, ilmuwan utama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan seorang ahli lahan basah.
Sebagai bagian dari tim kerja baru sinkronisasi kebijakan multi-pemangku kepentingan, ia akan mengkolaborasikan data dan informasi, serta manajemen, bersama dengan perwakilan dari Konservasi Internasional Indonesia dan Lahan Gambut Internasional Indonesia, selain Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan lainnya.
Konservasi Internasional, CIFOR, dan Lahan Gambut Internasional Indonesia saat ini tengah mengimplementasikan proyek bersama “Mitigasi, Adaptasi melalui Konservasi dan Penghidupan Berkelanjutan di Ekosistem Gambut dan Mangrove Indonesia,” sebagai bagian dari Inisatif Iklim Internasional (IKI), dukungan Kementerian Federal Jerman urusan Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir (BMU).
Konservasi Internasional menjadi koordinator proyek yang dimaksudkan mendukung pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten dalam menjaga dan mengelola lahan gambut dan ekosistem mangrove, dengan lokasi percontohan di Provinsi Sumatera Utara dan Papua Barat.
“Indonesia memiliki lahan gambut dan ekosistem mangrove tropis terbesar, yang menghadapi tekanan besar,” kata Murdiyarso, menambahkan inilah alasan dibentuknya tim pada peluncuran Dekade Restorasi Ekosistem PBB 2021-2030, dalam rangka mendukung restorasi lebih dari 350 juta hektare lahan terdegradasi dan terdeforestasi di dunia.
Dari salah satu 17 SDG yang ditetapkan PBB untuk dicapai pada 2030, tim baru ini ditugasi dengan tanda pada kotak tujuan 13, yang memiliki tujuan besar memerangi perubahan iklim. Prioritas lain termasuk SDG 14, fokus pada konservasi samudera, laut dan sumber daya maritim, serta SDG 15, terkait preservasi dan restorasi ekosistem terestrial dan keanekaragaman hayati.
“Dengan potensi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim lahan basah Indonesia, kita menyambut inisiatif dan berbangga menjadi bagiannya,” kata Robert Nasi, Direktur Jenderal CIFOR.
Memiliki ekosistem simpanan karbon tinggi, lahan gambut dan mangrove berperan strategis sebagai solusi berbasis alam untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Lahan gambut dan mangrove, masing-masing menyimpan dua hingga 10 kali lebih banyak dibanding karbon hutan.
Ketut Sarjana Putra, wakil presiden Konservasi Internasional Indonesia juga menyambut langkah maju pemerintah Indonesia, dan mengaku tak sabar mendukung pengembangan strategi yang efektif dalam melindungi dan mengelola ekosistem tinggi karbon, lahan gambut dan mangrove. “Ini bagian dari pendekatan solusi berbasis alam untuk mencapai SDG,” katanya.
Tim Koordinasi Strategis akan menyusun strategi dan peta jalan manajemen lahan gambut dalam mendukung pembangunan rendah karbon dan SDG, kata Arifin Rudiyanto, Deputi Urusan Kelautan dan Sumber Daya Alam Bappenas, seraya menambahkan bahwa hal ini akan diikuti oleh sinkronisasi koordinasi dan kebijakan dengan pemerintah subnasional dan multi-pemangku kepentingan dalam mewujudkan manajemen berkelanjutan ekosistem gambut dan mangrove.
“Tim akan membantu implementasi strategi dan peta jalan, mencakup pemantauan dan mekanisme pelaporan dalam mendukung SDG dan pembangunan rendah karbon di Indonesia,” katanya.
Tim Koordinasi Strategis dibentuk oleh Bappenas pada Oktober 2020, di bawah Keputusan Menteri No. 89/M.PPN/HK/10/2020.
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.