Hutan hujan tua Indonesia di Sumatera, Kalimantan dan Papua merupakan ekosistem terestrial bumi yang paling kaya dengan keragaman flora dan fauna.
Selama lebih dari dua dekade, satelit mendokumentasikan sejenis pohon merambah batas-batas hutan tua ini. Terlihat dari angkasa, ketika langit cerah, karakteristik kilau warna hijau tua hutan alam terkoyak di bagian ujung oleh warna muda petak-petak kecil segi empat bersilangan di permukaan.
PERTARUHAN TINGGI UNTUK SEMUA
Di dalam batas hijau tua tersebut terdapat area serapan karbon terbesar dunia, sekaligus tempat bermukim masyarakat adat, dan beragam spesies flora dan fauna.
Di sisi lain, permukaan ditanami kebun sawit – Elaeis guineensis — yang menghasilkan minyak tanaman paling serba guna di dunia, terdapat di dalam makanan, pasta gigi dan sabun. Kelindan rumit pemain besar dan kecil memproduksi, menjual dan membeli minyak kelapa sawit di seluruh dunia, untuk memasok permintaan yang diproyeksikan bertumbuh hingga lebih dari 100 juta ton per tahun pada 2024 – meningkat 50 persen dibanding 2016.
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia meluas dengan cepat sejak 1968, saat hanya terdapat 120.000 hektare. Saat ini, merujuk data Kementerian Pertanian, kelapa sawit mencapai 16,4 juta hektare. Ekspansi yang menimbulkan risiko bagi keanekaragaman hayati, mempertinggi emisi karbon, memicu masalah keadilan sosial dan hak lahan di dalam dan di batas perkebunan.
Ekspansi ini juga menimbulkan pergeseran ekonomi masyarakat desa. Dari pekerjaan utama di sektor pertanian, perikanan atau perdagangan, kini makin bergantung pada perkebunan kelapa sawit.
Contohnya, ekspansi perkebunan di Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur menyebakan mengering dan terpolusinya sungai yang telah lama menjadi tempat masyarakat mengambil ikan, akuakultur dan mengolah ikan. Peluang kerja di sektor itu kemudian mengecil, dan keluarga beralih ke pekerjaan di perkebunan kelapa sawit.
Untuk mengatasi sengketa lahan, pelanggaran hak buruh, dan deforestasi terkait ekspansi sawit, pemerinah menerapkan skema Kelapa Sawit Berkelanjutan Inddonesia (ISPO) pada 2011. Awalnya, skema ini mengharuskan perusahaan perkebunan besar mendapat sertifikasi, tetapi belakangan kewajiban sertifikasi juga diterapkan pada petani.
Tantangan masih ada. Pada sebagian perkebunan yang manajemennya lemah dan kurang terurus, minat terhadap sertifikasi ini sangat kurang. Ekspansi perkebunan kelapa sawit ilegal, seperti di Kutai Kartanegara, juga menghambat upaya pemerintah mencapai tujuan berkelanjutan.
MERAJUT PERMAINAN
Mengingat Indonesia memproduksi hampir separuh kelapa sawit dunia, Bentang Alam Kelapa Sawit Adaptif (OPAL) — konsorsium internasional dipimpin oleh Universitas ETH Zurich Swiss – bermitra dengan Pusat Penelitian Pertanian dan Pembangunan Desa Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) sejak 2015. Dalam lima tahun, para pemrakarsa mencoba meningkatkan manajemen bentang alam kelapa sawit di Indonesia dan memetakan jalan menuju produksi berkelanjutan.
OPAL memberi tugas pada empat mahasiswa Doktoral di Indonesia untuk meneliti pengaruh sosio-politik, ekonomi, and ekologi yang mengubah hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Temuan mereka mendasari pengembangan inovasi permainan peran kelapa sawit dan dihubungkan dengan pemangku kepentingan kelapa sawit. Permainan ini mengungkap berbagai tantangan yang dihadapi petani produsen dalam mencapai target dan indikator dalam aturan sertifikasi ISPO.
Harapannya, permainan ini akan membantu membangun dalog antar pemangku kepentingan bentang alam untuk mengawal tujuan berkelanjutan dapat dipenuhi di tengah ekspansi.
PERAN TERBALIK
Petani kelapa sawit di Kutai Kartanegara bermain dengan penduduk, pejabat pemerintah, pegawai perkebunan, lembaga swadaya pemerintah, dan swasta – mengambil peran dari pihak berlawanan dalam keseharian mereka. Kepala perkebunan biasanya memainkan peran sebagai petani, yang bergeser menjadi pejabat pemerintah. Pejabat dari Kementerian Pertanian juga terlibat dalam permainan dan ecara langsung berdialog dengan pejabat provinsi terkait.
“Para pemain berkesempatan merefleksikan tantangan mengelola kelapa sawit dari perspektif yang sangat berbeda,” kata peneliti OPAL, Bayu Eka Yulian, yang mengembangkan versi permaintan perubahan pemanfaatan lahan.
“Permainan ini juga mengangkat isu yang sebelumnya tidak disadari oleh para pemangku kepentingan,” kata Heru Komarudin, peneliti CIFOR dan analisis kebijakan termasuk OPAL. “Para peserta merasa mereka berada dalam lingkungan yang ramah dan berbicara secara bebas meski mendiskusikan isu sensitif.”
MENGHUBUNGKAN SAINS DENGAN KEBIJAKAN
Pada 2018, para peneliti OPAL memberi dukungan kepakaran dalam proses kebijakan dan pengamblikan keputusan di tingkat masyarakat, daerah dan pusat.
Berkat penelitiannya mengenai “ekspansi sunyi” perkebunan kelapa sawit – sebuah strategi yang diterapkan petani untuk secara sembunyi-sembunyi dan ilegal memperluas perkebunan melalui calo – peneliti OPAL, Yulian kini menjadi penasihat satuan tugas Kementerian Pertanian Indonesia yang tengah merevisi kebijakan inti-plasma, sebagai ahli di bidang perkebunan kecil. Skema Inti-Plasma mengharuskan perusahaan perkebunan mengembangkan petak kelapa sawit untuk petani, disebut sebagai plasma, di sekitar perkebunan, yang disebut sebagai Inti.
Koordinator tim OPAL Indonesia Arya Hadi Dharmawan dari IPB juga terlibat, bersama dengan pemangku kepentingan lain, menjadi penasihat revisi keputusan yang mengatur standar kelapa sawit berkelanjutan di tingkat nasional.
Ia juga terlibat dalam proses kebijakan inklusif dalam merumuskan apa yang kemudian dikenal sebagai Keputusan Presiden Decree Nomor 44.”
“Kepres yang diterbitkan awal tahun ini tersebut bertujuan mendorong sistem tata kelola kelapa sawit yang efektif, efisien dan berkelanjutan melalui sertifikasi kelapa sawit,” kata Komarudin, merujuk pada penyempurnaan sistem ISPO.
Pengetahuan yang terkumpul melalui aktivitas OPAL, berkontribusi signifikan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, katanya.
Komarudin dan Rizka Amalia, juga sebagai peneliti OPAL, turut ambil bagian dalam forum tingkat provinsi untuk perkebunan berkelanjutan di Kalimantan Timur. Forum ini berkontribusi dalam pengembangan regulasi inovatif lokal yang mendorong perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi (HCV) di wilayah perkebunan yang terfragmentasi.
JALAN KE DEPAN
Kembali ke Kutai Kartanegara, menurut Komarudin, para pemangku kepentingan kini berkomunikasi dan berkolaborasi lebih efektif. Difasilitasi program OPAL, pejabat pemerintah dan pegawai perusahaan setempat bekerja bersama dengan fokus baru dalam mendiskusikan skenarion perkebunan berkelanjutan, mengidentifikasi dan validasi lokasi kawasan HCV di dalam konsesi kelapa sawit, sambil terus berkontribusi pada janji pemerintah provinsi Kalimantan Timur untuk mengurangi emisi karbon.
Meski masa depan masih belum pasti, jelas bawah OPAL telah mempengaruhi dialog. Di Kutai Kartanegara, permainan ini memberdayakan para pemangku kepentingan – mulai petani hingga eksekutif perusahaan kelapa sawit hingga pejabat pemerintah – dalam membangun keputusan yang lebih baik. “Dalam lingkup lebih luas, peneliti OPAL kini aktiv berpartisipasi dalam panel pengambil kebijakan kelapa sawit,” kata Dharmawan.
“Perlu waktu untuk melihat perubahan lebih luasnya,” kata Komarudin. “Namun terbit harapan – bahwa kita semua melangkah maju menuju industri kelapa sawit yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan di Indonesia.”
OPAL merupakan program penelitian kolaboratif yang dipimpin oleh ETH Zurich, melibatkan lembaga internasional (CIFOR, CIRAD dan WWF), perguruan tinggi (Universitas Pontifical Javeriana, IPB dan EPFL Lausanne), firma konsultasi khusus kelapa sawit (NES Naturaleza) dan beberapa asosiasi pengusaha perkebunan. Program ini melibatkan sejumlah peneliti Doktoral yang berperan meningkatkan pemahaman mengenai sistem sosioekologis dan faktor penyebab perubahan bentang alam terkait dengan pengembangan kelapa sawit, dan memberikan opsi rekomendasi untuk meningkatkan tata kelola bentang alam komoditas yang dihasilkan berbagai negara di Asia (Indonesia), Amerika Latin (Kolombia) dan Afrika (Kamerun).
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.