Tekanan pada hutan akibat pola makan tidak sehat dapat meningkatkan penyebaran virus

Produksi pangan menghancurkan penyangga hijau
, Thursday, 24 Sep 2020
Sawah padi di Desa Tri Budi Syukur, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Foto oleh: Ulet Ifansasti/CIFOR

Teori seputar asal-usul virus corona SARS-COV2 seringkali merujuk pada gangguan yang terjadi di lingkungan. Akibat campur tangan manusia dalam kerusakan lingkungan, maka terbentuk jalur penyebaran penyakit antar spesies yang belum pernah ada sebelumnya.

Riset terbaru memberi indikasi COVID-19 hampir pasti ditularkan oleh trenggiling atau kelelawar ke manusia dari sebuah pasar di Wuhan, Cina.

Ada bukti lain menunjukkan perdagangan satwa liar berisiko menyebarkan patogen dan penyakit menular, dan kebiasaan konsumsi manusia sedikit banyak berpengaruh dalam hal ini.

“Di seluruh dunia, hubungan antara pemenuhan pangan dan hilangnya keanekaragaman hayati cenderung dikaitkan dengan pola makan yang tidak sehat,” ujar seorang ilmuwan rekanan senior di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dalam artikel terbaru di The Conversation yang merujuk pada produksi makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung.

Sejak paruh kedua di abad ke-20, intensifikasi pertanian telah menjadi metode yang dominan untuk menghasilkan pangan dalam jumlah banyak. Beberapa tujuannya yaitu meningkatkan hasil tanaman pokok dan produksi daging sapi dalam skala besar.

Namun, proses transisi ke produksi pangan intensif yang bergantung pada beberapa spesies tanaman dan ternak dinilai gagal dalam mengatasi malnutrisi di seluruh dunia, tulis Terry Sunderland, yang juga profesor di Fakultas Kehutanan, Universitas British Columbia Kanada.

“Terdapat hampir 800 juta orang tidur dalam keadaan lapar, sepertiganya mengalami kekurangan gizi, dan 2 miliar orang menderita defisiensi mikronutrien yang berdampak pada masalah kesehatan seperti stunting (bertumbuh pendek) dan wasting (bertubuh kurus),” tulisnya.

Sunderland menambahkan intensifikasi pertanian dengan dampak deforestasi dan degradasi bentang alam dapat menimbulkan penyebaran berbagai penyakit zoonotik mematikan seperti SARS, MERS, H1N1, Chikungunya, Zika, dan Ebola.

“Sektor pertanian bertanggung jawab atas 30 persen emisi gas rumah kaca, erosi tanah, penggunaan air yang berlebihan, hilangnya spesies penyerbuk penting, polusi kimia, serta dampak lain-lain,” katanya.

“Saat ini, sekitar 70 persen kawasan hutan global hanya berjarak beberapa kilometer dari tepi hutan. . . dan merusak fungsi penyangga kehidupan yang disediakan oleh ekosistem hutan.”

“Kegiatan peternakan dalam skala besar dengan tipe genetik serupa di sepanjang perbatasan hutan dapat menjadi jalur bagi patogen untuk bermutasi dan menular ke manusia. Hilangnya eksosistem hutan dan perubahan bentang alam membuat jarak manusia dan satwa liar semakin dekat, meningkatkan risiko penyebaran penyakit,” tutup Sunderland.

For more information on this topic, please contact Terry Sunderland at t.sunderland@cgiar.org.
Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.