Upaya terus menerus harus dilakukan untuk membasahi dan menanami kembali lahan gambut di seluruh kepulauan Indonesia. Demikian dikatakan peserta lokakarya daring baru-baru ini.
Jika ekosistem rawa ini terestorasi, jutaan orang akan mendapat manfaat, kata para ahli pada webinar yang digelar Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Pusat Penelitian Internasional Lahan Gambut Tropis (ITPC).
Lebih dari 350 delegasi dari 34 negara, termasuk para peneliti dan pengambil kebijakan internasional terkemuka, bertemu menggunakan Zoom untuk membantu menyusun kriteria dan indikator pemantauan hasil restorasi. Didukung oleh pemerintah Indonesia, PBB dan mitra lainnya, para peserta mendiskusikan proses awal menentukan aspek kunci dan metodologi yang tepat dalam mengidentifikasi indikator untuk memantau restorasi lahan gambut.
“Salah satu pesan utama yang kami dengar hari ini, gambut harus basah, harus ditanami dan harus memberi penghasilan untuk dapat menghilangkan kemiskinan masyarakat lokal,” kata Daniel Murdiyarso, ilmuwan utama CIFOR. “Pertanyaannya, bagaimana mengukur dan apa alat yang kita perlukan untuk melihat keberhasilan, atau mungkin kegagalan restorasi gambut.”
Dalam beberapa dekade terakhir, lahan gambut dunia terdegradasi, dikeringkan dan dibakar, khususnya untuk tujuan pertanian dan kehutanan, dan melepas 2 miliar metrik ton karbon dioksida per tahun ke atmosfer. Jumlah karbon lepas ini menyumbang sekitar 5 persen total karbon global.
Para ahli tengah bersiap mengantisipasi peluncuran Satu Dekade Restorasi Ekosistem PBB 2021-2030. Lahan gambut terdeforestasi dan terdegradasi harus dimasukkan jika ingin mencapai target global. Selain itu, lahan gambut merupakan komponen kunci upaya Indonesia menurunkan emisi melalui komitmen kontribusi nasional (NDCs) yang dipersyaratkan oleh Perjanjian Paris di bawah Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC).
“Dalam kondisi alami, lahan gambut menyokong aneka ragam habitat dan menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati,” kata Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, dalam sambutannya. “Di balik urgensinya bagi jasa lingkungan dan sumber ekonomi, lahan gambut tropis merupakan ekosistem paling rentan dan terancam oleh aktivitas antropogenik.”
Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem terpenting di bumi. Meski hanya menutupi 3 persen permukaan lahan, gambut menyimpan karbon dua kali lipat dibanding seluruh hutan dunia, dan berperan penting dalam perang melawan perubahan iklim. Lahan basah ini kaya materi organik yang terakumulasi ribuan tahun dan menyediakan jasa esensial bagi masyarakat dan bumi dalam mengatur air, menyediakan pangan dan menyokong keanekaragaman hayati.
“Indonesia memiliki lebih dari 500 ekosistem lahan gambut tropis yang membentang dari Aceh hingga Papua – hampir sama dengan jarak dari Portugal ke Moskow,” kata Nazir Foead, kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), dalam sambutannya. “Puluhan juta orang tinggal di kawasan gambut, jadi kita harus menemukan solusi bagi petani membudidayakan lahan tanpa merusak integritas ekosistem.”
Sebagai bagian NDC, Indonesia berkomitmen merestorasi 2 juta hektare lahan gambut. Pada titik ini, Indonesia telah membentuk lembaga khusus restorasi lahan gambut (BRG) dan melarang pembakaran untuk membersihkan lahan gambut karena dapat melepas karbon 10 kali lipat dibanding kebakaran hutan non-gambut. Memiliki 36 persen lahan gambut tropis dunia, Indonesia menempati peringkat kelima sebagai pelepas emisi gas rumah kaca akibat degradasi dan kebakaran lahan gambut. BRG mengkoordinasikan upaya restorasi di tujuh provinsi di bawah pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Inti aktivitas yang dilakuan adalah tiga R: rewetting (pembasahan kembali) lahan gambut kering, revegetasi bentang alam dan revitalisasi masyarakat kondisi sosioekonomi masyarakat lokal.
Keberhasilan restorasi mengarah pada hasil positif dan membantu mencapai target peningkatan kondisi habitat dan menurunkan emisi gas rumah kaca, kata Rupesh Bhomia dari CIFOR, yang memoderatori salah satu sesi webinar. Oleh karena itu, perlu untuk mampu memantau aktivitas restorasi dan mendokumentasikan keberhasilan intervensi secara sistematis dan terorganisasi.
Prosedur pemantauan memungkinkan para ilmuwan untuk menyesuaikan pendekatan mereka dalam merestorasi lahan gambut secara jangka panjang, seraya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas selaras panduan UNFCCC. Dalam konteks ini, pendekatan kriteria dan indikator dapat digunakan saat tujuan pemantauan terdefinisi jelas, dan target telah ditetapkan. Agar efektif, kriteria dan indikator seharusnya mencakup aspek biofisik, sosial, ekonomi dan tata kelola berdasarkan rentang karakteristik, termasuk relevansi dan kemudahan aplikasinya, demikian menurut para pembicara. Kriteria dan indikator dapat ditarik dari prinsip-prinsip yang digunakan dalam kriteria dan indikator perjanjian multilateral, seperti Konvensi Ramsar dan Agenda Pembangunan Berkelanjutan PBB.
Lokakarya daring ini menampilkan presentasi dari Sri Parwati Murwani Budisusanti, Direktur Pengendalian Kerusakan Lahan Gambut KLHK; Lera Miles dari Pusat Pemantauan Konservasi Lingkungan Hidup Dunia PBB (UNEP-WCMC) dan Maria Nuutinen dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Topik yang dibahas meliputi kerangka regulasi, prinsip-prinsip teoritis, perjanjian internasional dan teknik canggih (pemantauan satelit) yang relevan dalam pemantauan dan restorasi lahan gambut.
“Dimungkinkan untuk memiliki sekelompok inti indikator yang dapat diagregasi dalam skala berbeda, seperti estimasi emisi gas rumah kaca yang dihindari atau jumlah orang yang terlibat atau dipekerjakan dalam restorasi,” kata Miles saat menjawab pertanyaan peserta. “Selain itu, ketika indikator berbeda digunakan untuk topik yang sama pada tempat berbeda, kita dapat melihat pada arah perubahan indikator dan melihat seberapa banyak peningkatan atau penurunannya.”
Nuutinen dari FAO mendorong pemantauan ekosistem yang holistik, kokoh dan terkoordinasi yang menekankan pada pembasahan lahan gambut; spesies tutupan lahan dan pemantauan tanah; selain juga sistem peringatan dan aksi dini yang fokus pada pencegahan kebakaran. Tujuan utama restorasi lahan gambut adalah untuk menjaga keanekaragaman hayati, menghindari emisi gas rumah kaca, menghentikan kehilangan kawasan pantai dan pesisir dari subsiden, dan menghentikan kebakaran lahan gambut, katanya.
Bagian kedua webinar menampilkan empat pembicara, Budi Wardhana, deputi perencanaan dan kerjasama Badan Restorasi Gambut; Azwar Ma’as dari Universitas Gadjah Mada; Agustinus Tampubolon, spesialis paludikultur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; dan Sonny Mumbunan dari Universitas Indonesia. Mereka membahas topik seperti keseimbangan air lahan gambut, paludikultur (pertanian lahan gambut) hingga pendanaan upaya restorasi. Haris Gunawan, Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG, menutup webinar dengan permintaan untuk mempertimbangkan kriteria dan indikator secara holistik berdasar pada empat pilar utama: biofisik, sosial, ekonomi dan tata kelola.
Kriteria dan indikator tersebut diharapkan dapat ditetapkan pada akhir tahun ini, kata Murdiyarso.
Webinar ini merupakan yang pertama dari rencana empat webinar untuk menggali lebih dalam topik terkait dan mengidentifikasi kriteria dan indikator yang tepat melalui proses konsultatif dan partisipatoris dengan menggabungkan berbagai saran dari seluruh pemangku kepentingan.
Para peserta juga diingatkan mengenai penjadwalan Kongres Lahan Gambut Internasional ke-16, pada 2–7 Mei 2021 di Tallinn, Estonia. Kegiatan tahun ini ditunda akibat pandemi virus corona.
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.