Pada tahun-tahun awal karirnya, etnografer Carol J. Pierce Colfer melakukan observasi beragam budaya melalui telaah perspektif feminis gelombang kedua.
Saat perempuan di belahan barat mendorong persamaan hak, Colfer dan suami pertamanya berjuang untuk merdeka dari peran biner pria-wanita. Mereka berbagi tugas, memasak dan mengurus rumah, bergantian merawat anak dan mencoba-coba hubungan seksual di luar nikah.
“Saya benar-benar feminis radikal saat itu,” katanya.
Melalui prisma itulah, selama persinggahannya sebagai peneliti di hutan hujan suhu sedang AS dan di hutan hujan tropis Indonesia, ia mengobservasi kebiasaan dan relasi masyarakat sekitar hutan.
Dalam memoar spontannya, Colfer yang kini adalah seorang mitra senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), dan dosen tamu Program Asia Tenggara Universitas Cornell, berbagi perspektif personalnya agar bisa lebih mengelaborasi refleksi 50 penelitian mengenai gender dan hutan.
Dalam prosesnya, ia membalikkan beberapa parameter umum yang telah diterima dalam kajian gender tertentu, yang menyatakan bahwa dalam kebiasaan dan praktik, lelaki lebih dipertimbangkan daripada yang sebenarnya mereka terima saat ini.
“Sudah itu ada perubahan, meski pada 1970-an literatur penelitian menyatakan bahwa semua lelaki berlaku kasar, mendominasi dan mengendalikan – tidak ada yang positif mengenai mereka,” katanya.
“Memahami lelaki sebagai individu – pengetahuan, kemampuan, kebutuhan dan tujuan – dalam keseluruhan konteks sosial menjadi dasar jika kita ingin mencari pola manajemen hutan yang memberi manfaat bagi lingkungan maupun penghuninya.”
Dalam Masculinities in Forests: Representations of Diversity (Earthscan dari Routledge 2020), Colfer melakukan eksaminasi beragam bentuk maskulinitas yang dia hadapi sejak 1970 hingga saat ini.
Ia memaparkan, bagaimana hidup bersama para penebang pohon di masyarakat Bushler Bay di AS, dan berbagai analisis dari pelaku pada penelitian yang ia lakukan di masyarakat Long Segar, Kalimantan Indonesia dan Sitiung di Sumatera.
“Dari analisis mendalam kasus-kasus tersebut, saya menunjukkan beberapa variasi yang ada secara global dalam maskulinitas hutan, dan pada beberapa variasi pilihan dan preferensi yang dibuat lelaki dalam hutan ketika membangun identitas mereka sendiri,” katanya, seraya menjelaskan bahwa pendekatan 360 derajatnya juga melibatkan analisis dari para peneliti kehutanan.
MENDEFINISIKAN KERAGAMAN
Untuk lebih mengurai temuannya, ia mengunakan sebuah harpa sebagai kerangka analogi yang menawarkan analisis komparatif maskulinitas dalam budaya berbeda.
Kerangka triangular instrumen bersenar ini merepresentasikan stabilitas dan batasan yang diberikan pada lelaki dalam beragam budaya, dan senar merepresantasikan elemen kebebasan dan pilihan individual mereka. Sebagian nada menjadi dominan – atau lebih dihargai – dalam budaya tertentu.
Harpa menawarkan cara untuk memperoleh perspektif maskulinitas dalam memahami dinamika gender.
“Meski harpa diasosiasikan dengan feminitas di Bumi Utara, yang mungkin bukan pilihan umum untuk kajian maskulinitas, konsep ini, agak sejalan bagi orang barat, dan dapat membantu meningatkan pembaca bahwa kita memandang maskulinitas melalui mata perempuan,” kata Colfer, yang mengunjungi kembali dua lokasi penelitian beberapa tahun lalu dalam memformulasikan secara utuh analisisnya.
“Saya menunjukkan beberapa variasi yang ada secara global terkait maskulinitas hutan dan beberapa variasi pilihan, serta preferensi identitas yang mereka bangun sendiri,” tambahnya.
Buku ini membalikkan beberapa asumsi yang ada, bahwa lelaki umumnya adalah penekan dominan yang mengendalikan sumber daya dan memonopoli kekuatan atas perempuan. Perlu diakui bahwa sebagian masyarakat hutan dibentuk oleh ras, pekerjaan atau identitas lain yang menempatkan mereka tidak menguntungkan dibanding sebagian lelaki lain dan perempuan.
Pada masyarakat penebang Bushler Bay dan Dayak Long Segar, penghidupan sangat erat dengan hutan, yang artinya jika perubahan terjadi dalam manajemen hutan, dampaknya akan sangat kuat, kata Coler.
Bushler Bay sebelumnya menjadi sumber kayu, kayu bakar dan penghasilan, namun kini umumnya menjadi kawasan rekreasi. Pengetahuan hutan perempuan terkesampingkan akibat empasis pada kayu dan asumsi dari manajer formal hutan bahwa hutan adalah tempat yang maskulin. Alhasil, kebijakan disusun tanpa pemahaman implikasi kultural yang mengubah kawasan.
Di Long Segar, hutan kini terganti oleh perkebunan kelapa sawit. Hanya sedikit hutan alami tersisa di sepanjang sungai, tempat penduduk berladang secara berpindah, praktik pertanian yang kini tidak berkelanjutan karena terbatasnya akses ke lahan tradisional.
Meskipun begitu, di Sumatera, tiga kelompok etnis berbeda hidup, meski tidak terhubung erat dengan hutan, mereka punya kepentingan lain.
“Mereka tidak memiliki semacam tingkat hubungan yang ditemukan di dua lokasi,” kata Colfer. “Bagi masyarakat yang terhubung secara dekat dengan hutan, menjadi urgen untuk mempertimbangkan apa yang diinginkan dan bagaimana memanfaatkannya, serta apa tujuan mereka. Bagi mereka yang tidak, pemerintah bisa hadir dengan alternatif pemanfaatan hutan dengan tidak terlalu merusak masyarakat.”
Semua masyarakat hutan cenderung tertekan, namun sebagian besar literatur gender terfokus pada tekanan pada perempuan oleh lelaki termasuk oleh pihak luar yang juga lelaki, tambahnya.
“Maskulinitas sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, dan dalam kajian gender di hutan, kita terfokus pada apa yang dilakukan perempuan dalam dua dekade ini,” kata Colfer. “Buku ini merupakan upaya untuk juga mulai menceritakan apa yang lelaki lakukan, tanpa mengesampingkan pentingnya menceritakan apa yang perempuan lakukan.”
Secara umum, ia menawarkan pendekatan manajemen kolaboratif adaptif – pertukaran antara pengetahuan kosmopolitan dan adat yang bisa direplikasi di seluruh dunia.
“Bukan berarti ada jalan pintas bagi kita, namun kita perlu bekerja secara kolaboratif dengan masyarakat untuk menemukan apa yang mereka inginkan dan perlukan, serta menemukan pengetahuan masyarakat untuk kemanfaatan,” katanya. Buku ini segera terbit dan tersedia pada 20 September 2020.
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.