Seiring dengan makin populernya konsep dan prinsip-prinsip pendekatan bentang alam berkelanjutan (ILA), para peneliti dan praktisi tidak hanya perlu mempertimbangkan potensinya untuk mengatasi timbal balik sosio-ekonomi dan lingkungan yang dihadapi masyarakat dan alam, tetapi juga bagaimana memantau dan melaporkan hasil ILA dalam membangun basis bukti yang menunjukkan pada kita apa yang berjalan dan apa yang tidak, ketika pendekatan ini diimplementasikan.
Kesimpulan kunci dari sebuah makalah terbaru menyatakan, kurangnya bukti dalam literatur ilmiah terkait efektivitas ILA, menyulitkan untuk menunjukkan di mana, dan dalam kondisi apa, pendekatan bentang alam berhasil mencapai beragam tujuan – atau sekadar apakah pendekatan itu pantas.
“Hal ini terutama menimbulkan pemahaman tak utuh mengenai tata kelola dan kemanfaatan inisiatif ini dalam praktiknya,” tulis kesimpulan makalah berjudul: “Pendekatan bentang alam terintegrasi di wilayah tropis: Pembelajaran singkat.” Dipublikasikan di jurnal Land Use Policy Juni 2020, makalah ini berbasis pada kajian atas literatur, temuan, prinsip dan panduan yang dikembangkan dari penelitian dan implementasi pemanfaatan dan pendekatan bentang alam.
Makalah terfokus pada wilayah tropis, yang merepresentasikan “pertimbangan geografis unik” karena sebagian besar wilayah tropis belum mencapai kesamaan derajat pembangunan, serta konsentrasi kemiskinan dan malnutrisi ekstrem yang kerap muncul.
Pada saat yang sama, wilayah tropis menjadi subyek degradasi lingkungan pada tingkat yang tak terperi. Hal ini terutama terjadi karena cepatnya perubahan lahan terkait penggundulan hutan untuk pertanian, ekstraksi dan spekulasi sumber daya. Terlebih lagi, sebagian besar keanekaragaman hayati yang berada di wilayah tropis, mempertinggi pertaruhan dalam tuntutan untuk pengelolaan secara berkelanjutan wilayah-wilayah ini.
Dalam makalah, kami membedakan pendekatan bentang alam sebagai strategi tata kelola yang “melibatkan beragam pemangku kepentingan dalam menselaraskan tujuan sosial dan lingkungan pada skala bentang alam untuk mengidentifikasi timbal balik dan peluang sinergi untuk manajemen lahan berkelanjutan dan berkeadilan.” Upaya seperti ini merupakan inti dari kerja yang tengah kami lakukan di Ghaha, Indonesia dan Zambia: Kolaborasi untuk Mengoperasionalkan Pendekatan Bentang Alam, Pembangunan dan Keberlanjutan (COLANDS).
Agar dapat bekerja secara efektif dalam sebuah bentang alam, diperlukan keluasan pemahaman dan pengetahuan, selain itu konteks selalu sangat penting. Tetapi kami menemukan beberapa konsistensi dalam upaya terbaru pengembangan prinsip-prinsip integrasi manajemen bentang alam: Urgensi untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan kunci dalam bentang alam, memastikan kekhawatiran bersama dapat dan diupayakan menjadi bagian negosiasi trayektori bentang alam masa depan dalam semacam wahana beragam-pemangku kepentingan.
Kelompok pemangku kepentingan seharusnya merepresentasikan keragaman kepentingan dan sektor di setiap bentang alam, dan secara independen difasilitasi untuk terus-menerus menimbang dan me-reevaluasi kebutuhan dan tujuan. Akhirnya, keseluruhan proses perlu didukung oleh pemantauan dan kerangka evaluasi yang tepat.
Makalah ini kemudian mengangkat empat tantangan kunci yang harus diatasi dalam implementasi pendekatan bentang alam: celah antara sains-praktik-kebijakan yang terus muncul dalam tata kelola lingkungan; tantangan terkait pelibatan sektor-swasta; keterbatasan bukti terkait implementasi dan efektivitas; dan tantangan terkait pemantauan dan evaluasi.
Memahami kompleksitas politik sejarah tenurial lahan menjadi penting, dan pendekatan bentang alam perlu mempertibangkan hak dan tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan, selain kompleksitas situasi kelembagaaan, tulis makalah tersebut. Mempertimbangkan efek kejelasan atau peningkatan hak tenurial pemangku kepentingan lokal pada manajemen sumber daya alam juga penting.
Selain itu, “politik pengetahuan” yang memprioritaskan kepakaran di atas pengetahuan lokal dan memelihara arus utama pemikiran dalam jaringan sosial masih cenderung terabaikan dalam literatur akademik ILA, meskipun terdapat bukti bernilainya pengetahuan lokal terkait pertanian dan intervensi lingkungan, papar makalah ini.
Mendorong dukungan finansial lebih besar dari sektor swasta perlu secara hati-hati dipertimbangkan. Pendekatan bentang alam merupakan proses jangka panjang yang melibatkan beragam bentuk aktor, walaupun donor biasanya mendukung siklus proyek dua atau tiga tahun; hasilnya adalah ketidaksesuaian dengan kebutuhan lokal.
Makalah ini kemudian menyimpulkan, meski terhimpun sejumlah harapan dalam pendekatan bentang alam, kita perlu aksi lintas-disiplin yang lebih terkonsertasi dalam menjawab kompleksitas ekonomi politik dalam bentang alam tropis yang ditangani.
Langkah di masa depan perlu lebih menjalin kerja bersama masyarakat lokal, pengambil keputusan dan organisasi penghubung dalam mengatasi kendala yang ada dan terimplementasikan dalam beragam konteks dengan sistem pemantauan, evaluasi dan pelaporan yang kuat. Dengan cara itu, bisa dibangun pemahaman lebih besar mengenai apa yang berjalan, mengapa, dan dalam kondisi apa.
——–
COLANDS adalah bagian dari Inisiatif Iklim Internasional (IKI) dan didanai oleh Kementerian Federal Jerman untuk Lingkungan, Konservasi Alam, dan Keselamatan Nuklir (BMU)
Riset doktoral ini diselenggarakan di Fakultas Kehutanan Universitas British Columbia dan Institut Penelitian Ilmu Sosial (AISSR) Universitas Amsterdam.
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.