Bagikan
0

Bacaan terkait

Amazon bukan hanya kawasan penting dalam mengatasi krisis iklim dan keanekaragaman hayati—kawasan ini juga merupakan wilayah yang secara turun temurun dimiliki oleh masyarakat adat dan komunitas lokal. Oleh karena itu, upaya konservasi hutan tidak dapat mengabaikan hak-hak masyarakat dan komunitas ini yang telah hidup dan mengelola wilayah ini selama berabad-abad.

Pada tahun 2010, Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-16 (COP16) menjadi momen penting dengan disepakatinya Cancun Safeguards (aturan). Aturan ini dibuat untuk mencegah dampak negatif terhadap kondisi sosial dan lingkungan berbagai kegiatan—terutama dalam program REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan).

Yang membuat Cancun Safeguards istimewa adalah tujuannya yang tidak sekadar mencegah dampak negatif. Pedoman ini juga bertujuan untuk mendorong hasil-hasil sosial dan lingkungan yang positif. Dengan demikian, potensi mereka melampaui sekadar “tidak merugikan”, dan justru menawarkan peluang strategis untuk memperkuat hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang tinggal di wilayah hutan.

Namun, UNFCCC tidak menetapkan panduan implementasi yang rinci, sehingga negara-negara pelaksana REDD+ memiliki keleluasaan untuk menafsirkan dan menerapkannya sesuai kerangka hukum dan politik masing-masing. Dalam praktiknya, hal ini terkadang membatasi potensi transformasi dari pengaman sosial tersebut. Akibatnya, implementasi REDD+ dan aturannya menghadirkan peluang sekaligus tantangan.

CIFOR-ICRAF menerbitkan sebuah InfoBrief terbaru bagian dari Studi Perbandingan Global REDD+ menyoroti bagaimana aturan ini dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk menghindari dampak negatif, tetapi juga untuk “melangkah lebih jauh” dalam mengakui dan menegakkan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal. Studi ini menitikberatkan pada dua aturan utama:

  • Penghormatan terhadap pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal; serta
  • Partisipasi penuh dan efektif dalam perancangan dan implementasi REDD+.

Studi Kasus: Peru

Peru memiliki kerangka hukum yang relatif kuat dalam mengakui hak-hak masyarakat adat—termasuk ketentuan mengenai sertifikasi tanah kolektif dan hak atas Persetujuan atas Dasar Informasi Awal tanpa Paksaan (Free, Prior and Informed Consent atau FPIC). Namun, dalam praktiknya, penafsiran dan penerapan aturan ini masih terbatas.

“Penafsiran Peru terhadap Cancun Safeguards merupakan langkah maju yang signifikan dibandingkan dengan pencapaian negara-negara REDD+ lainnya. Namun demikian, pendekatan ini masih belum sepenuhnya mengadopsi spektrum hak-hak masyarakat adat yang lebih luas sebagaimana diakui dalam UNDRIP dan keputusan UNFCCC,” ungkap Juan Pablo Sarmiento Barletti, peneliti CIFOR-ICRAF dan salah satu penulis studi ini.

Dalam konteks ini, studi tersebut membandingkan perlindungan hukum yang telah ada di Peru dengan potensi penerapannya melalui inisiatif REDD+. Hasilnya menunjukkan bahwa kerangka hukum Peru justru membuka peluang bagi aturan ini untuk memainkan peran yang lebih struktural dalam memperkuat dan menghormati hak-hak komunitas.

“Jika penafsiran nasional terhadap aturan ini hanya mencerminkan status quo hukum dan politik yang ada, bagaimana REDD+ bisa ‘melangkah lebih baik’ dalam mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat?” tanya Tamara Lasheras, salah satu penulis lainnya. “Aturan ini memiliki potensi bukan hanya untuk melindungi, tetapi juga memperjelas, menghormati, dan memperkuat hak-hak yang masih ambigu dalam hukum Peru.”

Rekomendasi untuk “Melangkah Lebih Baik”

Agar REDD+ benar-benar berkontribusi pada penguatan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal di Peru, para penulis mendorong pendekatan yang lebih ambisius—lebih dari sekadar menghindari dampak buruk. Beberapa rekomendasi kunci mencakup:

  • Mendorong pengelolaan sumber daya alam dan tanah yang ditentukan sendiri: Pengakuan hukum atas hak masyarakat adat untuk memiliki tanah secara kolektif, serta pengelolaan hutan yang dipimpin langsung oleh mereka, sangat penting untuk mencapai tujuan REDD+. Aturan perlindungan ini bisa membantu menghilangkan hambatan hukum dan birokrasi yang menghalangi kepemilikan kolektif atas hutan, menyelesaikan sengketa lahan yang tumpang tindih, dan memperkuat pengakuan terhadap tanah adat.
  • Memastikan proses konsultasi awal yang efektif: Komunitas adat perlu mendapatkan informasi yang jelas dan tepat waktu, serta didukung oleh pendampingan teknis yang memadai. Proses ini harus dilakukan secara terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini penting untuk memastikan mereka benar-benar dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut wilayah mereka, sesuai dengan hak (Free, Prior and Informed Consent / FPIC).
  • Menetapkan hak atas karbon: Mahkamah Konstitusi Peru telah menyatakan bahwa hak atas sumber daya alam mencakup hak untuk mendapatkan manfaat dari penggunaannya. Dalam konteks ini, penting untuk memperjelas apakah prinsip tersebut juga berlaku untuk hak kolektif atas karbon dalam skema REDD+.
  • Membangun mekanisme pembagian manfaat REDD+ yang adil: Hukum di Peru sudah mengakui bahwa masyarakat adat berhak mendapatkan manfaat dari pembangunan di wilayah mereka, dan berhak menentukan apa yang menjadi prioritas. Jika ada sistem pembagian manfaat REDD+ yang jelas dan resmi—serta melibatkan perempuan—itu bisa membantu memperkuat akses mereka terhadap manfaat, sekaligus mendorong peran aktif dalam pengambilan keputusan di komunitas.
  • Mengembangkan sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) untuk aturan ini: Meski UNFCCC tidak mewajibkan sistem MRV khusus untuk aturan ini, keberadaan alat ini akan meningkatkan transparansi, melacak kemajuan, serta mengidentifikasi hambatan atau celah dalam implementasi.

Artikel ini diterjemahkan dari versi aslinya dalam bahasa Spanyol, yang tersedia di Los Bosques: https://forestsnews.cifor.org/91751/salvaguardas-redd-en-peru-como-pueden-contribuir-a-mejorar-los-derechos-de-las-comunidades?fnl=

Untuk informasi lebih lanjut mengenai studi ini, Anda dapat menghubungi Juan Pablo Sarmiento Barletti di j.sarmiento@cifor-icraf.org.

Kegiatan ini merupakan bagian dari Global Comparative Study on REDD+ yang dilaksanakan oleh Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF). Penelitian ini mendapat dukungan dari Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad), International Climate Initiative (IKI) dari Kementerian Federal Lingkungan Hidup, Konservasi Alam, dan Keselamatan Nuklir Jerman, serta CGIAR Research Program on Forests, Trees and Agroforestry (CRP-FTA), dengan pendanaan dari CGIAR Trust Fund.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org