Berita

Ketika penggurunan semakin meluas, perempuan melawan balik.

Dari Nigeria sampai Mali, perempuan memimpin upaya akar rumput yang berani untuk melawan proses penggurunan di wilayah Sahel, Afrika.
Bagikan
0
Sahel, yang membentang seluas 5,4 juta km², adalah zona transisi dengan vegetasi yang jarang antara gurun kering dan hutan tropis di Afrika. Foto oleh Daniel Tiveau / CIFOR-ICRAF.

Bacaan terkait

Wilayah Sahel — sabuk rapuh yang membentang melintasi Afrika — merupakan salah satu ekosistem paling rentan di dunia. Wilayah ini terus berada dalam kondisi genting karena menghadapi krisis lingkungan yang semakin parah, di mana perubahan iklim mempercepat proses penggurunan, deforestasi, dan degradasi lahan.Dampak ini telah mengubah hidup jutaan orang, dan perempuan menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak, padahal mereka memegang peran penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi di kawasan tersebut.

Untuk mengatasi tantangan yang terus berlanjut ini, inisiatif Great Green Wall (GGW) semakin mendapat perhatian dan dukungan. Diluncurkan pada tahun 2007, upaya yang dipimpin oleh negara-negara Afrika ini bertujuan untuk memulihkan 100 juta hektar lahan terdegradasi dengan menanam ‘dinding’ pohon sepanjang sekitar 8.000 kilometer di wilayah Sahel, dari Senegal hingga Djibouti. Proyek ini dirancang untuk mengatasi degradasi lahan sekaligus menjawab isu-isu yang lebih luas seperti ketahanan pangan, konflik, dan perpindahan penduduk akibat perubahan iklim.

Diskusi yang terus berlangsung yang difasilitasi oleh Centre for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) serta Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), yang didukung oleh Uni Eropa melalui program Knowledge for Great Green Wall Action (K4GGWA), telah menegaskan kembali peran penting perempuan dalam mencapai tujuan inisiatif ini.

“Perempuan sangat penting untuk memastikan bahwa GGW berkembang secara berkelanjutan,” kata Emem Umoh, pendiri dan CEO dari Women in Nature Conservation Organisation (WINCO) di Nigeria. “Ini adalah contoh konkret bagaimana umat manusia dan alam bekerja sama untuk menciptakan warisan yang luar biasa bagi generasi mendatang.”

Perempuan mencakup lebih dari setengah dari 502 juta orang yang tinggal di 11 negara anggota GGW. Angka ini menunjukkan kehadiran yang besar sekaligus kesempatan penting untuk memastikan bahwa upaya lingkungan memperhatikan kebutuhan dan kontribusi perempuan.

Niclas Gottmann, pejabat terkait kebijakan untuk lahan dan lingkungan di Komisi Eropa, menekankan pentingnya mengintegrasikan gender dalam semua aspek inisiatif ini. “Great Green Wall tidak akan berhasil tanpa kesetaraan gender sebagai inti dari intervensi kita,” katanya, sambil menunjukkan inovasi luar biasa dan kepemimpinan yang sudah ditunjukkan oleh perempuan.

Tindakan kecil, berdampak besar

Di seluruh Sahel, perempuan mengambil langkah-langkah konkret untuk membantu memulihkan lahan dan membangun komunitas yang tangguh. Di Nigeria, Umoh mendirikan taman biologis di komunitasnya di mana WINCO telah menanam lebih dari 500.000 bibit tanaman asli untuk tujuan restorasi dan mata pencaharian. Dia juga mendirikan Forum Konservasi Komunitas Perempuan Ikot Akpabin (IkaWIC), platform konservasi pertama yang dipimpin perempuan pribumi di Nigeria.

“Perempuan adalah bagian yang tangguh dan kuat dalam konservasi alam,” katanya, sambil menambahkan bahwa ia berkomitmen untuk melatih perempuan lain dalam pertanian ramah iklim dan kegiatan yang bisa meningkatkan pendapatan seperti budidaya nangka

Di Niger, Hadizatou Hamidou, presiden Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) Jupem-Aimane, memimpin upaya pemulihan tanah dan telah membantu mendirikan kebun pasar yang dikelola oleh dan untuk perempuan.

Di Burkina Faso, perusahaan yang dipimpin perempuan, BIOPROTECT, memproduksi biopestisida dan peningkat tanah organik dari sisa-sisa ternak dan bahan alami lainnya untuk menggantikan pupuk kimia. Sejak diluncurkan pada 2011, perusahaan ini telah mendaur ulang lebih dari 15.000 ton limbah hewan.

“Jika kita tidak mengambil tindakan, limbah ini bisa sangat berbahaya bagi alam,” kata Martine Bonkoungou Sawadogo, Direktur Pengadaan BIOPROTECT. “Kami menggunakan kompos ini untuk menanam pohon.”

Untuk memperkuat upaya mereka, perempuan di seluruh wilayah ini saling terhubung melalui inisiatif seperti Women Green Platform, yang didirikan oleh Keïta Aïda M’Bo, presiden ENERGIA yang berbasis di Mali dan mantan Menteri Lingkungan Hidup. Platform ini menyediakan berbagai sarana bagi perempuan untuk berinteraksi, berbagi pengetahuan, dan memperjuangkan hak mereka dalam kerangka inisiatif Great Green Wall (GGW).

“Platform ini memberi akses perempuan untuk bersuara di forum-forum di mana mereka seringkali dikesampingkan,” kata M’Bo. “Ini adalah fondasi bagi pemberdayaan ekonomi, sosial, dan politik perempuan di kawasan ini.”

Platform ini juga mendorong penguatan kapasitas, dialog kebijakan, dan pertukaran informasi di bidang-bidang seperti pengelolaan lahan, keanekaragaman hayati, dan ketahanan terhadap perubahan iklim.

Tantangan yang terus berlanjut, harapan yang tetap hidup

Meskipun semangat terus tumbuh, tantangan besar masih tetap  menghantui. Perempuan masih menghadapi hambatan dalam mengakses pembiayaan iklim, pelatihan, dan ruang pengambilan keputusan. Masih terdapat kesenjangan dalam menyelaraskan kebijakan gender nasional dengan strategi GGW, dan pengetahuan lokal sering kali belum diakui sepenuhnya.

“Perempuan harus diberi pelatihan untuk merancang inisiatif-inisiatif yang inovatif dan mengakses pembiayaan secara langsung,” kata M’Bo. “Melewati faktor-faktor penghambat adalah kunci untuk mempercepat dampak.”

Ia mendorong adanya data yang lebih baik mengenai mekanisme pendanaan serta pendekatan yang lebih terstruktur untuk memperluas proyek-proyek yang telah berhasil, seperti Women Green Platform.

Hadizatou Hamidou juga menekankan pentingnya investasi dalam rehabilitasi lahan, kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan ramah lingkungan yang mendukung keberlanjutan serta kohesi sosial. “Menggabungkan pengetahuan tradisional dengan inovasi sangat penting untuk menjaga keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem,” ujarnya. “Misalnya, petani kini menggunakan lubang zaï dan bentuk setengah lingkaran untuk menanam tanaman sambil mengisi kembali air tanah.”

Para peserta terus menyerukan pemetaan jaringan perempuan, memperluas praktik restorasi lahan yang efektif, dan mendorong kemauan politik untuk mengintegrasikan perspektif perempuan dalam seluruh upaya Great Green Wall (GGW).

Seperti yang disampaikan oleh Kessen Fatoumata Tall dari Asosiasi Mauritanienne pour l’Environnement (AME – Mauritania untuk Linkungan Hidup) dan penulis bersama film pemenang penghargaan Timbuktu: “Orang-orang sedang menunggu untuk mengetahui nasib mereka.”

Semakin lama, perempuanlah yang membantu membentuk masa depan.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org