Saat ‘lapangan’ adalah hutan: Kompleksnya pengumpulan data di Dataran Tinggi Managalas

Desa-desa di puncak bukit, sinyal yang tidak stabil, dan kelelahan penelitian semuanya muncul dalam cerita sejauh ini
Bagikan
0
Pemandangan udara bentang alam Kawasan Konservasi Managalas, Papua Nugini. Foto oleh Dean Arek / CIFOR-ICRAF.

Bacaan terkait

Di Desa Joive, di tepi timur Dataran Tinggi Managalas di Papua Nugini (PNG), sekelompok pemuda setempat berkumpul di tanah terbuka berwarna merah, dinaungi oleh jajaran pohon pinang [Areca catechu] yang tinggi. Mereka bersiap untuk menyurvei penduduk di desa-desa dan dusun-dusun sekitar tentang mata pencaharian, preferensi penggunaan lahan, dan sikap mereka terhadap konservasi. Jawaban mereka akan menjadi dasar pembuatan rencana pengelolaan dan kegiatan proyek di masa mendatang oleh Kawasan Konservasi Managalas (MCA). Tugas untuk hari ini tampaknya sederhana, tetapi sebenarnya tidak; pengalaman ini memberikan gambaran tentang tantangan yang lebih luas dalam melakukan penelitian di tempat-tempat yang luas, beragam, dan terisolasi seperti dataran tinggi tersebut.

Will Unsworth, seorang ilmuwan kehutanan di Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) yang memimpin proyek MCA yang didanai Uni Eropa itu, dengan hati-hati membagikan telepon pintar proyek dan mengingatkan kelompok tersebut cara mencatat respons orang-orang di aplikasi pengumpulan data KoboCollect. Seorang kolega membagikan bungkusan seukuran saku berisi kerupuk persegi keras rasa daging sapi—camilan berharga di tempat yang jauh, bergelombang, dan tidak dapat dicapai dengan kendaraan dari supermarket terdekat—untuk mendukung tim tersebut dalam perjalanan pengumpulan informasi mereka.

Sebagai bagian dari proyek, tim membagikan ponsel yang telah dilengkapi dengan aplikasi pengumpulan data KoboCollect. Foto oleh Danumurthi Mahendra / CIFOR-ICRAF.

Kemudian, para penjaga hutan itu hutan berangkat, terbagi dalam kelompok-kelompok kecil dan mengikuti jalan setapak melewati hutan menuju desa-desa dan dusun-dusun tertentu yang telah ditugaskan kepada mereka hari itu. Hanya ada satu jalan melalui MCA seluas 214.696 hektare dan bagi banyak masyarakat, jaraknya beberapa jam berjalan kaki. Dusun yang saya kunjungi adalah kumpulan gubuk bambu di atas lereng bukit yang curam, dikelilingi oleh perkebunan kopi yang tumbuh liar dan hutan lebat.  Sebelumnya para penyurvei itu telah mengirim seorang asisten lapangan (runner) untuk mengatur kunjungan tersebut, tetapi saat kami mencapai puncak bukit dan melangkah ke tempat terbuka, dusun itu sunyi. Seorang pria tua muncul dan memberi tahu kami bahwa sebagian besar orang telah pergi bekerja di kebun mereka dan tidak akan kembali sampai nanti. Area berkebun di PNG biasanya bukan sebidang tanah di samping rumah seseorang—melainkan, itu adalah area terbuka di hutan yang ditetapkan berdasarkan garis keluarga dan klan, dan itu mungkin berjarak berjam-jam berjalan kaki dari rumah seseorang.

Para calon peneliti itu tidak terkejut. Bagi masyarakat petani subsisten seperti ini, manfaat abstrak dari berpartisipasi dalam survei lainnya tidaklah sebanding dengan daya tarik nyata dari seikat ubi atau pisang raja segar. Beberapa penjaga hutan itu mengeluarkan kantong pinang untuk dikunyah dan duduk menunggu kepulangan penduduk dusun, sementara yang lain berpisah untuk mencari dusun-dusun lain tempat orang-orang mungkin ada di rumah

“Orang-orang sudah lelah”: kelelahan penelitian dan pencarian hasil

Pengalaman di atas menggambarkan beberapa tantangan dalam melakukan penelitian dengan orang-orang di Dataran Tinggi Managalas. Selain hambatan yang tampak pada akses dan komunikasi—jaringan telepon seluler atau infrastruktur jalan raya yang terbatas, dan sebagian besar orang tidak punya telepon seluler atau akses kendaraan yang andal—kelelahan dalam melakukan penelitian adalah hal yang sangat nyata.

Masyarakat Managalas telah menjalin hubungan dengan pihak luar dalam isu konservasi dan penggunaan lahan selama beberapa dekade—terutama dengan LSM Partners with Melanesians (PwM) yang berbasis di Port Moresby, yang beroperasi di wilayah tersebut sejak 1990-an hingga 2022 dan berperan penting dalam mewujudkan MCA yang dideklarasikan pada 2017.

Sayangnya, meski penelitian yang dilakukan hingga saat ini masih bersifat parsial sehingga belum ada gambaran dasar yang memadai tentang penggunaan lahan dan kebutuhan mata pencaharian, penelitian ini juga berlangsung cukup lama—tanpa kaitan yang sepadan dengan hasilnya—sehingga orang-orang menjadi skeptis terhadap tujuan dan nilainya.

Dari sudut pandang masyarakat, banyak penelitian ekstraktif dan penyebaran informasi telah dilakukan tanpa memberi banyak manfaat bagi mereka. Ke depannya, etika penelitian yang jauh lebih partisipatif, di mana anggota masyarakat ikut menciptakan proses penelitian dan memiliki akses ke data dan analisis seiring perkembangannya, akan menjadi keharusan.

Sehari setelah ekspedisi survei tersebut, saya (penulis) dan rekan-rekan saya menyusuri jalan melintasi hamparan Dataran Tinggi Managalas; anak-anak di sepanjang jalan menyapa saya dengan sebutan “wait meri” (wanita kulit putih) atau “Yesus Kristus”. Akhirnya, di sebuah permukiman besar yang dipenuhi pohon kelapa tinggi, kami memarkir kendaraan. Beberapa anak menunjukkan kami ke sebuah panggung bambu beratap jerami dan memperkenalkan kami kepada kepala desa Malchus Kajia, yang telah menjadi pendukung kawasan konservasi itu sejak awal.

Tim proyek CIFOR-ICRAF memberikan pengarahan kepada para surveyor mengenai tugas mereka di Desa Joive. Foto oleh Danumurthi Mahendra / CIFOR-ICRAF.

Sebagai ketua LSM lokal Managalas Development Foundation (MDF), Kajia memahami sepenuhnya tentang kelelahan penelitian. “Orang-orang curiga terhadap informasi yang telah dikumpulkan dari kami, dari mereka,” ungkapnya kepada saya. “Mereka memberi tahu kami bahwa informasi adalah uang, dan dengan informasi [para peneliti] dapat menerima dana dari tempat lain, tanpa dana tersebut sampai ke kami. Jadi, itulah salah satu persoalan terbesar.”

Meski beberapa kondisi yang memicu kecurigaan ini bersifat lokal, ketidakpercayaan dan penolakan terhadap pengumpulan data tidak terbatas di Dataran Tinggi Managalas. Di seluruh wilayah Papua Nugini, banyak orang menentang siapa pun yang mengumpulkan data pribadi. Ditambah dengan tantangan administratif dan geografis, hal itu menyebabkan kelangkaan data di seluruh negeri. Tidak ada sistem nasional untuk pencatatan kelahiran; progres dalam meluncurkan sistem Kartu Identitas Nasional sangat lambat; dan negara tersebut belum menyelenggarakan sensus yang sukses dalam 24 tahun, yang berarti tidak ada kejelasan tentang jumlah orang yang tinggal di sana.

Di Managalas, keraguan data diperburuk secara tragis setelah sejumlah file utama PwM hilang akibat gangguan TI, yang berarti para mitra yang masuk harus bekerja tanpa data dasar yang komprehensif. “Tantangan yang kami hadapi sekarang adalah karena hilangnya informasi itu, kami mengulang-ulang pekerjaan kami, dan kami tahu bahwa orang-orang sudah lelah,” kata Malchus. “Namun kami memberi tahu mereka bahwa kini kawasan konservasi tersebut telah dideklarasikan, kami memiliki donor yang ada di sini untuk membantu kami, kami punya uang di sana. Jadi kami mencoba membantu orang-orang untuk mengerti; kami berjanji kepada mereka bahwa mungkin pada akhir tahun ini, tahun depan, kami akan memulai kegiatan.”

Setelah survei rumah tangga itu selesai, para ilmuwan CIFOR-ICRAF menganalisis data untuk menghasilkan ringkasan guna mendapatkan umpan balik dari masyarakat Managalas. Kemudian, serangkaian lokakarya baru akan diselenggarakan guna melaporkan kembali temuan survei, serta menyediakan salinan draf rencana pengelolaan.

Tim proyek juga menemukan cara baru untuk berbagi data yang dikumpulkan secara lebih transparan dan efektif. Dalam salah satu inisiatif tersebut, mereka membangun jaringan nirkabel lokal untuk memungkinkan komunikasi suara dan video gratis di seluruh Dataran Tinggi Managalas. Jaringan ini juga akan menghubungkan para anggota masyarakat ke server lokal tempat informasi mengenai Managalas dapat disimpan dengan aman, dan mudah dibagikan dengan para mitra pembangunan yang bekerja saat ini maupun di masa mendatang.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org