Berita

Bersaing dengan Pasar Global? Sertifikasi Produk Kayu Bukan Sekadar Isu Legalitas

Perajin furnitur skala kecil di Indonesia menghadapi banyak tantangan
Bagikan
0
Dua pekerja perempuan mengebor lubang rel furnitur. Jepara, Jawa Tengah. Dita Alangkara/CIFOR

Bacaan terkait

Furnitur dan ukiran kayu dari Jepara dan wilayah sekitar di pesisir utara Pulau Jawa dikenal luas karena keunikan desain dan kualitasnya.

Produk kayu – khususnya furnitur – diekspor ke lebih dari 100 negara, dengan tren yang terus meningkat. Pada 2019, nilai ekspornya mencapai 1,7 miliar dolar AS. Amerika Serikat menjadi tujuan utama, diikuti oleh Jepang dan tiga negara Uni Eropa, yaitu Belanda, Jerman, dan Belgia pada ”Lima Besar” negara tujuan ekspor.

Meskipun sebuah survei CIFOR pada 2007  menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen produsennya berasal dari usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), sektor ini memberikan jejak yang besar. Sektor pengolahan kayu Jepara menghasilkan nilai ekspor sebesar 187 juta dolar AS pada 2019, atau sekitar 10 persen dari total nilai ekspor nasional.

Tingginya permintaan terhadap produk kayu ini berbanding lurus dengan besarnya dampak terhadap ekstraksi material bahan baku. Dalam upaya menjamin agar asal kayu tetap legal, pada 2009 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerapkan Sistem Verikasi Legalitas Kayu, yang dikenal dengan singkatan SVLK.

Menjamin legalitas ekstraksi kayu

SVLK merupakan sebuah instrumen yang mendukung upaya perbaikan tata kelola sektor kehutanan. Selaras dengan Perjanjian Kemitraan Sukarela (VPA)  antara Uni Eropa dan Indonesia, asal-muasal kayu harus bisa dilacak untuk menjamin legalitas ekstraksinya.

Pada November 2016, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang mendapatkan lisensi FLEGT (Penguatan Hukum Tata Kelola dan Perdagangan Produk Hutan). Lisensi ini menjamin bahwa produk kayu untuk tujuan Eropa, telah dipanen, diekspor dan diproses secara legal. Setelah mengantungi lisensi, pada tahun itu juga, Indonesia mengekspor produk kayu legal senilai 1 miliar dolar AS ke berbagai negara Uni Eropa.

“Ketika eksportir memenuhi kualifikasi SVLK, otomatis mereka akan mendapat lisensi FLEGT dan bisa melakukan ekspor ke UE,” kata ilmuwan CIFOR, Ahmad Dermawan. “Ekspor kayu Indonesia bisa masuk UE tanpa keharusan importir melakukan pemeriksaan keabsahan lagi.”

Setelah adanya persyaratan wajib lisensi SVLK, eksportir Indonesia mendapati  peningkatan permintaan dari negara-negara Uni Eropa. Langkah ini memperkuat praktik manajemen hutan berkelanjutan di Indonesia, mengingat lisensi hanya diberikan pada sumber kayu legal.

SVLK untuk produsen skala kecil

SVLK berlaku bagi semua pelaku usaha, kecil maupun besar. Melalui sistem ini, pelaku industri dan pedagang harus tersertifikasi. Meskipun di balik semua itu, sertifikasi memicu kekhawatiran para produsen skala kecil yang juga dituntut memenuhi standar yang dipersyaratkan untuk mendapatkan sertifikat SVLK.

Upaya mendapatkan sertifikasi untuk produk ekspor mendorong pelaku membenahi kualitas usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sektor pengolahan kayu. Bagi pelaku UMKM, masalah yang dihadapi bukan hanya legalitas asal kayu, tetapi juga legalitas usaha mereka.

“Kami berharap akan ada asistensi untuk mendapatkan beragam lisensi dalam usaha kami, khususnya yang terkait dengan pendaftaran SVLK seperti perpajakan, izin bangunan dan asuransi pekerja,” kata Muhammad Suryadi dari Asosiasi Perajin Kayu Jepara (APKJ)

Dalam salah satu prosesnya, SVLK mensyaratkan legalitas usaha. Setelah memiliki izin usaha resmi dan memperbaiki praktik manajerialnya, mereka dapat mengajukan audit. Ketika sertifikat SVLK sudah dikantungi, para perajin dapat mulai melakukan ekspor, dan bisa mengajukan kredit untuk mengembangkan usaha mereka.

Membenahi UMKM

Beberapa anggota APKJ — yang didirikan pada 2008 sebagai wahana diskusi, bertukar informasi, serta berbagi pengalaman dan kemampuan – secara berkelompok telah mendapatkan sertifikasi SVLK, dan sejak itu mengekspor produknya ke pasar internasional dan pameran dagang.

Menurut sebuah laporan tidak-dipublikasikan dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang didanai APKJ-CIFOR di Kabupaten Jepara dan Pasuruan pada 2020, terungkap bahwa banyak UMKM furnitur yang belum bersertifikat SVLK.

Survey menunjukkan bahwa hanya 9 persen responden di Jepara dan 1,6 persen responden di Pasuruan telah tersertifikasi SVLK. Hasil penelitian di Jepara dan Pasuruan ini juga mengungkap besarnya tantangan besar untuk mendapatkan sertifikasi di lapangan.

Upaya lain bagi UMKM untuk mendorong kinerja mereka ke tingkat lebih tinggi adalah dengan meningkatkan kapasitas dalam standarisasi prosedur operasi (SOP).

Berbagai upaya yang dilakukan APKJ dan CIFOR dapat membantu industri kecil mendapatkan legalitas untuk membuka peluang dan akses ke pasar global. Selain itu, APKJ juga berharap bantuan dari KLHK serta lembaga terkait lain dalam upaya ini.

Para perajin yang telah mendapatkan sertifikasi mengakui manfaat finansial yang diperoleh, berupa permintaan dari pasar yang baru, serta manfaat non-finansial berupa perbaikan manajemen, meningkatnya reputasi usaha dan dukungan pemerintah, selain keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan lokal, dan keikutsertaan dalam pameran.

 

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Ahmad Dermawan di A.Dermawan@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org