Berita

Membangun ‘Wahana’ Baru Pengawasan Restorasi Lahan Gambut di Indonesia

Pendekatan kriteria dan indikator untuk keberhasilan pelaksanaan restorasi
Bagikan
0
Pembahasan mengenai kriteria, menjadi penting untuk melihat modal sosial, dan mengembangkan indikator di berbagai elemen. CIFOR/Aulia Erlangga

Bacaan terkait

“Lahan gambut sangat dinamis dan bervariasi, penyebab degradasinya juga sekompleks ekosistemnya itu sendiri,” kata Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Indonesia. Ia menyatakan hal ini dalam webinar keempat dan terakhir dari serial webinar yang digelar BRG bersama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), 17 Desember 2020. Webinar ini mencoba mengelaborasi dan menyusun kriteria dan indikator untuk restorasi lahan gambut di Indonesia.

Indonesia berjanji merestorasi lebih dari 2 juta hektare lahan gambut terdegradasi menindaklanjuti Perjanjian Paris PBB yang telah disepakati menjadi sebuah upaya meredam pemanasan global. Namun, sebagaimana dinyatakan Foead dalam sambutannya, upaya ini bukan kerja sederhana. Salah satu solusi upaya kompleks ini adalah mengukur kemajuan melalui kriteria dan indikator yang tepat, mudah, relevan secara lokal dan diakui secara internasional.

Webinar sebelumnya mengeksplorasi berbagai pendekatan kriteria dan indikator untuk aspek biofisik, tata kelola dan ekonomi untuk keberhasilan restorasi. Dalam webinar terakhir, pembicara dan peserta terlibat secara interaktif dalam diskusi mendalam tiap elemen untuk menyusun sintesis pengetahuan baru dan pertukaran informasi melalui diskusi ini.

Setelah sambutan Foead, tiga pembicara menawarkan beberapa perspektif mengenai pemantauan dan asesmen, serta penyusunan kriteria yang relevan secara lokal dan indikator bagi langkah restorasi lahan gambut di Indonesia.

Budi Wardhana, deputi BRG menekankan urgensi mengadaptasi konteks lokal. “Restorasi lahan gambut tidak berlangsung dalam bentang alam kosong – sudah ada masyarakat dan aktivitas di sana, dan kita harus mempertimbangkan para pemangku kepentingan dan menyusun strategi yang sesuai,” katanya.

Mark Reed, guru besar di Akademi Pedesaan Skotlandia dan anggota kunci Inisiatif Lahan Gambut Global, menekankan kehati-hatian, dan mengidentifikasi “empat hal yang bisa jadi salah” saat memantau restorasi lahan gambut. Empat hal itu adalah ketergantungan pada indikator tunggal, atau satu jenis indikator; laporan indikator tanpa data kontekstual; menggunakan indikator yang sulit diukur; dan pemantauan tanpa kemanfaatan lokal.

“Komunitas lokal mungkin lebih tertarik pada indikator yang memberi pengetahuan mengenai perubahan praktik manajemen yang menjaga penghidupan,” katanya. “Jadi kita perlu melibatkan mereka sejak dini ketika menyusunnya. Sebagian mungkin hanya relevan di satu wilayah, tetapi bisa membuat perbedaan ketika kita melibatkan masyarakat atau tidak.”

Ilmuwan CIFOR, Herry Purnomo memberikan analisis mengenai tujuan dan struktur tingkat tinggi dari upaya pemantauan lahan gambut. Ia menekankan pentingnya kriteria dan indikator dalam mendefinisikan, memahami dan mengkomunikasikan restorasi lahan gambut yang baik; mengembangkan konsep; menilai, mengukur dan memantau kemajuan; serta tujuan komunikasi dan pelaporan. Ia juga memberikan daftar elemen kunci untuk dipertimbangkan dalam penyusunan.

Setelahnya, peserta ambil bagian pada salah satu dari empat sesi paralel mengenai elemen biofisik, ekonomi, sosial dan tata kelola restorasi lahan gambut.

Aspek Biofisik

Pada sesi paralel aspek biofisik, kelompok ini menetapkan usulan prinsip – bahwa lahan gambut harus tetap basah dan tervegetasi – selain empat kriteria; indikator tiap wilayah, dan pemeriksa untuk tiap indikator. Reed menyatakan: “Indikator hidrologis jadi paling mendasar karena posisinya menentukan indikator iklim dan keanekaragaman hayati.” Kerentanan terhadap kebakaran juga diidentifikasi Muh Taufik dari Institute Pertanian Bogor (IPB), sebagai risiko langsung ketika hidrologi gambut terganggu.

Diskusi berlangsung mendalam dalam pembahasan bagaimana pengukuran tinggi air menjadi bermakna. “Sulit untuk menentukan tingkat air ‘normal’, dan indikator relatif tidak menyatakan apa-apa tanpa sesuatu untuk diperbandingkan,” kata Hans Joosten, pakar lahan gambut terkemuka, dan guru besar di Universitas Geifswald Jerman. Kelompok ini juga mengeksplorasi potensi adaptibilitas kriteria seperti tingkat air, ketebalan gambut, vegetasi utama dan komoditas berkelanjutan yang ditanam di kawasan lahan gambut saat bekerja dengan masyarakat – dan timbal balik dalam akurasi dan reliabilitas yang mungkin ada.

Aspek ekonomi

Dalam sesi ekonomi, Wardhana menyajikan kajian ekstensif mengenai barang dan jasa lingkungan yang diberikan lahan gambut. Ia menyampaikan beberapa kriteria dan indikator potensial terkait elemen-elemen seperti penghindaran bencana alam dan peningkatan emisi; penyediaan jasa ekosistem dan pertumbuhan jangka panjang berkelanjutan.

Siti Hamidah, kepala program studi produk hutan tropis di Universitas Lambung Mangkurat Indonesia mengusulkan beberapa petunjuk untuk menentukan status dan kemajuan seperti keamanan ekonomi, infrastruktur, kesejahteraan, industri dan ketergantungan, yang dapat diadaptasi dari indeks pembangunan desa Indonesia.

Dharsono Hartono, direktur perusahaan pengembangan proyek karbon Indonesia, PT Rimba Makmur Utama, menyoroti sensitivitas terkait isu penghidupan dan merekonsiliasi upaya restorasi dengan nilai tambah pada pembangunan usaha berkelanjutan bagai masyarakat lokal.

“[Kita] sepakat bahwa perlu perhatian lebih besar kepada masyarakat, dan kita perlu juga menggabungkan insentif kepada masyarakat dengan pertumbuhan ekonomi,” ringkas Dyah Puspitaloka, konsultan penelitian CIFOR yang menjadi moderator.

Aspek sosial

Dalam sesi aspek sosial, kompleksitas menjadi tampilan kunci.

“Kita tidak mendapatkan banyak jawaban, tetapi lebih berupa diskusi yang sangat menantang otak,” kata Rupersh Bhomia, ilmuwan CIFOR yang menjadi moderator. “Hal ini sudah menjadi kelindan alami ketika kita berbicara mengenai isu sosial terkait dengan restorasi lahan gambut, apakah di tingkat lokal atau nasional, terdapat sejumlah tantangan, dan akan membutuhkan pendekatan kebersamaan dan partisipasi dalam mengatasi kompleksitas ini,” katanya.

Jhosi Khatarian, yang bekerja di sekretariat Inisiatif Terpercaya, lembaga terkemuka dalam pendekatan yurisdiksional perlindungan lahan gambut Indonesia, menyatakan, “Pada tingkat kebutuhan yang sangat tinggi, masyarakat akan menjadi kunci, dan keadilan perlu secara langsung ditunjukkan.”

Mitra senior CIFOR, Moira Moeliono memberikan catatan bahwa dalam pembahasan mengenai kriteria, menjadi penting untuk melihat modal sosial, dan mengembangkan indikator di seputar elemen seperti kesetaraan gender, pembagian kekuasaan, jejaring sosial, konektivitas dan keberlanjutan.

Yuti Ariani, peneliti pasca-doktoral Nanyang Technological University, mengamati bahwa tantangan lain adalah mendapatkan data yang baik mengenai elemen sosial. “Sering kali isu sekompleks ini tidak dapat diatasi karena kurangnya data atau akses untuk mengumpulkan data itu,” katanya. “Jadi memiliki akses dan ketersediaan data sangat penting.”

Aspek tata kelola

Dalam sesi aspek tata kelola, Diah Suradiredja, penasihat senior kebijakan Indonesia Biodiversity Trust Fund, menekankan pentingnya partisipasi, profitabilitas dan produktivitas dalam rantai pasok, selain mengurangi konflik sosial dan perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak lahan adat.

Hasbi Berliani, manajer program Pengembangan Tata Kelola Berkelanjutan di Kemitraan Reformasi Pemerintahan, juga menyoroti partisipasi, transparansi, akses pemangku kepentingan pada informasi, dan akuntabilitas pemerintah dan lembaga lainnya sebagai elemen penting, dan mengusulkan sejumlah indikator.

Dwi Rahmad Muhtaman, direktur lembaga konsultasi keberlanjutan Re-mark Asia Group, mengusulkan indikator prinsip partisipasi, antara lain pengakuan atas hak, kebiasaan dan budaya lokal; mengakui hubungan khusus antar pemangku kepentingan dan lokasi; serta memfasilitasi kesepakatan para pemangku kepentingan pada stiap langkah proses restorasi.

Marcel Silvius, Perwakilan Indonesia Global Green Growth Institute, memperkuat poin bahwa: “Tenurial lahan menjadi kunci untuk menjaga aspek tata kelola restorasi,” karena “perlu dipahami bahwa restorasi memiliki makna berbeda bagi orang berbeda,” dan efektivitas biaya bagi pemangku kepentingan menjadi penting.

Pada pidato penutupan, Haris Gunawan, deputi Penelitian dan Pengembangan BRG menyampaikan ucapan selamat atas kemajuan yang telah dicapai dalam beberapa bulan terakhir.

Dengan sifat progresif dan dinamis proses monitoring restorasi yang efektif: “Kita dituntut terus berkolaborasi dan berdiskusi, dalam mengembangkan kriteria dan indikator lebih kuat dalam restorasi lahan gambut tropis di masa datang,” katanya.

Dalam melangkah maju, sekumpulan kriteria dan indikator akan diformulasikan berbasis pada diskusi dan pertukaran informasi. Kriteria dan indikator ini akan diuji dan diverifikasi lapangan pada 2021 sebelum adopsi dan implementasi lebih luas.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Daniel Murdiyarso di d.murdiyarso@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org