Isolasi global akibat virus corona memperlambat datangnya Hari Batas Bumi (Earth Overshoot Day), yang menurut Global Footprint Network (GFN) terutama terjadi karena penurunan penebangan dan emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil.
Tahun ini, hari itu jatuh pada 22 Agustus, terlambat tiga minggu dibanding 2019 lalu.
Tanggal ini mencerminkan penurunan sebesar 9,3 persen Jejak Ekologis manusia dari awal tahun hingga Hari Batas Bumi dibanding periode yang sama tahun lalu, sebagai konsekuensi langsung isolasi. Demikian dinyatakan organisasi penelitian lingkungan itu.
“Manusia dipersatukan oleh pengalaman yang sama akibat pandemi dan ditunjukkan betapa hidup kita berkelindan,” kata Direktur Utama GFN, Laurel Hansom.
“Pada saat bersamaan, kita tidak dapat mengabaikan perbedaan mendalam pengalaman kita, perbedaan tekanan sosial, ekonomi, dan politik yang diperparah oleh bencana global ini. Melakukan regenerasi menjadi inti dari upaya membangun kembali dan pemulihan dalam mengatasi ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial dan hubungan kita dengan bumi.”
Sejak 2006, GFN menandai tanggal ketika manusia sudah menghabiskan seluruh sumber daya hayati yang dapat diperbarui Bumi dalam setahun.
Setelah Hari Batas Bumi, selama sisa waktu setahun, defisit ekologi bumi dibayar dengan menyedot stok sumber daya lokal dan akumulasi karbon dioksida di atmosfer.
Tahun demi tahun, kontraksi jejak ekologis jauh dari perubahan yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan ekologis dan kesejahteraan manusia, dua komponen tak terpisahkan dari keberlanjutan, kata kelompok yang mengumpulkan lebih dari 15,000 titik data per negara, terutama dari sumber PBB.
GFN menambahkan meningkatnya permintaan pangan, kayu, serat, sekuestrasi karbon, dan akomodasi infrastruktur. Emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil menyumbang 60 persen jejak ekologis manusia, dan berkontribusi pada defisit ekologis yang terus meningkat sejak awal 1970.
“Fakta bahwa Hari Batas Bumi agak telat tahun ini merupakan cerminan banyaknya penderitaan, dan refleksi perubahan paksa pada hidup kita,” kata Hanscom, dikutip lembaran Climate Fwd pada New York Times. “Tidak ada titik terang pada hal tersebut.”
Jejak produk hutan – yang menurun 8,4 persen – sangat dipengaruhi oleh prediksi permintaan, menurut pernyataan tersebut, yang pada gilirannya menentukan produksi kayu. “Meski konstruksi berlanjut selama pandemi, industri kehutanan memprediksi turunnya permintaan dan dengan cepat mengurangi laju produksi,” tambahnya.
“Kita ‘mendapat’ tiga pekan, namun agar benar-benar berkelanjutan kita perlu tambahan 17 pekan lagi,” kata Robert Nasi, Direktur Jenderal Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). “Target ini jelas tidak akan tercapai dalam model pembangunan saat ini.”
Angka global menunjukkan ketidakadilan nyata dalam pola konsumsi, tambahnya. Jika setiap orang hidup seperti orang Indonesia umumnya, lanjutnya, Hari Batas Bumi baru akan terjadi pada 18 Desember, tetapi jika semua orang hidup seperti orang Luksemburg umumnya, hari itu akan terjadi pada 16 Februari.
“Kita semua terwakili di dalamnya, tetapi kita tidak sama,” katanya. “Hutan dan pohon dapat dijaga, dikelola dan direstorasi agar menjadi netral atau positif dalam persamaan Hari Batas Bumi – tidak ada alasan sama sekali mengapa ini tidak bisa dicapai, selain pemikiran jangka pendek, ketamakan, dan ketidakpedulian terhadap sains dan pengetahuan lokal.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org