Bagikan
0

Bacaan terkait

Mantan koordinator media sosial CIFOR, Christi Hang kini menjadi mitra senior CGIAR

Melalui surel, ia meminta kami bersiap untuk mengikuti “kamp bergerak”. Dengan kata lain, kami akan tinggal di perahu patroli.

Saya akan berangkat dengan Yusuf Samsudin, peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), dan sejumlah kru film. Kami mencari sekawanan gajah liar di Sungai Musi, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

Awalnya kami tidak tahu, ternyata harus menggunakan perahu kecil.

“Menemukan gajah itu sulit sekali,” kata Samsudin.

“Perahu mogok pada hari keberangkatan dan ternyata perlu onderdil baru, yang tidak langsung tersedia pada hari itu. Perahu kedua yang seharusnya mengantar kami ke tujuan selanjutnya juga mogok, hingga kami harus melakukan perjalanan darat, dan ini tidak lebih baik. Beberapa kali kami terjebak di lumpur.”

   Kru film berbincang dengan sekelompok penangkap ikan mengenai penampakan gajah liar. Christi Hang/CIFOR

Kami berangkat ke Palembang, ibu kota provinsi, untuk belajar dan membaca dokumen proyek biofuel yang diinisiasi oleh petani lokal dari desa Perigi Talang Nangka, yang sebelumnya menghubungi para peneliti. Mereka ingin mendapat alternatif dari pada membakar lahan dalam memperluas lahan pertanian.

Dalam upaya memperluas lahan, para penduduk juga berjuang atas hak pemanfaatan 10.000 hektare lahan Cagar Alam Padang Sugihan Sebokor, yang merupakan bagian dari koridor gajah liar. Para penduduk desa mengaku tidak ada gajah yang terdapat di area tersebut.

Para peneliti CIFOR berharap dengan melakukan penanaman pohon endemik di kawasan lahan gambut penyangga, penduduk desa akan memiliki sumber penghasilan tanpa merusak lingkungan sekitar atau mengambil lahan untuk gajah.

Setelah perahu pertama gagal, untungnya kami tahu bahwa pemerintah daerah memiliki perahu lebih kecil. Meskipun perahu ini hanya cukup untuk kru film. Mereka berlayar melintasi perairan dan semak dari pukul 5.30 pagi hingga 06.00 sore selama tiga hari untuk melacak gajah dan membuat film dokumenter.

“Ketika kami tiba [di sungai], petugas kehutanan menceritakan, gajah terlihat makin dekat ke pedesaan,” kata Samsudin.

Mengingat gajah adalah satwa liar, mereka agak pemalu ditambah rentang jelajah yang sangat luas. Hal ini berarti, para kru film harus mengandalkan informasi lokal dari petugas kehutanan dan penangkap ikan di Sungai Musi untuk mendapatkan area yang sangat berpeluang menemukan gajah liar ini.

Perjalanan ini mungkin tidak akan berhasil tanpa petugas kehutanan yang seringkali melihat gajah saat berpatroli.

   Juru kamera memfilmkan seorang ranger Cagar Alam Padang Sugihan Sebokor ketika ia menunjukkan lokasi gajah liar di suaka tersebut baru-baru ini terlihat. Christi Hang/CIFOR
   Pawang gajah sebagian besar adalah warga Dusun Sumber Makmur, Desa Sebokor, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Rifky/CIFOR
   Peneliti CIFOR, Yusuf Samsudin mengecek dengan pejabat di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor untuk membahas rencana tim peneliti melacak gajah liar di cagar. Christi Hang/CIFOR
   Pusat pelatihan gajah di Suaka Margasatwa Padang Sugihan sebagai pusat konservasi gajah dataran rendah telah berhasil melahirkan 4 ekor gajah. Christi Hang

Kami berangkat ke Palembang, ibu kota provinsi, untuk belajar dan membaca dokumen proyek biofuel yang diinisiasi oleh petani lokal dari desa Perigi Talang Nangka, yang sebelumnya menghubungi para peneliti. Mereka ingin mendapat alternatif dari pada membakar lahan dalam memperluas lahan pertanian.

Dalam upaya memperluas lahan, para penduduk juga berjuang atas hak pemanfaatan 10.000 hektare lahan Cagar Alam Padang Sugihan Sebokor, yang merupakan bagian dari koridor gajah liar. Para penduduk desa mengaku tidak ada gajah yang terdapat di area tersebut.

Para peneliti CIFOR berharap dengan melakukan penanaman pohon endemik di kawasan lahan gambut penyangga, penduduk desa akan memiliki sumber penghasilan tanpa merusak lingkungan sekitar atau mengambil lahan untuk gajah.

Setelah perahu pertama gagal, untungnya kami tahu bahwa pemerintah daerah memiliki perahu lebih kecil. Meskipun perahu ini hanya cukup untuk kru film. Mereka berlayar melintasi perairan dan semak dari pukul 5.30 pagi hingga 06.00 sore selama tiga hari untuk melacak gajah dan membuat film dokumenter.

“Ketika kami tiba [di sungai], petugas kehutanan menceritakan, gajah terlihat makin dekat ke pedesaan,” kata Samsudin.

Mengingat gajah adalah satwa liar, mereka agak pemalu ditambah rentang jelajah yang sangat luas. Hal ini berarti, para kru film harus mengandalkan informasi lokal dari petugas kehutanan dan penangkap ikan di Sungai Musi untuk mendapatkan area yang sangat berpeluang menemukan gajah liar ini.

Perjalanan ini mungkin tidak akan berhasil tanpa petugas kehutanan yang seringkali melihat gajah saat berpatroli.

Sementara kru film melacak gajah, para petugas membawa kami mengarungi sungai  dengan perahu lebih kecil lagi untuk melihat upaya restorasi di sepanjang daerah aliran sungai. Restorasi ini dilakuan dengan menanam tanaman endemik, dan upaya membendung kanal kecil.

   Suplai makanan untuk perjalanan perahu, renang juga ada. Christi Hang/CIFOR

SUARA NYARING KEBERHASILAN

Pada hari terakhir di lokasi, kami berjalan kaki di kawasan yang disarankan para petugas. Kru film akhirnya mendengar suara nyaring yang sempat menakuti mereka. Namun, mereka segera sadar bahwa itu lah yang mereka cari, suara dari 11 gajah.

Persiapan dilakukan dengan segera dan diam-diam. Saat kawanan gajah yang sedang agak bergairah tampak, para kru film merekamnya melalui video, foto dan juga mengambil gambar melalui drone, sebelum mereka menghilang pergi.

Setelah melacak gajah, Yusuf dan kru film bergerak ke Desa Perigi Talang Nangka untuk memeriksa tanaman baru. Meski pendanaan proyek berakhir pada 2018, tanaman endemik yang ditanam masih muda dan belum bisa dilihat hasilnya. Namun Yusuf optimis atas masa depan tanaman dan desa Perigi Talang Nangka.

“Tanaman terlihat bagus, namun masih perlu tiga bulan, enam bulan, hingga setahun untuk melihat apakah tanaman tumbuh baik atau tidak,” kata Yusuf. “Saya juga ingin melihat apakah tanaman endemik lain juga tumbuh baik.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org