Bagikan
0

Bacaan terkait

Pada konferensi Rio 25 tahun lalu, Union of Concerned Scientists  – organisasi independen yang terdiri dari 1.700 peneliti terkemuka, sejumlah dari anggotanya adalah pemenang Nobel – mengeluarkan peringatan kekhawatiran mengenai konsekuensi mengerikan akibat kegagalan mengurangi kerusakan lingkungan.

Tahun 2017 lalu, para ilmuwan sedunia telah memberikan peringatan kedua, menyesalkan kurangnya kemajuan semenjak peringatan pertama yang mereka suarakan, guna memberi perhatian pada isu-isu khusus seperti menurunnya ketersediaan air bersih dan kemungkinan dampak perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati.

Waktu telah berubah, dan peringatan kedua ini berhasil mendapatkan manfaat dari topik yang “pada awalnya hal biasa” di tahun  1992: menjadi viral (dikenal luas). Lebih dari 15.000 ilmuwan dari 184 negara menandatangani petisi tahun 2017, dan 5.000 lainnya telah memberi mendukung sejak publikasi terbit di November. Pesan tersebar luas melalui 9.000 tweet, dan saat ini menduduki peringkat keenam skala Altmetric yang mendapat perhatian daring terhadap penelitian, dari keseluruhan makalah yang dipublikasikan dalam enam tahun terakhir di seluruh dunia. Sebuah buku terkait dan film dokumenter sedang dalam pengerjaan, dan di kanal Scientists’ Warning (Peringatan Para Ilmuwan) memungkinkan siapa saja untuk mendukung gerakan tersebut.

Di tengah popularitas makalah ini, penulis utama William Ripple dari Universitas Negeri Oregon mendorong ilmuwan lain untuk menulis lebih dalam tentang isu yang diangkat dan mengajak mereka melakukan aksi kebijakan terukur. Salah satu makalah terkait, berasal dari Society of Wetland Scientists (SWS) yang menempatkan konteks Peringatan Kedua untuk manajemen dan kebijakan lahan basah.

HARTA LUAR BIASA

Konvensi Ramsar, sebuah perjanjian antar pemerintah tentang pengelolaan lahan basah dan konservasi yang diadopsi di Ramsar, Iran pada tahun 1971, merupakan langkah signifikan pertama meningkatkan profil lahan basah. Namun, menurut C.M. Finlayson, ketua peneliti riset ini dari Charles Stutt University, berbagai tindakan telah gagal memenuhi komitmen yang dibuat di bawah konvensi ini. Sebab meski upaya konservasi telah dilakukan, laju kerusakan lahan basah dan degradasi lahan gambut tidak melambat.

Pandangan sama juga diutarakan oleh ilmuwan utama dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) Christopher Martius, yang turut menandatangani Peringatan Kedua ini: “Lahan basah tertinggal dalam agenda kebijakan,” katanya. “Isu ini lebih mendapat sorotan, tidak ada memberi perhatian, atau eksploitasi terus berlanjut, bahkan sampai kita tahu betapa pentingnya (lahan basah) bagi penyimpanan karbon untuk iklim global.”

Sebagai contoh di Indonesia, lahan gambut – lahan basah yang menghasilkan tanah gambut dari bahan organik yang membusuk – sering dikeringkan untuk pertanian, “karena lahan ini hanya dilihat sebagai lahan yang tidak produktif,” kata Martius. “Jadi lahan ini sudah biasa digunakan untuk pertanian kelapa sawit, misalnya.” Dalam proses (pertanian), sejumlah besar karbon hilang dari tanah gambut menguap ke atmosfir.

Sementara itu di Amazon, lahan basah di sepanjang sungai menjadi sangat subur, karena air membawa sedimen kaya mineral dari (pegunungan) Andes. Karenanya, “perusahaan sangat tertarik untuk menebang pohon dan membuat (pertanian) tanaman kedelai dan padi,” jelas Martius. “Tapi pohon-pohon yang tumbuh di hutan-hutan ini tergenang saat musim air meninggi, dan ikan-ikan memakan buah yang pepohonan jatuhkan, dan kemudian ikan-ikan bergerak ke hulu untuk bereproduksi dan bertelur.

“Jadi Anda dapat mengganggu keseluruhan siklus biologi ikan jika Anda menebangi pohon, yang hal ini merupakan siklus alami perikanan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi ketahanan pangan populasi sungai.” Di Sungai Kongo, masih terdapat “(lahan) besar dan sebagian besar belum dijelajahi.” ”Lahan gambut, kata Martius,“ juga di hutan-hutan perusahaan pertambangan dan kayu besar. Jadi ada masalah di sana di Amazon. ”

MENJAGA KARBON DI LAPISAN BAWAH

Seperti yang diilustrasikan oleh contoh-contoh global diatas, dan seperti yang digarisbawahi oleh temuan riset, pengelolaan lahan basah memainkan peran utama dalam lintasan perubahan iklim di masa depan dengan kemampuan lahan ini menghilangkan karbon dioksida dalam jumlah besar dari atmosfer. Lahan gambut tropis, khususnya, menyimpan lebih banyak karbon daripada yang diperkirakan sebelumnya: lebih dari lima kali dari hutan tropis, dan dalam beberapa kasus hingga 20 kali, kata Martius, tergantung pada kedalaman gambut. Melepaskan sejumlah besar karbon tambahan ini ke atmosfer akan mewakili “penguatan iklim utama” seperti yang dijelaskan Finlayson dan rekannya.

Namun demikian, banyak dari cadangan karbon di bawah tanah ini tidak diperhitungkan dalam rencana iklim negara dan berisiko dilepaskan ke atmosfer, “yang akan mengacaukan keseimbangan (iklim) dengan cara yang amat buruk,” ia memperingatkan. Karena itu, sangat penting untuk melindungi lahan gambut yang masih ada, kata Martius.

Menambah pentingnya perlindungan awal lahan gambut dari kerusakan, restorasi lahan adalah pekerjaan utama. Ketika lahan gambut tropis dikeringkan akan terjadi penurunan lima sentimeter profil per tahun; dan regenerasi akan terjadi luar biasa lambat, dengan laju satu atau dua milimeter per tahun.

Karena kerusakan lahan basah dipengaruhi juga oleh rencana pembangunan negara, pendekatan yang lebih komprehensif untuk penggunaan dan perlindungan berkelanjutan lahan ini amat diperlukan, kata Martius. Di Indonesia, selain dari Badan Restorasi Gambut yang sudah aktif, saat ini sedang didiskusikan rencana mendirikan pusat gambut tropis internasional, yang menurut Martius merupakan langkah penting ke arah yang benar.

Sebagaimana yang ditekankan oleh studi ini, memberi ruang perhatian lebih besar bagi lahan basah dan ekosistem terancam lainnya – serta mengembangkan langkah-langkah nyata menuju kebijakan dan pengelolaan yang lebih baik  – adalah elemen penting dalam mengalihkan umat manusia dari “tubrukan dengan alam” yang tengah kita alami saat ini.

Artikel ini merupakan bagian dari studi CIFOR tentang Global Comparative Study on REDD+.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Christopher Martius di C.Martius@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Restorasi Deforestasi Kelapa sawit Lahan Gambut

Lebih lanjut Restorasi or Deforestasi or Kelapa sawit or Lahan Gambut

Lihat semua