Bagikan
0

Bacaan terkait

Makin dalam para ilmuwan mengeksplorasi besarnya stok karbon pada mangrove, rawa pasang surut dan padang lamun – yang dikenal sebagai ‘karbon biru’, makin nyaring pula suara alarm peringatan atas laju kerusakannya.

“Indonesia memiliki tutupan mangrove terbesar di dunia, namun Indonesia juga mengalami laju deforestasi mangrove tertinggi di dunia. Ini sangat menyedihkan,” kata Virni Budi Arifanti, peneliti Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (BLI) yang menjadi panelis dalam forum diskusi “Mangrove dan Karbon Biru” pada Asia-Pacific Rainforest Summit 2018 di Yogyakarta, Indonesia.

Mangrove, paparnya, menyimpan stok karbon kedua terbesar setelah lahan gambut, menyimpan karbon tiga hingga empat kali lebih banyak dibanding hutan tropis.

Temuan BLI tersebut sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) pada 2015. Mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar ton karbon – sepertiga dari seluruh karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir di seluruh dunia.

“Keunikan mangrove adalah tambahan serapan dari karbon asli, atau karbon dari inundasi lautan,” kata peneliti CIFOR, Sigit Deni Sasmito. Ia menjelaskan bahwa karbon ekstra dalam ekosistem laut berasal dari pembusukan alga dan organisme lainnya.

Karena hutan mangrove menyerap karbon, “mangrove juga melepas karbon dioksida ke atmosfer, dan secara alami, keseimbangannya positif – kecuali jika mereka terdegradasi parah, seperti pada akuakultur, dan kemudian berubah menjadi pengemisi karbon.”

Ekosistem ini tidak hanya berisiko menjadi pengemisi karbon.

Pada bencana tsunami Samudera Indonesia 2004, “banyak korban karena hutan mangrove telah gundul di beberapa daerah pesisir Myanmar,” kata Nang Mya Han, profesor di Universitas Myeik, Myanmar. Myanmar memiliki 500.000 hektare mangrove – terbesar keempat di Asia Tenggara.

Kini, wilayah barat Myanmar, di pesisir Rakhine berada dalam lingkaran setan. Badai dan topan tropis tahunan menyebabkan makin rusaknya benteng alami ini. Pada 2008, topan Nargis merenggut korban tewas lebih dari 130.000 di wilayah Ayeyawaddy, Yangon dan Mon.

Jadi, apa yang tengah dilakukan?

Pembicara diskusi panel “Mangrove dan karbon biru” pada Asia-Pacific Rainforest Summit 2008.

 

SESUAI MANFAATNYA

Bagi masyarakat lokal, mangrove seringkali menjadi sumber penghasilan, melalui aktivitas ekowisata dan produk hutan bukan kayu. Dengan potensi manfaat ekonomi ini, mangrove membutuhkan perhatian khusus dari sektor swasta.

“Agar dapat mengelola mangrove secara lestari, kita harus memahami jenis lahannya,” kata Fairus Mulia, Direktur Eksekutif PT Kandelia Alam, perusahaan pembuat chip kayu, bubur kertas dan kertas.

Satu dekade lalu, perusahaan ini mendapatkan konsesi hutan rawa seluas 18.000 hektera di Kalimantan Barat, Indonesia. Menerapkan sistem silvikultur, 12.000 hektare lahan dibudidayakan menjadi  20 petak panen tahunan. Sebanyak 6.000 hektare disisakan untuk area konservasi, termasuk 600 hektare untuk perencanaan pengayaan.

“Sekarang kami tidak hanya memproduksi chip kayu, tetapi juga ekowisata. Anda bisa melihat pesut kapuas dan monyet bekantan di area konsesi,” kata Mulia.

Pada tingkat nasional, upaya restorasi juga tengah dilakukan di Indonesia dan berbagai negara lain.

“Ada rencana penanaman hutan [mangrove] terdegradasi—60.000 hektare per tahun,” kata Dr. Muhammad Firman dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Hingga 200.000 petani akan terlibat dalam penanaman kembali kawasan mangrove di bawah program perhutanan sosial.”

Barbara Masike, Direktur The Nature Conservancy Papua Nugini, sepakat bahwa diperlukan kebijakan dan legislasi lebih kuat – termasuk kepemimpinan tradisional – untuk menjaga kesehatan ekosistem pesisir.

“Belajar dari beberapa upaya yang kami lakukan untuk masyarakat di Papua Nugini, kita perlu memperkuat tata kelola tradisional dan kepemimpinan suku, agar mereka dapat mewariskan pengetahuannya pada generasi muda,” katanya.

Masike menekankan perlunya masyarakat dilibatkan dan mendapat manfaat dari upaya konservasi. “Kita perlu menghubungkan konservasi dan manfaat ekonomi. Masyarakat tidak akan mengikuti upaya konservasi jika tidak melihat manfaat ekonominya.”

MEMBANGUN KEMITRAAN

Saat ini, terdapat berbagai proyek ad hoc yang menyasar ekosistem ini di seluruh dunia, dan para panelis menyarankan proyek-proyek ini digabungkan dalam strategi bersama dan holistik secara internasional untuk melindungi dan memetik manfaat dari bentang alam karbon biru.

“Akan lebih baik untuk menciptakan wahana agar berbagai negara dapat berbagi metode,” kata Putra. “Wahana ini memungkinkan pertukaran informasi dan pembelajaran dari praktik terbaik dan teladan di negara lain.”

Matsike menyeru agar lebih banyak lagi negara bergabung dalam upaya seperti Kemitraan Internasional untuk Karbon Biru dan mengintegrasikan mangrove ke dalam upaya REDD+. Berbekal mandat dari inisiatif ini, pemerintah bisa lebih menjangkau banyak pemangku kepentingan.

Ketut Sarjana Putra, Wakil Presiden  Conservation International Indonesia, sepakat bahwa pemerintah seharusnya menempatkan ekosistem pesisir sebagai aset alam yang mampu menyediakan jasa lingkungan.

“Hanya dengan itu, saya sangat yakin, pengelolaan lestari ekosistem pesisir dan negara-negara di pulau kecil dapat sepenuhnya terlindungi,” katanya.

 

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org